jpnn.com - Analis politik Pangi Syarwi Chaniago menilai penambahan posisi wakil kepala Kantor Staf Presiden (KSP) membuat Istana Kepresidenan makin gemuk. Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru memberikan contoh buruk di tengah agenda debirokratisasi.
"Presiden Jokowi memberi contoh preseden buruk di tengah agenda pemangkasan birokrasi. Di hadapan anggota MPR saat pelantikan, beliau berpidato dengan nada optimis akan melakukan pemangkasan birokrasi. Namun, struktur birokrasi di lingkaran istana malah makin gemuk," ujar Pangi di Jakarta, Selasa (31/12).
BACA JUGA: Penunjukan 12 Wakil Menteri Bertentangan dengan Hasrat Merampingkan Birokrasi
Direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu menambahkan, saat ini yang paling penting adalah pemerintah menjelaskan manfaat, tugas dan fungsi setiap posisi dan jabatan baru kepada masyarakat. Dengan demikian, katanya, publik tidak buru-buru curiga.
Pengamat politik yang akrab disapa dengan panggilan Pangi itu mengatakan, penambahan jabatan atau nomenklatur baru untuk penyokong kinerja presiden pasti akan menambah beban anggaran. Karena itu, juru bicara presiden harus menjelaskan ke publik urgensi jabatan baru.
BACA JUGA: 7 Staf Khusus Presiden dari Milenial Itu Dapat Keistimewaan
Publik wajib mendapatkan informasi yang jelas dan lengkap, termasuk rasionalisasi atas kebijakan tersebut. Sebab, hal itu punya kaitan yang sangat erat dengan tanggung jawab pemerintah pada publik.
"Saya kira penjelasan ini penting, sebab presiden harus menghindari penambahan jabatan sebagai bagian dari upaya akomodasi politik semata dan boleh jadi tidak begitu penting penambahan posisi tersebut karena tidak punya korelasi linear terhadap peningkatan kinerja, yang ada hanya pemborosan keuangan negara," katanya.
Pangi juga mengatakan, pemerintahan Presiden Jokowi 2019-2024 lebih gemuk dari periode pertama. Perinciannya adalah staf khusus yang bertambah dari 11 menjadi 14 orang, kemudian Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ada 9 orang, serta penambahan wakil menteri dari 3 orang pada era 2014-2019 menjadi 12 orang pada 2019-2024.
"Jika akomodasi politik lebih diutamakan ketimbang urgensi maka sesungguhnya presiden berada pada posisi yang lemah dan tidak mampu berkutik menghindar atau melawan tekanan politik. Penambahan struktur dan jabatan strategis di lingkaran presiden harus punya rasionalisasi yang kuat, jika tidak maka presiden akan distempel inkosisten," pungkas Pangi.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang