Paten Pasila

Oleh: Dahlan Iskan

Senin, 25 September 2023 – 07:07 WIB
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - "Jangan lagi hanya berorientasi ke Corpus. Kita malu dengan sopir taksi".

Maksudnya: doktor dan guru besar jangan hanya berlomba bikin karya tulis untuk dipublikasikan di jurnal. Bikinlah karya nyata. Sekecil apa pun.

BACA JUGA: Kereta Cepat

Lebih tegasnya lagi: kejarlah paten. Jangan kejar jurnal.

Yang mengatakan itu tamu saya Sabtu lalu. Ia sendiri sudah punya lebih dari 40 paten.

BACA JUGA: Komunikasi Rempang

"Paten itu tidak harus laku. Tidak harus langsung bisa dilaksanakan. Paten itu aset. Seperti punya tanah. Lama-lama sangat berharga," katanya.

Namanya: Felix Pasila. Lulusan elektro ITS (Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya). Masternya di Jerman. Di bidang automation.

BACA JUGA: Siaga Silat

Doktornya di Bologna, Italia. Di bidang artificial intelligence (AI).

Menjelang mendapat gelar doktor, Felix kembali ke Indonesia. Tahun 2013.

Dari Bandara Juanda ia naik taksi. Di perjalanan ia mengobrol dengan sopir.

"Apakah penghasilan dari taksi cukup untuk hidup?"

“Saya punya pekerjaan sampingan".

"Apa?"

“Servis kipas angin.”

"Bapak lulusan apa?"

“Hanya sampai kelas 5 SD.”

"Dari mana mendapat ilmu sampai bisa memperbaiki kipas angin?"

"Belajar dari YouTube. Sambil menunggu penumpang saya belajar itu.”

"Kerjanya malam?"

“Saya ajari anak-anak muda di kampung. Mereka sudah bisa. Sekarang ada 20 anak yang bekerja di tempat saya.”

Dialog dengan sopir taksi itu menyadarkan Felix habis-habisan. Dari situ ia berubah pikiran.

"Lulusan kelas 5 SD saja bisa berkarya. Saya ini calon doktor. Tidak boleh kalah," kata Felix.

Kembali ke Bologna, Felix tidak hanya menyelesaikan doktornya. Ia juga terus memikirkan apa yang harus dilakukan agar tidak kalah dengan lulusan kelas 5 SD.

Maka ia putuskan: bikin ''Rumah Pasila''. Diambil dari nama belakangnya: Felix Pasila.

Pasila adalah marga di Toraja. Felix orang Toraja yang lahir di Kendari. Ayahnya bekerja di Kendari.

Kini umurnya 49 tahun. Ia ingin Indonesia bisa mengejar ketinggalan di bidang paten.

"Kita hanya punya 15.000 paten setiap tahun," katanya. "Tiongkok punya 1 juta paten setahun," tambahnya.

Dengan satu juta paten itu, kini Tiongkok sudah mengalahkan Amerika. Di AS lahir 600.000 paten setahun.

Dulunya Amerika selalu unggul. Selama puluhan tahun. Belakangan bisa dikejar.

"Saya ingin Indonesia bisa segera mencapai angka 100.000 paten/tahun," ujar Felix.

Caranya?

"Para doktor dan guru besar berubah orientasi. Jangan hanya mengejar jurnal," katanya.

Lalu Felix membangun ''Rumah Pasila'' itu. Ia membangun aplikasi untuk siapa saja yang ingin melahirkan dan mengejar paten.

Rumah Pasila adalah market place untuk paten. Kalau keinginan Felix itu terwujud berarti instansi yang memproses paten juga harus siap.

Angka itu berarti lebih 8 kali lipat dari sekarang. Kalau tidak ada perubahan, prosesnya bisa sangat lama.

Salah satu paten milik Felix ialah aplikasi yang dipasang di toilet. Khususnya di tempat kencing.

Dari aplikasi itu akan ketahuan tingkat kekeruhan dan kandungan mineral si pengguna urinoir. Ketahuan juga hal-hal lainnya. Misalnya narkoba.

Aplikasi itu bisa dipasang di toilet-toilet tambang. Atau di perusahaan tertentu.

Penyakit pekerja akan diketahui. Juga bila kurang minum. Atau malamnya mereka banyak minum alkohol yang membahayakan operasional alat tambang.

Felix juga punya paten agar cat mobil bisa sekaligus sebagai panel tenaga surya. Waktu menemukan ide itu Felix minta timnya, mahasiswa kimia, untuk mengujinya.

"Memang hasilnya tidak sebesar panel surya, tetapi bisa 80 persennya," katanya.

Dari sekian banyak patennya itu sudah ada yang dibeli orang Myanmar. Sebenarnya ia orang Indonesia. Kawin dengan ratu kecantikan di sana. Anak pengusaha besar.

Felix sendiri beristri wanita Toraja. Waktu ambil S-2 di Bremen, Felix mengajak serta istrinya. Ikut kuliah di sana. Hamil.

Saat dekat melahirkan dia pulang. "Kalau melahirkan di Jerman takut urusannya ruwet," kata Felix.

Ketika Felix ambil doktor di Bologna, sang istri meneruskan kuliah di Bremen. Lalu menyusul ke Bologna.

Hamil lagi. Kali ini berani melahirkan di Bologna.

"Anak kedua itu saya beri nama Santo Egidio," katanya. Itu diambil dari nama jalan di depan rumah yang ditempati Felix di Bologna. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tanpa Walini


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler