Sepekan ini curah hujan Jakarta berhasil dikendalikan. Gubernur Jokowi melakukan rekayasa cuaca dengan memecah awan cummulus di atas Selat Sunda. Dibantu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), volume hujan bisa digembosi hingga 30 persen. Pekerjaan jangka pendek yang layak diapresiasi.
Cuaca bisa dikendalikan! Hujan bisa diatur, bisa dipindahkan, bisa dijatuhkan di koordinat lain. Tanpa harus mendatangkan pawang hujan tradisional yang membawa sapu lidi, bergelang akar bahar, bercincin batu akik, berpakaian tradisional dengan segala atribut khasnya. Tidak perlu komat-kamit melafalkan mantra-mantra sakti sepanjang hari? Apalagi harus membuang celana dalam perempuan ke atas genting rumah, sebagai simbol tolak hujan?
Dengan satellite, arah dan kecepatan angin bisa dibaca dengan amat presisi. Dengan radar dan kamera satellite, gumpalan-gumpalan awan stratocumulus, cumulonimbus, cirrocumulus dan altocumulus itu bisa dideteksi oleh BMKG – Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika. Dengan pesawat Hercules, awan-awan pembawa hujan itu bisa dipecah-pecah. Dengan 5 ton butiran Natrium Clorida (garam) setiap hari, awan itu terbelah-belah. Ada yang jadi hujan di Selat Sunda. Ada yang tertiup angin barat menuju ke Kalimantan, Sulawesi dan Jawa bagian Utara.
Rekayasa yang sampai Maret 2013 menghabiskan Rp 13 M itu betul-betul efektif. Jakarta berawan putih tipis, tidak ada hujan, dan tidak menambah beban daya tampang air di permukaan ibu kota. Minggu, 27 Januari yang diprakirakan puncak hujan di bulan Januari –yang sering dipelesetkan hujan sehari-hari itu--- hanya gerimis kecil dan hujan lokal yang tidak signifikan. Jakarta yang diramalkan bakal “tenggelam”, sukses dilalui tanpa cemoohan.
Warga Jakarta senang, terutama di kawasan Pluit, Penjaringan, Daan Mogot, sebagian Grogol, Kampung Melayu, Cilincing, tidak naik debit air genangnya. Rp 13 M itu seolah tidak mahal, jika dibandingkan dengan penderitaan pengungsi banjir yang jumlahnya puluhan ribu pasang mata, baik tua-muda, maupun kaya-miskin.
Apalagi kalau dibandingkan dengan bisnis yang mandek beberapa hari, fasilitas dan peralatan elektronik yang rusak, dan akses yang terputus di mana-mana?
Apalagi kalau dibandingkan dengan bisnis yang mandek beberapa hari, fasilitas dan peralatan elektronik yang rusak, dan akses yang terputus di mana-mana?
Kebijakan Rp 13M itu, betul-betul tidak ada yang menyoal, tidak ada complain, tidak ada yang ngomel. Baik yang kena banjir, korban banjir, maupun yang kawasannya bebas banjir. Tidak ada yang bilang “boros” atau “penghamburan” dana. Dampak banjir itu triliunan. Angka Rp 13M itu jauh tidak selevel dengan benefitnya, yakni banjir tidak berkelanjutan dan berlama-lama. Karena aneka penyakit ISPA mulai mengintai warga.
Solusi jangka pendek yang ciamik. Gubernur Jokowi sudah mirip “pawang hujan” saja. Kemarin sore, saya mendarat di Soekarno Hatta, masih melihat awan-awan putih yang menyilaukan di atas laut Jakarta. Awan yang berada di 6.500 feet itu selain membuat badan pesawat bergoyang, juga cukup menyulitkan jarak pandang pilot untuk landing.
Masih membutuhkan solusi jangka menengah dan panjang yang signifikan, terencana, cepat diimplementasi dan tidak bersifat sementara. Tidak tambal sulam. Bukan semacam “pawang hujan” dan “pawang banjir” saja. Tetapi solusi yang alami, yang memainkan instrument alam untuk mencegah bencana banjir itu. Kabar baik berhembus dari Menhut Zulkifli Hasan. Dia menyebut menyelesaikan banjir Jakarta itu harus ada pengendalian di kawasan hulu, seperti Puncak, Cisarua, Kab Bogor, Karawang, Depok, Tangerang.
Karena banjir Jakarta itu akan parah, ketika sudah diserang dari tiga penjuru. Dari laut air pasang, dari udara air hujan, dan dari darat kawasan atas. Rekayasa cuaca adalah “rudal penjinak” serangan dari udara. Pengendalian dan pengaturan kawasan hulu, itu adalah “infanteri” yang menangkal ancaman banjir dari darat.
Apa yang sudah dilakukan Kementerian Kehutanan? Pertama, mensosialisasikan konsep adopsi pohon. Mengajak masyarakat di dataran tinggi untuk mengubah pola menanam sayur dan tanaman semusim ke menghutankan kawasan dengan pohon tanaman keras. Problemnya, tanaman keras itu berjangka waktu panen pada durasi 5-10 tahun, sementara harus ada yang menopang ekonomi mereka selama menunggu pohon siap ditebang. Maka, mereka dikombinasi dengan memelihara domba atau kambing selama 1,5 tahun, sebagai solusi jangka menengah. Dan, masih boleh menanam sayur dan pohon semusim di masa transisi.
“Ini sudah kami sosialisasikan kepada warga, dan mereka antusias,” kata Zulkifli Hasan.
Apa yang sudah dilakukan Kementerian Kehutanan? Pertama, mensosialisasikan konsep adopsi pohon. Mengajak masyarakat di dataran tinggi untuk mengubah pola menanam sayur dan tanaman semusim ke menghutankan kawasan dengan pohon tanaman keras. Problemnya, tanaman keras itu berjangka waktu panen pada durasi 5-10 tahun, sementara harus ada yang menopang ekonomi mereka selama menunggu pohon siap ditebang. Maka, mereka dikombinasi dengan memelihara domba atau kambing selama 1,5 tahun, sebagai solusi jangka menengah. Dan, masih boleh menanam sayur dan pohon semusim di masa transisi.
“Ini sudah kami sosialisasikan kepada warga, dan mereka antusias,” kata Zulkifli Hasan.
Kedua, konsep sumur resapan yang juga sudah dimulai di Cisarua, Bogor, dan kawasan di atas. Panjang 1 meter, lebar 1 meter, dalamnya 2,7 meter. “Kami sudah membuat 5.000 lubang di sana,” sebut menhut ini. Pemerintah daerah juga harus mendorong peraturan agar lebih banyak sumur resapan seperti itu.
Ketiga, mengatur DAS – Daerah Aliran Sungai, yang bisa dijadikan reservoir alam, cadangan air tanah yang alami. Pemahaman DAS itu bukan hanya kawasan di kiri kanan sungai, tetapi termasuk punggung bukit, yang dilewati air. Termasuk membangun waduk, agar aliran air bisa terkendalikan. DAS di kawasan atas Jakarta itu luasnya 200.000 hektare, dan Jakarta sendiri hanya 60.000. Tiap tahun Jakarta dilalui 3,3 Miliar kubik air. Yang 1,5 Miliar kubik diantaranya dimanfaatkan oleh warga Jakarta selama setahun. “Sisanya, mengalir ke laut begitu saja,” kata dia.
Dari 1,5 Miliar kubik itu, yang 1,3 Miliar kubik air diperoleh dari bawah tanah, setelah membuat sumur pengeboran. Ini yang membuat, permukaan tanah di kota Jakarta terus mengalami penurunan, dan karena laut berinviltrasi jauh menjorok di ke kawasan darat. Maka, banyak daerah yang dulu sumurnya air tawar, sekarang berubah menjadi air garam. Kalau tiga poin di atas itu bisa terlaksana secara massal, maka secara beransur problem banjir kiriman itu akan terkendali.
Berapa persentase penurunan debit air dari atas yang tergelontor ke ibu kota? Yang ujung-ujungnya membuat Jakarta beredam air cokelat? Kapan dan berapa tahun lagi Jakarta jadi bebas banjir? Sangat tergantung efektivitas si “pawang banjir”! Juga tergantung, drainage atau penataan air dalam kota yang makin tidak balance.
Tergantung keseriusan Gubernur Jokowi. Tergantung Menteri PU Djoko Kirmanto menuntaskan saluran air. Tergantung warga Jakarta yang disiplin pembuangan dengan sampah. Tergantung political will Presiden SBY. Tergantung DPR RI yang memberi lampu hijau. Dan tergantung, nasib! (*)
Tergantung keseriusan Gubernur Jokowi. Tergantung Menteri PU Djoko Kirmanto menuntaskan saluran air. Tergantung warga Jakarta yang disiplin pembuangan dengan sampah. Tergantung political will Presiden SBY. Tergantung DPR RI yang memberi lampu hijau. Dan tergantung, nasib! (*)
Redaktur : Tim Redaksi