jpnn.com - Pagebluk Covid 19 telah merenggut kebebasan manusia di seluruh dunia, dan menempatkan mereka di dalam penjara raksasa di rumah masing-masing.
Manusia diawasi dan didisiplinkan oleh Big Brother yang mengawasi 24 jam sehari.
BACA JUGA: Konon Ada WNA China Masuk Lagi saat PPKM, Syarief Hasan Sentil Jokowi
PPKM, lockdown, atau apa pun namanya, telah menempatkan manusia di bawah pengawasan total untuk menertibkan mereka. Semua diawasi supaya hidup teratur, tidak meninggalkan rumah, dan makan serta istirahat dengan teratur.
Tanpa kehadiran aparat fisik pun manusia menertibkan dirinya sendiri.
BACA JUGA: Inilah Jenis Makanan & Minuman Berbahaya bagi Pasien Sedang Isoman
Pandemi telah menempatkan manusia dalam Panopticon, sebuah sistem kekuasaan yang berjalan otomatis karena adanya pengawasan melekat setiap saat.
Panopticon adalah arsitektur penjara yang didesain untuk mengawasi para narapidana setiap saat.
BACA JUGA: Khusus Pasien Covid-19 yang Menjalani Isoman, Simak 4 Saran dari Guru Besar UI Ini
Penjara model Panopticon ini kali pertama dibangun di Rusia, berbentuk bangunan melingkar di bagian luar dengan menara di tengah-tengah.
Menara itu dilengkapi dengan jendela besar yang terbuka untuk mengawasi sisi dalam bangunan yang melingkar.
Bangunan melingkar di sisi luar dibagi menjadi sel-sel. Setiap sel punya dua jendela, satu di dalam menghadap jendela menara dan satu jendela lagi di bagian luar, sehingga memungkinkan cahaya menembus dari sel yang satu ke sel lain.
Penjara ini bukan hanya dipakai untuk narapidana, tetapi juga untuk ODGJ, orang dengan gangguan jiwa, orang yang dikutuk, buruh, atau bahkan anak sekolah.
Di menara ditempatkan pengawas yang bisa melihat ke seluruh sel, sedangkan para penghuni tidak bisa melihat ke arah pengawas.
Desain spasial yang khas itu membuat para penghuni merasa terus-menerus terpantau. Efek utama panopticon adalah menciptakan dalam diri para penghuni sel kesadaran bahwa mereka diamati terus-menerus, dan kekuasaan selalu hadir secara otomatis.
Panopticon berfungsi mengatur segala sesuatu agar berada dalam pengawasan permanen, meski pengawasan itu tidak berlangsung terus-menerus, meski pengawas tidak selamanya mengawasi.
Karena merasa diawasi terus-menerus, mereka yang berada di dalam sel akan patuh dan disiplin dengan sendirinya.
Teori panopticon ini diperkenalkan oleh filsuf Prancis Michel Foucault, yang mengadopsi ide dari model arsitektur rancangan filsuf Inggris Jeremy Bentham.
Model arsitektur ini didapat Bentham saat mengunjungi saudaranya yang menjadi penjaga penjara di Rusia.
Di zaman Orde Baru, kekuasaan otoriter melakukan pengawasan menyeluruh dari pusat sampai jauh ke pelosok desa. Tidak ada organisasi yang tidak terpantau oleh kekuasaan, tidak ada perorangan yang lepas dari pengawasan.
Semua organisasi menjadi bagian dari korporatisme negara, dan semua individu menjadi bagian dari pengawasan kolektif oleh Big Brother.
Di era modern sekarang manusia diawasi oleh CCTV, televisi sirkuit di mana-mana. Kompleks perumahan, kantor-kantor, toko-toko, tempat ibadah, dan perempatan jalan penuh dengan CCTV yang mengawasi.
Bahkan, ketika tertempel pengumuman ‘’Tempat Ini Dilengkapi dengan CCTV’’ orang sudah merasa diawasi, meskipun tidak terlihat ada kamera pengawas di sekitarnya.
Dalam tradisi agama Tuhan bersifat omnipresenst, ada di mana-mana, hadir di mana-mana. Tuhan adalah zat yang bisa mengetahui gerak-gerik kita, di mana pun dan kapan pun.
Karena itu kita mematuhi perintah Tuhan dan menjauhi larangan. Ketika melakukan kesalahan kita akan cepat-cepat meminta ampun.
Dalam dunia yang penuh dengan dominasi maskulin, perempuan merasa selalu diawasi penampilannya oleh laki-laki. Karena itu para perempuan patuh menjaga kondisi tubuh dengan minum jamu galian singset, sari rapet, susut perut, berdiet, dan beraerobik.
Ketika ada bagian wajahnya yang kurang menarik dia melakukan oplas, operasi plastik demi meningkatkan kecantikannya.
Sistem Panopticon sudah berjalan secara global. Pagebluk Covid 19 ini menegaskan kehadiran Panopticon dalam kehidupan kita.
Yang kita alami sekarang ini adalah pemenjaraan massal akibat pagebluk Covid 19.
Semua orang dipaksa untuk percaya bahwa virus itu ada. Dan setiap orang dipaksa untuk masuk Panopticon yang dibangunnya sendiri di rumah-rumah pribadi.
Layaknya status penghuni Panopticon, manusia sekarang punya status masing-masing sesuai dengan tingkat keterjangkitannya. Ada menjadi pasien parah sampai harus dibantu dengan oksigen dan transfusi darah.
Ada yang bergejala ringan, ada yang tanpa gejala. Semuanya terpantau. Ketika seseorang terjangkiti tanpa gejala, dia masuk kategori sebagai ODP, Orang Dalam Pantauan.
Bahkan ketika kita sedang melakukan isoman sendirian, terisolasi di dalam kamar, kita tetap patuh makan teratur, minum vitamin, istirahat cukup, dan dengan sukarela menjemur diri.
Tingkat kepatuhan kita terhadap Panopticon sudah selevel dengan kepatuhan kepada Tuhan.
Orang yang berpuasa tidak akan makan minum, meskipun ada makanan dan tidak ada orang lain yang melihat. Orang yang isoman juga tidak akan makan sembarangan meskipun semua tersedia. Mereka taat dan patuh karena ada mekanisme pengawasan Panopticon.
Kita semua sama dengan orang-orang yang berada di dalam sel-sel yang diawasi oleh Covid-19 yang berada di menara pengawas.
Kita patuh suhu tubuh kita diukur ketika memasuki perkantoran atau perumahan. Kita disiplin cuci tangan pakai sabun. Kita disiplin mengonsumsi vitamin E atau C untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Kita mematuhi protokol kesehatan tanpa membantah. Bekerja, belajar, beribadah, di rumah untuk menjaga jarak fisik dan sosial. Bahkan terhadap keluarga, anak, dan istri kita tega menjaga jarak dan tidak berbicara.
Ketika terjadi penyekatan dan larangan bepergian kita taat dan patuh. Bahkan kita rela mengorbankan kesempatan silaturahmi dan anjangsana kerabat setahun sekali, karena ada larangan mudik.
Kita rela memodifikasi cara kita beribadah. Bahkan kita dengan senang hati menutup tempat ibadah demi kepentingan Panopticon.
Panopticon global diwakili oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, yang menerapkan aturan dan menetapkan pengawasan otomatis.
Di zaman Orde Baru aparat melakukan pengawasan sampai ke desa-desa dan bahkan masuk ke rumah-rumah. Sekarang pun aparat Panopticon mengawasi sampai ke rumah-rumah untuk memastikan tidak ada yang lolos dari pengawasan.
Vaksinasi menjadi kewajiban. Mekanisme ini akan memperkuat pengawasan Panopticon yang merasuk sampai ke pembuluh darah kita. Semua orang harus divaksin.
Karena itu semua aparat digerakkan untuk memastikan semua orang mendapatkan vaksin. Aparat intelijen pun digerakkan dalam program vaksinasi. Ketika seseorang tidak mampu berjalan untuk mendapat vaksinasi, dia harus dijemput dan bila perlu digendong.
Manusia modern selalu memuja kebebasan individual. Atas nama humanisme, kemanusiaan, setiap orang harus bebas menikmati dan memilih jalan hidupnya.
Humanisme menempatkan kebebasan individu di atas segala-galanya. Bahkan agama pun harus mengalah terhadap kebebasan individu, karena manusia tidak boleh dipaksa untuk beragama.
Humanisme individual menghasilkan paham politik demokrasi liberal. Sementara humanisme kolektif menghasilkan paham sosialisme dan komunisme. Semuanya sama saja, bertumpu kepada kebebasan individu.
Dalam perjalanannya kemudian kebebasan individu itu harus menyerah kalah total terhdap serangan pandemi.
Orang pun dengan sukarela menggadaikan kebebasannya kepada panopticon supaya bisa mendapatkan kebebasannya kembali. (*)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi