jpnn.com - Perdana Menteri (PM) Theresa May kemarin (24/5) mengambil keputusan menaikkan level peringatan teror Inggris ke tingkat tertinggi, critical.
Keputusan itu dia ambil setelah polisi mendapatkan banyak informasi tentang pelaku, Salman Abedi, dan yakin pemuda berdarah Libya itu tidak beraksi sendirian. Sementara, proses identifikasi korban tewas dan pencarian korban hilang masih terus berlanjut.
BACA JUGA: Kata Adik Amrozi tentang Bom Bunuh Diri di Kampung Melayu
Menteri Dalam Negeri Amber Rudd mengatakan bahwa naiknya level ancaman teror itu memaksa pemerintah memberlakukan Operation Temperer.
Meskipun sudah digagas sejak 2015, tepatnya pasca Teror Paris, operasi keamanan yang melibatkan militer itu belum pernah diterapkan sebelumnya.
BACA JUGA: Bom Bunuh Diri di Kampung Melayu, Siapa Pelakunya?
”Akan ada 5.000 serdadu yang dikerahkan untuk mengamankan lokasi-lokasi strategis di Inggris,” katanya.
Serdadu-serdadu itu, menurut Rudd, akan bergerak sesuai komando polisi. Itu karena di wilayah perkotaan dan permukiman warga, polisi lah yang berhak memberikan perintah.
BACA JUGA: Imbas Ledakan, Halte Transjakarta Kampung Melayu Tidak Beroperasi
”Serangan teror yang lain masih sangat mungkin terjadi. Seluruh personel militer harus tetap waspada dan satu komando di bawah kepolisian,” pesan May usai mengumumkan perubahan status keamanan negerinya.
Kemarin, pemerintah menyebar hampir seribu tentara ke Buckingham Palace, Westminster dan seluruh kedutaan asing di Kota London.
Area di sekitar Manchester Arena masih steril untuk keperluan investigasi. Seluruh rute kereta api yang melewati Stasiun Victoria Manchester, stasiun terdekat dengan lokasi ledakan Senin malam (22/5), juga masih dialihkan ke stasiun lain.
Changing of the Guard, ritual pergantian penjaga Buckingham Palace yang menjadi atraksi favorit wisatawan London terpaksa ditiadakan kemarin.
Houses of Parliament juga menunda seluruh acara publik yang sudah terjadwal rapi selama sepekan ini. Kendati demikian, baik May maupun Rudd mengimbau warga untuk tidak takut dan meningkatkan kewaspadaan.
Dalam jumpa pers, Rudd mengatakan bahwa Abedi sebenarnya sudah berada dalam pengawasan aparat.
Pemuda 22 tahun yang meledakkan diri dan menyebabkan sedikitnya 22 nyawa melayang di akhir konser Grande itu diawasi karena keradikalannya.
Pria yang lahir dan besar di Manchester itu menjadi radikal sejak memutuskan keluar dari Salford University dan berwiraswasta.
Kemarin, Menteri Dalam Negeri Prancis Gerard Collomb menyatakan bahwa Abedi punya hubungan dengan ISIS. ”Dia pernah ke Libya dan mampir ke Syria. Sepulang dari sana, dia menjadi radikal,” katanya.
Dia juga mengaku punya bukti-bukti kuat yang mengarah pada Abedi dan ISIS. Saat ini, Prancis bekerja sama dengan Inggris untuk mengungkap teka-teki di balik motif serangan Abedi Senin malam lalu.
Sejauh ini, polisi sudah mengamankan empat orang. Selasa (23/5), seorang pemuda 23 tahun ditangkap di kawasan selatan Manchester. Kemarin, dari lokasi yang sama, aparat menangkap tiga pemuda lagi.
Polisi menyebut empat pemuda dari lingkungan tempat tinggal Abedi itu adalah rekan pelaku. Saat ini, status mereka masih menjadi saksi dan sedang menjalani pemeriksaan.
Dibandingkan kota-kota Inggris yang lain, Manchester adalah yang paling banyak menampung pengungsi asal Libya. Sedikitnya ada 16.000 pengungsi asal Libya yang tinggal di kota tersebut.
Rata-rata, mereka datang ke Inggris untuk menghindari kekejian Muammar Kadhafi pada 1990an. Tinggal tak jauh dari Masjid Didsbury, Abedi dikenal warga sekitar sebagai pemuda muslim yang pendiam dan normal.
Selasa, informasi pertama tentang pelaku justru datang dari Amerika Serikat (AS). Inggris yang mengaku sudah mengantongi identitas pelaku sejak pagi memilih merahasiakannya dari media karena masih melakukan verifikasi.
Tapi, Washington justru langsung mengumumkannya tanpa berkoordinasi dengan London. Tindakan Washington itu membuat London marah.
”Sejak awal, polisi Inggris sudah sangat jelas menyatakan bahwa mereka ingin mengendalikan seluruh informasi yang berkaitan dengan Manchester demi integritas bangsa. Kami tidak pernah membayangkan bakal menerima kejutan semacam itu,” kata Rudd kepada BBC Radio. Dia mengaku tersinggung dengan pengumuman yang Washington bagikan kepada media pada Selasa malam.
Karena itu, Rudd lantas menegur Washington. ”Saya sudah menjelaskan kepada mereka dan meminta mereka tidak mengulangnya lagi,” tegasnya.
Selain bekerja sama dengan Prancis, Inggris juga bekerja sama dengan AS dalam mengungkap teror yang membuat sedikitnya 120 korban terluka. Sebanyak 20 korban berada dalam kondisi kritis dan sebanyak 12 yang lain adalah anak-anak.
Sementara itu, jumlah korban yang hilang masih belum diketahui secara persis. Hingga kemarin, polisi sudah mengidentifikasi sembilan korban tewas.
Yakni Georgina Callander, Saffie Rose Roussos, John Atkinson, Olivia Campbell, Alison Howe, Lisa Lees, Angelika Klis, Marcin Klis dan Kelly Brewster. Sebanyak 13 mayat yang lain masih diidentifikasi. (AFP/Reuters/BBC/hep)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ledakan Guncang Kampung Melayu, Lalin Casablanca-Pondok Bambu Merayap
Redaktur : Tim Redaksi