Pemain Sepak bola Profesional Bertahan Hidup Dengan Main di Tarkam?

Selasa, 01 Desember 2020 – 12:16 WIB
Ilustrasi (ANTARA/d'dn)

jpnn.com, JAKARTA - Pemain Bhayangkara Solo FC Saddil Ramdani dan pemain PSM Makassar Bayu Gatra sempat menjadi sorotan di media sosial beberapa waktu lalu, karena tertangkap kamera hadir dalam pertandingan sepak bola antar kampung (Tarkam).

Ada yang melumrahkan, tetapi tak sedikit yang mengecam, bahkan caci maki terhadap dua pemain tersebut.

BACA JUGA: Liga Italia: Parma Taklukkan Genoa

Kecamana itu begitu mudahnya tertulis dalam lembaran beranda media sosial.

Secara etik bermain tarkam memang tak pantas, apalagi bagi seorang pemain profesional yang terikat klub.

BACA JUGA: Pelatih Ajax Optimistis Bisa Menaklukkan Liverpool

Pemain profesional mendapat gaji yang pantas dari klub yang menaunginya, tentu memiliki kesepakatan-kesepakatan yang tak boleh dilanggar, seolah burung yang terjerat sangkar.

Namun, ada saja yang bisa lolos dan bermain sesuka hatinya termasuk tarkam.

BACA JUGA: Liga Italia: Torino Gagal Mempertahankan Keunggulan

Untuk mengakalinya, tarkam dianggap seolah wadah menjaga kebugaran.

Padahal, bermain tarkam sangat rentan terkena cedera, yang tak sedikit membuat pemain harus menepi sangat lama bahkan permanen.

Faktor lapangan yang tak sesuai standar, potensi kericuhan usai pertandingan, hingga tak ada jaminan kesehatan apabila terkena cedera, mengintai para pemain setiap berlaga tarkam.

Kita pasti sepakat tarkam sangat "diharamkan" bagi para pemain profesional.

Namun, harus menyadari, hingga batas tertentu untuk mewajarkan tarkam dalam kondisi yang tak ideal dan sangat terdesak seperti saat ini, saat liga resmi vakum terpenjara pandemi Covid-19.


Liga Indonesia saat ini memang tengah ditangguhkan akibat pandemi COVID-19 sejak Maret, saat itu kompetisi baru berjalan tiga pertandingan.

PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (selaku operator kompetisi) masih mencari formula agar kompetisi bisa bergulir di tengah pandemi.

Mulanya, kompetisi dijadwalkan berlanjut pada 1 Oktober.

Akan tetapi beberapa hari jelang Kickoff, PSSI harus kembali menunda karena tak mendapat izin dari kepolisian.

PSSI, PT LIB, dan seluruh perwakilan klub lantas menggelar pertemuan membahas bagaimana nasib kompetisi ini.

Seluruh klub sepakat untuk tetap melanjutkan dan berharap federasi memberikan jalan terbaik.

PSSI dan PT LIB lantas menelurkan tiga opsi yakni liga digelar 1 November, apabila masih belum mendapat izin kompetisi dimundurkan sebulan.

Opsi lainnya dilanjutkan pada Januari dengan format dua wilayah.

Dari seluruh opsi tersebut tak ada yang bisa dikerjakan karena polisi tak memberikan izin penyelenggaraan, dengan alasan kurva penularan masih tinggi dan ada Pilkada Serentak 2020.

Dalam rencana terbaru, PSSI dan PT LIB mewacanakan liga digelar pada Februari.

Pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin pandemi telah teratasi di awal tahun depan meski mereka -bahkan pemerintah- selalu mengagung-agungkan "penerapan protokol kesehatan yang ketat".


Tarkam dan Kultur Sepak Bola Indonesia

Sepak bola menjadi salah satu cabang olahraga yang paling populer di Indonesia, bukan hanya untuk dimainkan, tetapi juga asik ditonton.

Entah itu di lapangan luas maupun di gang-gang sempit, olahraga ini memiliki daya tarik yang mampu memikat orang.

Tidak ada literatur sejarah yang bisa memastikan sejak kapan tarkam dimainkan.

Fenomena tersebut seolah menjadi sebuah tradisi yang terus menerus menggelinding di sepak bola Indonesia.

Di beberapa daerah, terutama di pedesaan, tarkam menjadi seolah adu gengsi antar kampung: mana yang sepak bolanya lebih hebat?

Ketika saya masih kecil di pinggiran Kota Bandung, setiap akhir pekan di musim kemarau adalah ritus bagaimana mencintai sepak bola.

Kami berduyun-duyun datang ke lapangan kampung setiap sore demi mendukung tim daerah.

Bahkan rela meminjam truk untuk mendukung langsung tim ketika berlaga dengan daerah lain yang letaknya cukup jauh.

Truk adalah kendaraan yang mudah dipinjam sebab tempat tinggal saya dekat dengan pasar induk. Kami tak sulit untuk membajak kendaraan itu dengan tameng "warga lokal".

Kami yang datang ke lapangan hadir dengan atribut lengkap sampai drum yang siap ditabuh sepanjang laga demi memberi semangat.

Jika dulu tarkam adalah jalan memperpanjang silaturahmi dan pertemanan, kini fanatisme beraroma adu gengsi menjadi lebih kentara.

Sejumlah pengusaha yang memiliki uang berlimpah dan tentunya ingin ada hiburan yang menarik, berlomba-lomba menggelar turnamen.

Tak sedikit dari mereka yang mengundang pemain kenamaan demi meramaikan gelaran tersebut.

Bahkan sampai ada yang memanggil pemain luar yang memiliki portofolio pernah bermain di klub liga Indonesia.

Tawaran dana yang besar secara sekejap mulai dari jutaan hingga puluhan juta rupiah, membuat sulit bagi para pemain profesional memalingkan muka meski ancaman besar mengintai mereka.


Dapur yang Harus Ngebul

Kita mungkin sepakat, bermain di tarkam memang bukan keinginan para pemain profesional atau mungkin menjadi opsi terakhir agar bisa tetap menyambung hidup.

Jika menilik pada dokumentasi berita-berita terdahulu, sudah tak terhitung berapa banyak pemain sepak bola kita yang wajahnya terpampang di koran-koran tengah mempermalukan dirinya ikut tarkam.

Apalagi di era digital saat ini, tidak sulit mencari dokumentasi pemain profesional yang ikut tarkam.

Saddil Ramdani dan Bayu Gatra menjadi yang terbaru, meski pada akhirnya mereka mengonfirmasi keduanya tak ikut dalam tarkam tersebut.

Sebagai seorang atlet, tingkat kebugaran dan sentuhan bola tentu harus terus dijaga.

Semakin lama seorang pesepakbola tidak bertanding, semakin menurun kebugaran dan ball feeling pemain tersebut.

Sudah masuk dalam hitungan sembilan bulan pemain tak berkompetisi secara kompetitif.

Meski mereka selalu berlatih mandiri, tapi bukan jaminan pula sentuhan, kebugaran, dan mental bertanding akan tetap terjaga.

Di samping menjaga kondisi kebugaran, faktor pendapatan menjadi momok utama.

PSSI telah menerbitkan surat keputusan yang isinya klub berhak memangkas gaji pemain hingga 75 persen dari nilai kontrak.

Dengan kata lain, pemain hanya digaji seperempatnya saja dalam ketiadaan kompetisi.

Nilai itu berdasarkan perhitungan PSSI dengan dasar asumsi semua pihak terkena imbas dari pandemi COVID-19, sehingga pemain harus mafhum atas segala keputusan tersebut.

Bagi para pemain yang menggantungkan hidupnya dari sepak bola, tentu berat dan mereka harus memutar otak agar nominal tersebut bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Belum lagi jika klub menunda atau memangkas lagi gaji karena sama-sama tak ada pemasukan.

Kucuran sponsor terhenti, pendapatan dari tiket tak ada, pemangkasan dana subsidi dari operator kompetisi pun bisa saja terjadi.

Padahal ada istri yang dapurnya harus tetap ngebul, ada anak yang merengek jajan, sehingga pada akhirnya para pemain ada dalam batas melakukan pekerjaan apa saja demi menghidupi keluarganya, termasuk bermain di tarkam.

Maka, ketimbang mencaci-maki para pemain yang bermain tarkam demi keberlangsungan hidup mereka, lebih baik melimpahkan energi dan emosi mencari jawaban, kenapa pandemi tak kunjung usai?

Temuan kunci jawaban ini akan menyelesaikan banyak persoalan, termasuk dilema tarkam.(Antara/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler