jpnn.com - SAYA dipaksa istri lihat pasar terapung di Banjarmasin. Saya pura-pura takut: berangkat. Sebenarnya cerita di TV dan medsos sudah cukup lengkap. Untuk apa lagi ke sana.
Maka habis Subuh kami langsung turun dari kamar hotel. Ke dermaga. Fajar belum lagi menyingsing. Doa subuh masih banyak berkumandang dari pengeras suara masjid.
BACA JUGA: Rumah Bocor
Di dalam mobil teman dari Tanah Bumbu membagi masker. "Untuk apa? Harus?'' tanya saya. ''Asap tebal. Harus pakai masker,'' jawab Nisa, wartawati yang menyertai kami.
Persiapan masker itu berdasar pengalaman rombongan wartawan dari Batu Licin ke Banjarmasin. Sehari sebelumnya. Di sekitar subuh. Mereka harus meminggirkan mobil. Bahaya. Jarak pandang tidak sampai 10 meter. Udara berasap tebal. Campur kabut.
BACA JUGA: Perangkat Desa
Sampai dermaga, langit timur mulai merona. Tanda-tanda kabut tidak ada. Asap pun tiada. Langit cerah. Kami pun masuk perahu
Tidak ada tempat duduk di dalam perahu. Harus bersila di lantainya. Tidak nyaman. Saya putuskan pindah ke buritan. Atap perahu ini rendah. Tidak bisa berjalan sambil berdiri. Maka saya menuju ke buritan dengan batingkaung.
BACA JUGA: Stroke Jantung
Itu tidak mungkin dilakukan oleh istri. Lututnyi bermasalah. Maka saya teriaki dia: jangan masuk perahu. Lewat atap saja. Langsung menuju buritan.
Dia sudah biasa lari di atap perahu. Perahu adalah kendaraan utama dari rumah orang tuanyi di Loa Kulu ke sekolahnyi di Samarinda. Ternyata dia pilih duduk di atas atap perahu. Bisa lihat ke segala arah. Ditemani Nisa yang hamil muda.
Saya tidak bahagia di perjalanan sungai Martapura ini. Naik perahu sudah biasa. Menyusuri sungai bukan barang baru.
Saya justru seperti melihat masa nan silam: 40 tahun yang lalu. Kanan-kiri sungai Martapura seperti sengaja mengabadikan masa silam. Di sungai ini dekade seperti berhenti menjemput dekade-dekade di depannya.
Fajar berganti pagi. Waktunya mandi pagi. Maka di sepanjang pinggir sungai Martapura ini banyak orang lagi mandi pagi: di dermaga apung di depan rumah masing-masing. Di sebelah bangunan toilet yang juga terapung. Atau toilet bertiang di atas air sungai.
Yang laki-laki mandi dengan cara tetap mengenakan celana kolor. Saya tahu cara mandi seperti itu. Saya pernah mengalaminya berbulan-bulan. Di dermaga apung sungai Mahakam. Di bagian kampung Karang Asam, pinggiran kota Samarinda.
Saya tinggal di rumah kakak sulung. Di belakang sekolah. Tiap pagi harus menyusuri jembatan kayu, menyeberangi jalan raya, menuruni dermaga: ada toilet terapung di situ. Juga ada rangkaian kayu terapung yang bisa untuk mandi.
Menyabun badan bagian atas tidak ada masalah. Tetapi menyabun bagian bawah harus memasukkan sabun ke dalam celana kolor.
Jangan menghadap ke jalan raya. Jangan pula menghadap ke hulu atau ke hilir. Di jalan banyak orang lewat. Di hulu dan hilir juga banyak orang mandi serupa. Yang paling aman: menghadap ke tengah sungai.
Memang ada perahu yang lalu-lalang di sana tetapi agak jauh di tengah. Etika perahu: tidak boleh lewat dekat tempat mandi dan toilet seperti itu. Gelombang yang diakibatkan oleh perahu akan mengguncang pijakan tempat mandi mereka.
Yang wanita mandinya sambil mengenakan sarung yang dililit sampai atas dada. Cara menyabun badan pun sama dengan laki-laki yang pakai celana kolor.
Sudah lama tidak ada lagi pemandangan seperti itu di Karang Asam. Modernisasi sudah mengubah cara mandi, apalagi kualitas air Mahakam sendiri sudah kian parah.
Di umur 72 tahun ini saya melihatnya lagi di sepanjang sungai Martapura.
Di sini saya juga melihat suami istri berperahu kecil menuju kebun. Perahu tanpa atap. Lebar perahu hanya cukup untuk satu badan. Suami istri itu duduk berjauhan. Satu di depan. Satu di belakang. Mereka sibuk menyingkirkan ilung, tanaman mengapung yang memblokir pinggiran sungai.
Suami istri itu perlu menerobos ilung untuk masuk parit kecil. Kebun itu rupanya berada di pinggir parit tersebut.
Begitu lama saya tidak melihat orang ke kebun naik perahu kecil. Dekade sudah sering berganti. saya melihatnya lagi di dekade ini.
Setelah setengah jam melihat masa lalu seperti itu sampailah di lokasi pasar terapung. Perahu kami disambut banyak perahu kecil yang membawa dagangan: nasi kuning haruan, nasi kuning hintalu, air dalam botol, pisang, jeruk, rambutan, kesemek, dan segala hasil bumi sekitar sungai itu. Perahu kami seperti terkepung puluhan perahu kecil.
Tidak ada skenario akan membeli apa pun di situ. Tetapi tidak mungkin. Seorang ibu begitu agresif menawarkan dagangan. Seorang remaja putri menempelkan perahunyi ke perahu kami.
Tangan kanannyi memegang dagangan. Tangan kirinyi memegang tali perahu. Mereka begitu gigih berdagang. Saya harus menghargai kegigihan usaha seperti itu. Maka istri saya membeli banyak hal tanpa tahu bagaimana menghabiskannya.
Saya pun memberi kode Nisa, untuk segera balik ke Banjarmasin. Pikiran saya bergejolak. Simpati. Iba. Kagum. Prihatin. Jadi satu.
Waktu berperahu meninggalkan pasar terapung itu terlihat begitu banyak perahu lain yang datang. Tidak sedikit yang berisi rombongan besar. Misalnya kelompok Harley-Davidson dari Yogyakarta.
Turisme adalah gaya hidup modern. Turis senang melihat objek yang tidak bergerak maju. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tegur Jesus
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi