Pelosi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 06 Agustus 2022 – 19:37 WIB
Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu menyambut kedatangan Ketua DPR AS Nancy Pelosi di Bandara Songshan Taipei. (Reuters)

jpnn.com - Hufff…Lega. Akhirnya dunia bisa bernapas lega dan sementara bebas dari kemungkinan terjadinya serangan China kepada Taiwan. 

Kalau serangan itu sampai terjadi, tentu kondisi yang sudah ruwet akan makin tunggang langgang. 

BACA JUGA: Tiongkok Kecam Kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan

Serangan Rusia terhadap Ukraina sudah membikin dunia panas dingin, kalau sampai China menyerang Taiwan dunia bisa makin gemetaran.

Pelosi mengunjungi Taiwan Rabu sampai Jumat (7/8) dan memicu kemarahan China yang menganggap Taiwan sebagai bagian dari China.

BACA JUGA: Sikap Resmi Indonesia soal Kunjungan Pelosi, Memihak AS atau China?

Kunjungan itu dianggap sebagai bentuk pelanggaran keras terhadap kedaulatan dan integritas teritorial China.

Taiwan menjadi ‘’negara merdeka’’ setelah melarikan diri China daratan setelah kalah dalam perang saudara pada 1949. 

BACA JUGA: Mengapa TNI AD dan US Army Latihan Perang saat Laut China Selatan Menegang?

Tentara komunis yang dipimpin oleh Mao Zedong berhasil memukul mundur tentara nasionalis yang dipimpin oleh Chiang Kai Sek. 

Perang saudara di China terjadi sejak 1940-an antara kekuatan komunis dan nasionalis.

Sebelum terlibat perang saudara, tentara China bisa mengusir tentara Jepang yang menyerah kepada Sekutu pada 1945. 

Sepeninggalan Jepang, tentara China saling bertarung di antara kekuatan mereka sendiri yang terpecah antara komunis dan nasionalis. 

Perang panjang dengan korban yang sangat besar berakhir dengan terusirnya kekuatan nasionalis ke Taiwan yang hanya dipisahkan oleh selat dari daratan China. 

Sejak 1949, Taiwan menjadi negara tersendiri yang terpisah dari China yang tetap menganggap negeri itu sebagai wilayahnya.

Taiwan, negara kecil dengan penduduk 24 juta, berkembang menjadi negara demokratis yang maju dan sejahtera. 

Amerika berkepentingan untuk menjaga Taiwan tetap merdeka dan bebas dari intimidasi China. 

Sementara China tetap tidak mengakui Taiwan, dan tetap menginginkan negara pulau itu menjadi bagiannya.

Kondisi ‘’stalemate’’ berlangsung puluhan tahun; tidak ada perang tetapi tidak ada perdamaian resmi juga. 

Taiwan tetap tumbuh menjadi negara maju dan demokratis, sementara China pun tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang makin mapan di dunia.

Setelah Uni Soviet bubar pada 1990 Amerika merasa bahwa persaingan telah selesai karena sistem komunisme dunia sudah ambruk. 

Amerika merasa menjadi penguasa tunggal dunia dan sistem kapitalisme-liberalisme seolah-olah sudah menjadi sistem tunggal di dunia.

Akan tetapi, dalam seperempat abad terakhir ini, China diam-diam membangun kekuatan ekonomi dan berhasil menyalip Amerika dalam berbagai bidang.

China bisa mengisi vacuum of power yang ditinggalkan Uni Soviet, dan dengan kekuatan ekonominya mampu menjadi pesaing baru bagi Amerika Serikat.

China menerapkan sistem yang berbeda dengan Uni Soviet. 

Selama perang dingin, Uni Soviet berebut pengaruh dengan Amerika melalui perlombaan senjata di dalam negeri maupun di negara-negara satelit yang menjadi wilayah proxy masing-masing. 

Persaingan senjata ini membuat Soviet kehabisan tenaga dan akhirnya lemas dan ambruk dari dalam.

China tidak menempuh jalan perlombaan senjata, tetapi perlombaan ekonomi. 

Pertumbuhan ekonomi China yang stabil selama seperempat abad terakhir membuat China kaya dan bisa memakai uangnya untuk menanamkan pengaruh politik ke seluruh dunia. 

Sejak 2013, Xi Jinping terpilih menjadi pemimpin China dan memulai program ‘’one belt one road’’ atau OBOR dan sekarang menjadi BRI atau belt road inisiatif. 

Caranya dengan membangun infrastruktur darat, laut, dan udara untuk menghubungkan seluruh dunia. 

BRI adalah upaya untuk menghidupkan kembali jalur sutera yang pernah dibangun China sejak masa pra-masehi sampai ratusan tahun setelah masehi.

BRI dilakukan dengan memberi pinjaman uang kepada negara-negara berkembang untuk membangun jalan, pelabuhan, dan bandara. 

China membantu uang dan membantu pengelolaannya. 

Banyak yang menyebut BRI ini sebagai kebijakan terselubung untuk melakukan jebakan utang atau debt trap. 

China menggelontorkan USD 150 miliar per tahun atau setara Rp 2 ribu triliun. 

Indonesia masuk dalam program BRI itu.

Amerika tertinggal jauh oleh program BRI ini. 

Tanpa disadari sekarang China sudah nyaris mengepung Amerika melalui program BRI. 

Pengaruh China di Asia dan Afrika jauh lebih besar ketimbang peran Amerika. 

Dulu setelah perang dunia kedua Amerika menjadi pahlawan dengan program bantuan ‘’Marshal Plan’’ bagi-bagi duit ke seluruh dunia. 

Sekarang China merebutnya dengan ‘’Xi Jinping Plan’’ yang meniru pola Marshall.

Selama musim pandemi Covid-19, China berhasil membuktikan keunggulannya dari Amerika karena bisa sembuh lebih dulu, dan memberi bantuan kesehatan ke seluruh dunia. 

Perang pandemi telah  dimenangkan oleh China dan posisi China di dunia internasional makin kokoh. 

Persaingan Amerika melawan China sama dengan perang dingin melawan Uni Soviet. 

Akan tetapi, kali ini fokusnya lebih ke perang dagang dan ekonomi, dan Amerika sering kalah di berbagai front. 

Perang pandemi menjadi salah satu bukti keunggulan China atas Amerika dan keunggulan itu terjadi juga di bidang-bidang lain termasuk teknologi.

Perang Rusia vs Ukraina semakin membuat Amerika ngos-ngosan. 

Amerika tidak menyangka perang akan berkepanjangan seperti sekarang. 

Kondisi ekonomi Amerika makin berat karena inflasi tinggi dan suplai energi terhambat. 

Dunia juga ikut ngos-ngosan karena suplai energi disumbat oleh Rusia dan suplai bahan makanan, terutama gandum, juga terhambat.

China juga terpengaruh tetapi tidak seberat Amerika. 

Pertumbuhan ekonomi dunia akan melemah dan seluruh dunia akan terpengaruh olehnya. 

Meski demikian, China tetap bisa menjaga stabilitas ekonomi dan tetap bisa menjaga pertumbuhannya.

Di tengah kondisi yang masih belum menentu, Amerika ingin menggoda China dengan kunjungan Pelosi ke Taiwan. 

Tidak ada hujan dan tidak ada angin, Pelosi membuat manuver diplomatik yang sangat sensasional dan menarik perhatian seluruh dunia.

Sebagai Ketua DPR, Nancy Pelosi punya kebebasan untuk melakukan aktivitas politik apa pun, tanpa harus terikat oleh pengaruh Presiden Joe Biden. 

Pelosi boleh melakukan kunjungan ke mana pun tanpa harus izin kepada Biden. 

Meski demikian, patut diingat bahwa Pelosi dan Biden sama-sama berasal dari Partai Demokrat, dan karenanya mempunyai pandangan politik yang sama.

Ketika Pelosi mengumumkan akan berkunjung ke Taiwan, Joe Biden tidak setuju dan meminta Pelosi membatalkannya. 

Akan tetapi, Pelosi dianggap sebagai politikus yang keras kepala dan sering tidak mendengarkan nasihat orang lain. 

Pelosi pun keukeuh dengan keputusannya untuk mengunjungi Taiwan.

Biden khawatir China akan marah dan mengambil tindakan nekat dengan menyerang Taiwan. 

Ketegangan itu sangat terasa selama kunjungan Pelosi. 

Pasukan China membully dengan menembakkan roket ke wilayah perairan Taiwan. 

Kapal-kapal perang China lalu lalang di perairan Selat Taiwan dan bersiaga untuk menyerang setiap saat.

Untunglah, sampai Pelosi meninggalkan Taiwan menuju Jepang tidak ada indisen yang serius. 

Dunia bernapas lega, tetapi yang paling lega ialah Joe Biden yang harus mengakui keberanian dan kenekatan Pelosi.

Keberanian Pelosi ini bisa mendongkrak popularitas Partai Demokrat yang belakangan ini merosot, karena Biden dianggap tidak kompeten mengurus ekonomi negara. 

Amerika akan menyelenggarakan pemilu sela akhir tahun ini, dan diperkirakan perolehan suara Partai Demokrat di DPR akan anjlok. 

Kursi ketua yang diduduki Pelosi bisa amblas. 

Melihat gelagat ini, Pelosi pun mengambil langkah nekat dengan mengunjungi Taiwan

Pelosi akan disambut sebagai pahlawan ketika pulang. 

Dan, satu lagi, Pelosi berhasil membuktikan bahwa China ternyata hanya gertak sambal belaka, tidak berani benar-benar menyerang Taiwan. 

China boleh menang dalam perang dagang. Akan tetapi, dalam perang senjata, ternyata China masih ngeri menghadapi Amerika. 

Untunglah, dunia masih terhindar dari perang yang lebih besar dari perang Rusia vs Ukraina. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler