jpnn.com, JAKARTA - Kekerasan terutama kejahatan seksual terhadap anak masih menjadi ancaman bagi tumbuh kembang anak-anak Indonesia. Walau UU Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, kekerasan seksual terhadap anak masuk dalam kategori kejahatan luar biasa setara dengan kejahatan narkoba, terorisme, dan korupsi yang bisa dihukum mati, tetapi masih saja ada predator pedofil yang berani melakukan aksinya.
Hari Anak Nasional, Kamis (23/7) harus menjadi momentum bagi bangsa untuk memberi peringatan kepada siapa saja bahwa tidak ada tempat bagi para pelaku kekerasan dan predator pedofil di Indonesia.
BACA JUGA: Gelar Lomba Menggambar Untuk Semarakkan HAN, Gibran Bilang Begini
Anggota DPD RI yang juga pemerhati anak Fahira Idris mengungkapkan, berbagai kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini menunjukkan predator pedofil masih menjadi ancaman nyata keselamatan anak-anak Indonesia.
Kasus predator anak kambuhan WN Amerika Russ Albert Medlin (buronan FBI) yang diciduk polisi karena mencabuli anak di bawah umur atau kasus predator anak warga negara asing (WNA) asal Prancis, FAC alias Frans (65) yang memangsa 305 anak Indonesia menjadi peringatan bagi semua pemangku kepentingan perlindungan anak bahwa para predator anak baik internasional maupun lokal masih menjadikan anak-anak Indonesia sebagai pilihan mereka untuk melakukan kejahatan.
BACA JUGA: HAN 2020, Lahirnya Generasi KiHajar yang Melek Teknologi
“Perlu ada peringatan keras atau notice baik yang digaungkan di dalam negeri maupun yang digaungkan ke dunia, bahwa hukum di Indonesia tidak main-main terhadap pelaku kekerasan terhadap anak terutama para predator paedofil. Hukum Indonesia sudah menyatakan kekerasan terhadap anak adalah kejahatan luar biasa dan hukuman mati menanti bagi para predator anak. Indonesia juga punya hukuman tambahan kebiri kimia bagi predator paedofil anak di mana dalam beberapa kasus sudah diterapkan oleh hakim,” ujar Fahira Idris, di Jakarta (23/7).
Pemahaman bahwa kekerasan terhadap anak adalah kejahatan luar biasa masih rendah. Jangankan di tataran masyarakat, bahkan juga terjadi di kalangan orang-orang yang menjadi pemangku kepentingan perlindungan anak.
BACA JUGA: Puluhan Prajurit Bersenjata Lengkap Sigap Dalam Posisi Tiarap, Ada Apa?
Dugaan kejahatan seksual (perkosaan) yang dilakukan Pejabat UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur terhadap anak berusia 14 tahun menjadi salah satu gambaran begitu rendahnya pemahaman bahwa kekerasan terhadap anak adalah kejahatan luar biasa.
Persoalan lain terkait kekerasan terhadap anak adalah masih belum mantapnya pelayanan rehabilitasi anak korban kekerasan mulai pembinaan, pendampingan, dan pemulihan mulai dari konseling, terapi psikologis, advokasi sosial, peningkatan kemampuan dan kemauan. Termasuk penyediaan akses pelayanan kesehatan.
Performa pelayanan rehabilitasi anak korban kekerasan ini belum sepenuhnya merata terutama secara kualitas di seluruh daerah di Indonesia. Kekerasan terhadap anak terutama seksual apalagi dalam jumlah yang masif harus ditangani secara serius terutama dari sisi pemulihan trauma psikis agar tidak menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat dan ini menjadi sepenuhnya menjadi tugas negara.
“Saya berharap di periode kedua Pemerintahan Presiden Jokowi beliau meninggalkan policy perlindungan anak. Salah satunya dengan membuat blueprint atau cetak biru perlindungan anak Indonesia yang komprehensif. Blueprint ini penting, selain sebagai strategi menihilkan kasus kekerasan terhadap anak juga menjadi panduan bagi para pemangku kepentingan anak untuk berkolaborasi menciptakan Indonesia yang ramah anak sehingga melahirkan generasi emas menuju Indonesia menjadi negara maju di masa mendatang,” pungkas Senator Jakarta ini.(fri/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Friederich