Patung Soekarno

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 30 Oktober 2021 – 09:37 WIB
Megawati Soekarnoputri. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Akhir September yang lalu patung Pak Harto, Sarwo Edhie, dan Ahmad Yani menghilang dari museum Kostrad dan memicu polemik nasional.

Sekarang, Megawati Soekarnoputri menginstruksikan jajarannya untuk membangun patung Soekarno di berbagai daerah, untuk menegaskan peran sejarah Bung Karno dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia.

BACA JUGA: Megawati Minta Kader Tidak Taat Perintah untuk Mundur, Ujang: Menyindir Pendukung Ganjar

Megawati, rupanya, sedang menjalankan proyek besar untuk menulis ulang sejarah Indonesia. Proyek pelurusan sejarah ini potensial menimbulkan kontroversi.

Menonjolkan peran Soekarno berisiko menghilangkan peran sejarah orang lain, dan hal itu selalu menimbulkan kontroversi dan konter-aksi.

BACA JUGA: Soekarno-Hatta Ibarat Dwitunggal Meski Sering Berselisih Pendapat

Ada dua macam sejarah, yaitu ‘’sejarah sebagaimana yang terjadi’’ dan sejarah ‘’sebagaimana yang diceritakan’’.

Sejarah jenis pertama tidak mungkin terulang, dan yang bisa dilakukan adalah melakukan rekonstruksi dengan mengumpulkan berbagai bukti-bukti sejarah. Rekonstruksi itu bisa benar bisa juga salah, bergantung bukti-bukti sejarah yang bisa dikumpulkan.

Sejarah jenis kedua ‘’sebagaimana yang diceritakan’’ adalah sejarah yang ditulis dan diceritakan sesuai dengan keinginan pemenang. Sejarah selalu ditulis oleh para pemenang di zamannya.

Karena itu ada yang memelesetkan ‘’history’’ menjadi ‘’his story’’. Dalam kasus Indonesia sekarang adalah ‘’her story’’, sejarah versi Megawati.

Upaya untuk meluruskan sejarah menjadi proyek yang belakangan ini sering terdengar.

Sejak kekuasaan Soeharto jatuh karena gerakan Reformasi 1998 proyek pelurusan sejarah itu mulai sering bergaung.

Sejarah Indonesia dianggap bengkok, atau dibengkokkan, dan karena itu harus diluruskan.

Sejarah diasumsikan sebagai rangkaian peristiwa kronologis yang berjalan linier, lurus, dan searah. Karena itu ketika terjadi anakronisme sejarah dibutuhkan upaya untuk meluruskannya.

Bagaimana kalau ternyata sejarah bukannya rangkaian kronologi peristiwa yang linier, bagaimana kalau ternyata sejarah adalah sebuah spiral, lingkaran yang berliku-liku yang tidak mungkin bisa diluruskan?

Sejarawan muslim Ibnu Khaldun melihat sejarah sebagai sebuah spiral, dan karena itu muncul keyakinan bahwa sejarah akan mengulangi dirinya sendiri, l’histoir repete.

Roda sejarah berputar seperti pedati yang berputar kadang di atas kadang di bawah. Orang Jawa menyebutnya cakra manggilingan, tradisi Yunani menyebutnya panta rei, berputar berulang-ulang.

Hegel melihat sejarah sebagai sebuah proses untuk ‘’menjadi’’, sebuah proses eksistensial menuju sebuah titik puncak. Dalam proses itu muncul tesa yang kemudian melahirkan antitesa dan pada akhirnya terjadilah sintesa baru.

Proses ini akan menuju satu titik puncak yang akan menjadi puncak sejarah.

Ketika sejarah sudah sampai pada puncaknya maka sejarah akan berhenti, karena manusia terakhir sudah muncul. Itulah manusia paripurna yang hidup sesuai dengan kodrat kemanusiaan. Pada titik itu sejarah telah berakhir, the end of history and the last man, seperti yang diproklamasikan Francis Fukuyama (1991).

Sejarah macam apa yang ingin ditulis oleh Megawati?

Kayaknya Mega ingin menyegel sejarah Indonesia dalam versi hegelian yang linier itu. Sejarah Indonesia sudah berakhir di tangan Soekarno, dan Soekarno sudah muncul sebagai ‘’the last man’’.

Rentang sejarah yang linier--maupun putaran sejarah yang spiral--bisa berlangsung ratusan tahun, atau bahkan lebih pendek dalam puluhan tahun atau tahunan saja.

Sejarah bangsa Amerika ditulis oleh para pemenang berkulit putih yang menduduki benua itu pada abad ke-18. Sejarah sebelum itu dihapus dan dianggap tidak ada.

Bangsa pribumi Indian yang beratus tahun menghuni benua Amerika dianggap tidak eksis. Penghancuran dan pembunuhan sistematis dilakukan dengan cepat dan singkat, bukan hanya dengan menggunakan senjata, tetapi juga dengan senjata biologis berupa penyakit menular.

Sejarawan Jared Diamond mengatakan bahwa jumlah orang pribumi yang mati karena penyakit menular, yang dibawa orang kulit putih, jauh lebih besar dibanding jumlah korban karena senjata orang kulit putih.

Penyakit campak dan cacar—yang sekarang dianggap sebagai penyakit ringan yang sudah hilang—adalah dua jenis penyakit yang paling mematikan yang ditularkan orang kulit putih terhadap bangsa pribumi.

Orang-orang kulit putih itu sudah mempunyai kekebalan kelompok dan kemudian--sengaja atau tidak—menularkan penyakit itu kepada bangsa pribumi. Ratusan ribu Indian pribumi Amerika mati karena pandemi itu.

Bukti-bukti sejarah jelas menunjukkan bukti genosida masal itu. Toh bangsa kulit putih tidak pernah merasa bersalah atas pembantaian besar itu. Mereka anggap kolonialisme dan imperialisme bukanlah kejahatan.

Sebaliknya, kolonialisme dan imperialisme adalah tugas sejarah yang menjadi kewajiban bangsa kulit putih yang beradab, untuk memperadabkan dunia ketiga. Penjajahan dan penaklukan itu adalah ‘’white man’s burden’’ beban sejarah orang kulit putih yang harus ditunaikan.

Itulah yang terjadi di seluruh belahan dunia. Di Amerika Utara, Amerika Selatan, di Australia dan Afrika, penduduk pribumi dianggap tidak ada dan tidak pernah eksis. Hamparan tanah luas itu dianggap sebagai bumi yang 'suwung' yang bebas dikuasai oleh bangsa kulit putih.

Karena itulah orang kulit putih mengeluarkan prinsip ‘’terra nulius’’, tanah kosong, untuk menjustifikasi perampasan dan penjajahan masal itu.

Bagi bangsa kulit putih para kolonis itu adalah pahlawan. Namun, bagi bangsa pribumi mereka adalah penjajah. Bagi bangsa kulit putih para kolonis adalah pembebas, tetapi di mata para budak belian yang didatangkan dari Afrika dalam jumlah puluhan ribu, orang-orang kulit putih itu adalah monster pembunuh yang mengerikan.

Christopher Columbus adalah pahlawan bagi orang kulit putih yang beremigrasi ke Amerika. Namun, bagi orang-orang kulit hitam keturunan budak belian dari Afrika, Columbus adalah lambang kekejaman dan kezaliman.

Para pejuang konfederasi pada perang sipil Amerika adalah pahlawan pemersatu bangsa. Namun, bagi orang kulit hitam mereka adalah perampas kebebasan dan pedagang manusia yang tidak berperikemanusiaan.

Melewati masa 200 tahun setelah kemerdekaan Amerika, sejarah kemudian berbalik. Puluhan ribu orang menurunkan patung Columbus dalam demonstrasi ‘’Black Lives Matter’’ sepanjang 2020.

Patung Columbus diambrukkan, dirusak, dan kemudian ditenggelamkan ke sungai. Nasib yang sama dialami oleh patung Jefferson Davies, presiden pertama konfederasi Amerika Serikat. Patung itu diturunkan, lalu dirusak, dan beramai-ramai ditenggelamkan ke sungai di Virginia.

Bangsa Amerika yang sudah merdeka 250 tahun dan dianggap sebagai contoh negara demokrasi paling sukses di planet bumi masih mengalami keterpecahan yang menganga seperti itu.

Bangsa Indonesia yang baru 76 tahun merdeka pasti punya problem kebangsaan yang jauh lebih serius daripada Amerika.

Negara-negara di Eropa Timur, di Asia Tengah, dan di beberapa wilayah lain juga mengalami hal yang sama. Ketika komunisme di seluruh Eropa ambruk, menyusul bubarnya Uni Soviet, puluhan ribu orang turun ke jalan merayakan kebebasan.

Ritual yang mereka lakukan terlihat seragam. Mereka beramai-ramai menurunkan dan menghancurkan patung para pemimpin komunis yang berdiri tegak selama puluhan tahun. Patung Stalin mereka hancurkan, patung Nicolae Ceausescu di Rumania dihancurkan, patung-patung Karl Marx dihancurkan di mana-mana.

Ketika rakyat Irak merasa terbebas dari kekuasaan Sadam Hussein--yang menjadi orang kuat selama puluhan tahun--yang mereka lakukan pertama adalah menurunkan patung besar Sadam Hussein di pusat kota Baghdad.

Patung pun roboh dan rakyat bersorak-sorai merayakannya.

Sejarah berputar dan bergerak dengan cepat. Setiap terjadi perubahan rezim, terjadi juga penghancuran patung seolah ritual wajib yang rutin. Hal itu terjadi di Amerika yang demokratis dan terjadi juga di Irak yang diktatorial.

'Kita' tidak pernah belajar dari sejarah. Satu-satunya yang 'kita' pelajari dari sejarah adalah bahwa 'kita' tidak pernah belajar dari sejarah.

Proyek patung Bung Karno masal--yang sekarang digalakkan oleh Megawati—adalah salah satu bukti bahwa 'kita' tidak pernah belajar dari sejarah. (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler