JAKARTA - Pasar obligasi diproyeksi kembali bergairah pada akhir semester kedua tahun ini. Selain dukungan sentimen eksternal mengenai kelanjutan stimulus moneter AS, terdapat sinyal perbaikan angka inflasi dari dalam negeri. Sentimen positif itu diperkirakan mampu menurunkan yield atau imbal hasil dan kembali mengangkat harga surat utang.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menyatakan, inflasi tinggi karena kenaikan harga BBM biasanya hanya berlangsung dua kuartal. ''Jadi, ada peluang yield mulai turun dan harga obligasi pada kuartal keempat tahun ini mulai membaik,'' ungkap Destry.
Dia memperkirakan, inflasi pada akhir tahun ini menyentuh angka 8-8,2 persen. Sementara itu, pada 2014, inflasi diproyeksi turun di level 4-5 persen.
Dalam kondisi ekonomi domestik yang berangsur pulih itu, investor diyakini bakal kembali mengakumulasi surat utang negara. Investor asing juga masih berkontribusi signifikan dalam kepemilikan obligasi negara.
''Sekarang asing sudah tampak masuk lagi, meski sedikit. Apalagi, ada sentimen positif dari The Fed untuk memperpanjang quantitative easing (QE),'' ulasnya.
Destry memaparkan, di tengah tekanan jual investor asing dalam obligasi dan saham yang mencapai Rp 14 triliun dalam dua pekan terakhir, sejatinya terdapat capital inflow ke obligasi senilai Rp 2 triliun. Tak pelak, kepemilikan asing dalam surat berharga negara (SBN) pun kembali meningkat.
Hingga pertengahan Juli 2013, posisi kepemilikan asing di SBN mencapai Rp 284,2 triliun. Pencapaian tersebut menunjukkan peningkatan jika dikomparasikan dengan posisi Juni 2013 sebanyak Rp 282,96 triliun. Sepanjang 2013 ini, kepemilikan asing di SBN sempat mencapai posisi tertinggi pada Mei, yakni Rp 302,96 triliun.
Director of Investment PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Alvin Pattisahusiwa juga menyatakan bahwa pasar obligasi bakal kembali bergairah pada kuartal pengujung tahun ini. ''Asumsi inflasi karena kenaikan harga BBM sudah tidak berpengaruh pada periode itu. Selain itu, ruang depresisasi rupiah semakin sempit,'' paparnya.
Menurut dia, upaya Bank Indonesia untuk mengurangi intervensi terhadap nilai tukar bakal membiarkan rupiah bergerak hingga titik keseimbangan baru. Pada titik itu, investor asing pun akan menilai rupiah berhenti terdepresiasi, sehingga kembali yakin untuk masuk ke instrumen obligasi.
Kendati harga obligasi saat ini masih dianggap buruk, Alvin menilai sekarang justru merupakan waktu yang tepat bagi investor untuk masuk ke instrumen itu. Sebab, imbal hasil yang ditawarkan cukup tinggi. Misalnya, dia memparkan, obligasi negara dengan tenor 10 tahun memiliki tingkat pengembalian hingga 8,2 persen. ''Kalau investor beli sekarang, artinya bisa lock 8,2 persen selama sepuluh tahun,'' jelasnya. (gal/c5/sof)
Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menyatakan, inflasi tinggi karena kenaikan harga BBM biasanya hanya berlangsung dua kuartal. ''Jadi, ada peluang yield mulai turun dan harga obligasi pada kuartal keempat tahun ini mulai membaik,'' ungkap Destry.
Dia memperkirakan, inflasi pada akhir tahun ini menyentuh angka 8-8,2 persen. Sementara itu, pada 2014, inflasi diproyeksi turun di level 4-5 persen.
Dalam kondisi ekonomi domestik yang berangsur pulih itu, investor diyakini bakal kembali mengakumulasi surat utang negara. Investor asing juga masih berkontribusi signifikan dalam kepemilikan obligasi negara.
''Sekarang asing sudah tampak masuk lagi, meski sedikit. Apalagi, ada sentimen positif dari The Fed untuk memperpanjang quantitative easing (QE),'' ulasnya.
Destry memaparkan, di tengah tekanan jual investor asing dalam obligasi dan saham yang mencapai Rp 14 triliun dalam dua pekan terakhir, sejatinya terdapat capital inflow ke obligasi senilai Rp 2 triliun. Tak pelak, kepemilikan asing dalam surat berharga negara (SBN) pun kembali meningkat.
Hingga pertengahan Juli 2013, posisi kepemilikan asing di SBN mencapai Rp 284,2 triliun. Pencapaian tersebut menunjukkan peningkatan jika dikomparasikan dengan posisi Juni 2013 sebanyak Rp 282,96 triliun. Sepanjang 2013 ini, kepemilikan asing di SBN sempat mencapai posisi tertinggi pada Mei, yakni Rp 302,96 triliun.
Director of Investment PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Alvin Pattisahusiwa juga menyatakan bahwa pasar obligasi bakal kembali bergairah pada kuartal pengujung tahun ini. ''Asumsi inflasi karena kenaikan harga BBM sudah tidak berpengaruh pada periode itu. Selain itu, ruang depresisasi rupiah semakin sempit,'' paparnya.
Menurut dia, upaya Bank Indonesia untuk mengurangi intervensi terhadap nilai tukar bakal membiarkan rupiah bergerak hingga titik keseimbangan baru. Pada titik itu, investor asing pun akan menilai rupiah berhenti terdepresiasi, sehingga kembali yakin untuk masuk ke instrumen obligasi.
Kendati harga obligasi saat ini masih dianggap buruk, Alvin menilai sekarang justru merupakan waktu yang tepat bagi investor untuk masuk ke instrumen itu. Sebab, imbal hasil yang ditawarkan cukup tinggi. Misalnya, dia memparkan, obligasi negara dengan tenor 10 tahun memiliki tingkat pengembalian hingga 8,2 persen. ''Kalau investor beli sekarang, artinya bisa lock 8,2 persen selama sepuluh tahun,'' jelasnya. (gal/c5/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan: Ustaz Yusuf Mansur Ingin Beli Bank Muamalat
Redaktur : Tim Redaksi