Pemaksaan Narasi Pilpres Satu Putaran Sebagai Pembajakan Demokrasi

Sabtu, 30 Desember 2023 – 07:35 WIB
Ketua Umum NETFID Indonesia Muhammad Afit Khomsani mengatakan narasi Pilpres 2024 satu putaran meruntuhkan kualitas demokrasi ketika terus digaungkan dan menghalalkan segala cara. Foto: Ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum NETFID Indonesia Muhammad Afit Khomsani mengatakan narasi Pilpres 2024 satu putaran meruntuhkan kualitas demokrasi ketika narasi ini terus digaungkan dan dilakukan dengan menghalalkan segala cara.

“Kami melihat bahwa narasi tersebut hanya mungkin menguntungkan satu kelompok tertentu dan di sisi lain meruntuhkan kualitas dari demokrasi sendiri,” tegas Afit, Jumat (29/12/2023).

BACA JUGA: Relawan GSP Jateng Temui Warga untuk Sosialisasikan Pilpres 2024 Sekali Putaran

Menurut dia, pemilu merupakan pesta demokrasi, dari, oleh dan untuk rakyat sehingga aktor politik yang memainkan narasi ini sangat tidak bijaksana.

“Kami melihat bahwa narasi itu sangat berbenturan dengan semangat dan juga proses demokrasi sendiri, yaitu dari, oleh dan untuk rakyat,” kata Afit.

BACA JUGA: Formasi Indonesia Moeda Mendukung Gerakan Sekali Putaran di Pilpres 2024

Dia menambahkan fenomena hari ini, kita dihadapkan pada pertarungan  narasi antartim pemenangan pasangan calon.

Namun, dia mengingatkan pentingnya menjaga etika dan menghormati aturan yang sudah ada.

BACA JUGA: GSP Suarakan Pilpres 2024 Sekali Putaran: Qodari: Hemat Waktu, Biaya dan Lebih Damai

“Kaitannya dengan narasi satu putaran seharusnya aktor-aktor politik kita itu bertindak lebih bijak dalam melemparkan isu-isu yang kemudian cenderung memperkeruh suasana dalam pemilu,” ungkap Afit.

Pesta demokrasi harus dijalankan dengan prinsip-prinsip yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Dia mengingatkan peran rakyat, semangat demokrasi, tidak boleh dinafikan oleh kepentingan sekolompok orang.

“Proses demokrasi seharusnya dikembalikan, diselenggarakan oleh rakyat. Bukan kemudian aktor politik yang menentukan proses tersebut,” tegas Afit.

Menghadapi perang narasi, masyarakat jangan sampai merugi karena terseret arus.

“Tentu peran masyarakat sangat penting dalam menyikapi perang narasi ini. Kami juga mendorong masyarakat untuk secara komprehensif tidak menelan bulat-bulat atau mentah-mentah perang narasi yang dilemparkan salah satu kelompok,” ujar Afit.

Masyarakat harus lebih cerdas mengelola narasi yang dilempar antara kelompok pendukung capres-cawapres.

“Kembali lagi bahwa aktor politik, calon, timses, dan sebagainya tidak memperkeruh suasana dengan narasi yang kontradiktif dengan perkembangan demokrasi di Indonesia,” tegas Afit.

Sebelumnya, sejumlah pendukung Prabowo-Gibran mengampanyekan perlunya Pilpres digelar cuma satu putaran agar negara bisa hemat biaya.

Politikus Partai Gelora Fahri Hamzah menyebut biaya putaran kedua Pilpres sekitar Rp 17 triliun.

Hal serupa dikampanyekan Sekretaris TKN Prabowo-Gibran, Nusron Wahid.

Menurut Nusron, jika Prabowo-Gibran menang satu putaran, maka akan mengefisienkan anggaran negara Rp 17 triliun.

Membajak Demokrasi

Menanggapi narasi pendukung Prabowo-Gibran, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai pilpres satu putaran sebetulnya sah-sah saja. Namu,n, hal itu harus terjadi secara alamiah.

Sebaliknya, akan berbahaya jika narasi pilpres satu putaran menguat dengan mendorong dan mengerahkan segala daya dan upaya untuk memenangkan kontestasi.

"Ini yang merusak demokrasi dan menjadikan demokrasi kita tuna adab," ungkapnya.

Apalagi ketika narasi ini terus digaungkan dan dilakukan dengan menghalalkan segala cara maka hanya ada satu paslon diuntungkan dan dua paslon lainnya dirugikan.

Sebelumnya, narasi pilpres satu putaran digaungkan kubu Prabowo-Gibran dengan alasan menghemat uang negara.

Neni menekankan pentingnya kesadaran publik untuk melihat narasi semacam ini.

"Memang kalau narasi ini terus digulirkan dan ini akan kuat membentuk opini publik di masyarakat," ujar Neni.

Anggaran Pilpres dua putaran pun sudah menjadi konsekuensi dari proses demokrasi yang sehat.

"Terkait dengan anggaran seharusnya ini sudah menjadi konsekuensi dan pasti sudah dianggarkan juga oleh KPU yang sudah berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR," ujarnya.

Dengan demikian, alasan pilpres satu putaran demi menghemat uang negara justru terkesan dipaksakan.

"Alasannya menurut saya sangat klasik dan cenderung dipaksakan," tegas Neni.

Menurut Neni, menghemat anggaran bisa dilakukan dengan cara lain bukan membajak demokrasi dan pemilu menjadi pertaruhan.

"Kami kan berharap pemilu ini bisa berjalan free and fair election. Kalau narasi satu putaran yang tidak berjalan alamiah itu terus diperkuat maka 2024 ini menjadi kegagalan demokrasi," pungkas Neni.(fri/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler