Pandangan Terhadap Pembahasan Pendahuluan RAPBN 2019

Sabtu, 14 Juli 2018 – 07:20 WIB
Anggota MPR-DPR Fraksi PAN, Hakam Naja. Foto: Humas DPR RI

jpnn.com - Oleh: Drs. H. A. Hakam Naja, M.Si
Anggota MPR-DPR Fraksi PAN

1. Pertumbuhan Ekonomi

BACA JUGA: MoU Persahabatan Antarparlemen RI-Lebanon Perlu Realisasi

Target pertumbuhan ekonomi yang dipatok dalam RAPBN 2019 belum menunjukkan rasionalitas kebijakan fiskal.

Upaya pemerintah dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi masih menghadapi tantangan struktural terutama defisit transaksi berjalan yang masih tinggi (2,1% terhadap PDB atau US$ 5,5 miliar terparah sejak triwulan I-2013) dan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap US$ (-6,47% sejak awal tahun 2018, year to date).

BACA JUGA: Menang Kejuaraan Dunia, Zohri Harus Disambut Khusus

Selain itu, tantangan eksternal juga masih membayangi perekonomian Indonesia khususnya terkait arah kebijakan normalisasi suku bunga acuan Bank Sentral AS The Fed, kenaikan harga minyak dunia, dan meluasnya eskalasi perang dagang global.

Kombinasi tantangan internal dan eksternal tersebut tentunya sangat mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sejak tahun 2015, asumsi pertumbuhan dalam APBN selalu dipasang terlampau tinggi dan overconfidence sehingga realisasinya pun jauh dari target. Bahkan dalam periode 2015-2017 pemerintah juga terus melakukan perubahan APBN dan realiasasi pertumbuhan ekonomi juga ternyata masih lebih kecil dibandingkan APBN-P. Begitupun dengan target pertumbuhan tahun 2018 ini yang dipatok 5,4%, Menteri Keuangan sudah pesimis akan tercapai dan diproyeksikan hanya akan tumbuh maksimal 5,2%.

BACA JUGA: RAPBN Jangan Lupa Alokasi Gaji Veteran dan Purnawirawan

Dengan catatan pengalaman tersebut, maka target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,2 – 5,6 % kami anggap masih diluar kewajaran. Sebab dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang kelewat tinggi akan berimplikasi terhadap proyeksi penerimaan pajak yang over estimate sehingga dapat menyebabkan defisit fiskal dan pembiayaan utang yang membengkak.

Oleh karena itu, kami mengusulkan asumsi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,1– 5,3 %.

2. Nilai Tukar Rupiah

Asumsi nilai tukar Rupiah yang diproyeksikan dalam RAPBN 2019 tidak realistis.* Nilai tukar Rupiah per 3 Juli 2018 telah menembus Rp14.400/US$, jauh melebihi asumsi APBN 2018 sebesar Rp 13.400/US$, selisih Rp 1.000.

Gejolak nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat sepanjang paruh pertama 2018 ini menjadi ganjalan bagi perekonomian Indonesia dalam memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi. Pelemahan nilai tukar Rupiah yang cukup dalam (-6,47%) menimbulkan kekhawatiran masyarakat dan membangkitkan trauma akan pengalaman pahit krisis ekonomi 1997/1998.

Depresiasi nilai tukar Rupiah yang dihadapi saat ini berimbas terhadap seluruh mesin perekonomian. Misalnya, daya beli masyarakat yang masih lemah (tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang baru tumbuh 4,95% pada triwulan I-2018) akan turut terpapar oleh efek pelemahan nilai tukar Rupiah. Contohnya, kenaikan harga BBM yang baru-baru ini dinaikkan oleh Pertamina akibat imbas pelemahan nilai tukar Rupiah serta kenaikan harga minyak dunia. Dunia usaha atau industri juga turut merasakan pahitnya depresiasi Rupiah dikarenakan sebagian besar kebutuhan barang modal dan bahan baku produksi masih mengandalkan impor.

Akibatnya, defisit neraca perdagangan Indonesia selama Januari-Mei 2018 telah mencapai US$ 2,83 miliar, merupakan rekor terburuk sejak periode yang sama tahun 2014. Selain itu, volatilitas nilai tukar Rupiah juga telah menyebabkan anjloknya kinerja Pasar Modal Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia merosot cukup dalam mencapai -8,63% (year to date), terburuk kedua di kawasan ASEAN setelah Filipina (-16%).

Modal asing yang telah keluar dari Pasar Modal Indonesia pun cukup fantastis yaitu sebesar Rp 51,24 triliun sejak semester pertama 2018, padahal selama setahun penuh 2017 dana asing yang keluar “hanya” Rp 39,9 triliun.

Kemudian, hal yang seringkali luput dari perhatian publik bahwa pemerintah sebetulnya memiliki andil yang cukup besar terhadap melemahnya nilai tukar Rupiah. Bagaimana tidak, permintaan Dolar AS yang sangat besar di dalam negeri tidak lepas dari besarnya kebutuhan pemerintah untuk membayar utang pemerintah yang mengalami puncak jatuh tempo pada tahun 2018.

Bahkan dengan porsi utang pemerintah yang berdenominasi mata uang Dolar AS mencapai 30% terhadap total utang pemerintah pusat maka pelemahan nilai tukar Rupiah akan semakin memberatkan keuangan negara karena nilai utang yang harus dibayar pemerintah menjadi lebih besar. Upaya Otoritas Moneter (BI) dalam meredam gejolak nilai tukar Rupiah melalui peningkatan suku bunga acuan sebesar 1% dalam 2 bulan terakhir juga belum mampu mengerek nilai tukar Rupiah ke bawah Rp14.000 per US$.

Selain itu, BI juga telah menghabiskan cadangan devisa sebanyak US$ 12,14 miliar (berkurang 9,20%) sepanjang semester I - 2018. *Berdasarkan kondisi tersebut, maka kami mengusulkan agar asumsi rata-rata nilai tukar Rupiah pada tahun 2019 sebesar Rp14.000 – 14.500 per US$.

3. Defisit APBN dan Utang

Besarnya realisasi defisit APBN dalam empat tahun terakhir menyebabkan nilai utang pemerintah melonjak tajam. Total utang pemerintah pusat per Mei 2018 telah mencapai Rp 4.169 triliun atau meningkat sebesar Rp 1.561 triliun sejak akhir tahun 2014 (naik 60%). Selain nominal utang pemerintah yang naik drastis, rasio utang pemerintah terhadap PDB juga terus mengalami kenaikan dari hanya 24,7% pada 2014 menjadi 29,39% pada realisasi 2017.

Meskipun pemerintah terus berdalih bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB tersebut masih aman karena di bawah ambang batas 60% seperti yang tercantum dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Namun, lonjakan utang yang terlalu besar di tengah tax ratio yang masih rendah (10,7% dalam realisasi 2017) menyimpan bom waktu bagi APBN dalam jangka panjang. Bahkan dalam jangka pendek beban pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo pada tahun 2018 yang nilainya mencapai Rp384 triliun telah menggerus porsi APBN untuk pembayaran pokok utang maupun bunga utang. Padahal, hampir 30% dari utang pemerintah berdenominasi mata uang Dolar AS.

Belum lagi dengan nilai utang BUMN yang jumlahnya juga sangat besar mencapai Rp 4.825 triliun per April 2018. Segala risiko yang dihadapi BUMN jika terjadi keadaan mengarah yang tidak diharapkan tentunya juga menjadi bagian yang akan ditanggung oleh pemerintah melalui APBN. Berkaitan dengan transparansi pengelolaan pembiayaan negara, Kementerian Keuangan harus mempublikasikan profil utang pemerintah pusat secara lengkap kepada publik seperti pada publikasi sebelum Agustus tahun 2017. Karena sejak September 2017 sampai saat ini publikasi profil utang pemerintah pusat telah dipangkas sehingga publik tidak dapat berpartisipasi mengawal kebijakan fiskal pemerintah.

Dengan melihat realisasi defisit APBN dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) yang selalu menyentuh 2,5% terhadap PDB, maka kami meminta agar pemerintah berupaya serius dalam menjaga defisit APBN di bawah level 2% terhadap PDB, tidak hanya sekedar pajangan dalam target APBN. Dengan terjaganya realisasi defisit APBN maka diharapkan tumpukan utang pemerintah tidak membesar dengan drastis sehingga menjadi warisan bencana bagi generasi mendatang.

4. Indikator Kesejahteraan

Pemerintah harus lebih progresif dalam menargetkan penurunan tingkat ketimpangan.* Tingkat ketimpangan yang diukur dengan gini ratio masih mencatatkan angka 0,391 per September 2017. Angka gini ratio tersebut tidak banyak berubah dari posisi Maret 2016 yang tercatat 0,397. Padahal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pemerintah menargetkan tingkat ketimpangan menjadi 0,36 pada tahun 2019. Begitupun dengan tingkat kemiskinan yang ditargetkan menjadi menjadi 7-8% pada akhir tahun 2019. Dengan tingkat kemiskinan 10,12% per September 2017 maka diperlukan upaya yang sangat keras oleh pemerintah dalam menurunkan jumlah penduduk miskin di Indonesia.

Dalam pembahasan RAPBN 2019, pemerintah menyodorkan target tingkat ketimpangan sebesar 0,38 – 0,39. Padahal target gini ratio pemerintah pada tahun 2018 sebesar 0,38.
Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan pembangunan pemerintah justru pro terhadap kesenjangan dan tidak menunjukkan keseriusan terhadap pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, demi terbentuknya sinyal positif bahwa pemerintah memiliki kepedulian terhadap isu ketimpangan maka kami mengusulkan agar tingkat ketimpangan pada tahun 2019 ditargetkan turun menjadi 0,37 – 0,38.

Sehingga dengan penurunan target ketimpangan yang progresif tersebut akan terjadi reorientasi kebijakan pembangunan nasional yang mengarah pada pembangunan yang berkualitas yaitu pengurangan tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan ketimpangan.

5. Penanggulangan Bencana Banjir Rob

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang kedua setelah Kanada) tengah menghadapi ancaman nyata perubahan iklim global. Salah satu dampak perubahan iklim yang paling dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir laut adalah abrasi dan banjir rob. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang bermukim di kawasan pesisir mencapai 140 juta jiwa (60 persen) maka tentu bencana rob menjadi persoalan yang sangat serius untuk ditanggulangi pemerintah baik pusat maupun daerah. Apalagi Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah memandatkan kepada negara untuk melindungi hajat hidup masyarakat pesisir.

Berdasarkan riset dari Fakultas Geografi UGM (2010), dampak perubahan iklim terhadap kenaikan permukaan air laut di wilayah pesisir Indonesia sangat mencemaskan. Berdasarkan simulasi riset tersebut, perubahan iklim akan berdampak pada kenaikan permukaan air laut di Pantura antara 6-10 mm per tahun. Implikasinya bahwa kota-kota di pesisir Pantai Utara Pulau Jawa, seperti Pekalongan dalam jangka waktu 100 tahun ke depan akan tergenang air laut hingga sejauh 2,1 km dari garis pantai, dan Kota Semarang akan mengalami hal yang sama sejauh 3,2 km dari garis pantai.

Dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2019 antara DPR dengan pemerintah telah menyepakati untuk mengarahkan kebijakan pengurangan kesenjangan antarwilayah salah satunya melalui penanggulangan dampak bencana. Berkaitan dengan arah kebijakan pemerintah tersebut,

Saya mendesak agar pemerintah pusat menjadikan penanggulangan bencana banjir rob sebagai salah satu prioritas anggaran nasional tahun 2019.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Indonesia dan Irak Saling Membutuhkan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
DPR  

Terpopuler