Pemberdayaan Negara Tiada Akhir

Rabu, 09 Agustus 2017 – 23:50 WIB
Andi Nur Alam Syah, Kepala Balai Besar Mekanisasi Pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan). Foto: Humas Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Gonjang-ganjing pro dan kontra beras premium ‘mak nyuss’ yang dikemas dalam berbagai merek menarik di berbagai toko swalayan masih terus menghangat.

Hal ini turut disoroti Andi Nur Alam Syah, Kepala Balai Besar Mekanisasi Pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan).

BACA JUGA: Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Segera Luncurkan Program Baru Lagi

Ironisnya, polemik ini dibawa para pendukungnya ke ranah politis. Bagi orang awam gonjang-ganjing tersebut apabila dicermati dengan seksama sebetulnya merupakan suatu kejadian biasa dan umum terjadi dalam masyarakat suatu negara.

Kejadian tersebut mengikuti fenomena antara pencari untung (rent seeker) atau pedagang/pengusaha dan pemberdaya tiada akhir, yaitu negara.

BACA JUGA: Mentan Upayakan Mekanisasi di Sektor Pertanian

Perilaku pencari untung dalam bentuk, tempat, dan keadaan apapun selalu berpikir atas dasar untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin, hanya saja ada yang mengikuti etika dan norma yang baik dan tergantung pada moral pelaku.

Sebaliknya suatu negara sebagai pelaku pemberdaya dalam situasi apapun selalu atau bahkan wajib untuk memberdayakan warga negaranya.
Pemberdayaan warga negara dalam hal ini dalam bentuk mencerdaskan, membangun jiwa dan raga sampai kepada menyejahterakan secara berkelanjutan sepanjang negara tersebut masih ada.

BACA JUGA: Mentan Imbau Mahasiswa Telkom Berhenti Minta Uang Satu Tahun ke Depan

Pemerintah Indonesia dalam hal ini melaksanakan pemberdayaan atas dasar melaksanakan amanat Pasal 33 UUD 1945.

"Dalam kasus gonjang-ganjing beras premium versus beras bersubsidi terdapat beberapa hal yang perlu dicermati dan sudah dilakukan oleh pihak pengusaha," ujar Andi.

Pertama, pengusaha jeli melihat kebutuhan tertentu dari sekelompok kelas dalam masyarakat (atas dasar kemampuan ekonomis) yang menginginkan beras berkualitas (enak, pulen, bersih, utuh, dll) berapapun selisih harga jual dengan beras di pasaran umum.

Kedua, preferensi yang muncul dari segmen tertentu tersebut oleh pengusaha dilayani dengan melihat adanya beras yang dikatakan kelas premium.

Yakni kualitas hasil sosoh, kualitas rasa dan aroma, kualitas pengepakan.

Usaha yang dilakukan oleh pengusaha adalah dengan cara memproses beras yang diproduksi di tingkat petani agar masuk dalam kategori yang dipersyaratkan oleh calon pembeli berkelas premium juga.

Tentu saja untuk menciptakan beras berkelas premium tidak semua produksi petani bisa memenuhi persyaratan tersebut.

Artinya tidak semua petani produser beras dalam jangkauan wilayah kerja pengusaha ikut menikmati keuntungan menjadi rekanan pengusaha.

Di wilayah sekitar salah satu lokasi pabrik-pabrik beras premium tersebut (wilayah Sragen) sudah mulai muncul segmentasi petani yang dianggap sebagai penyetor pabrik (atas dasar standar mutu gabah) dengan petani nonpenyetor.

Keriga, pengusaha melihat peluang adanya teknologi pendukung penciptaan kualitas beras premium.

Teknologi pencipta beras berkualitas premium bisa diperoleh dari alat dan mesin pemroses beras impor maupun dalam negeri.

Yang jangan lupa bahwa produk dalam negeri biasanya hasil penelitian dan pengembangan pemerintah yang pelaku dan kegiatannya didanai oleh anggaran negara.

Di sinilah yang perlu dilihat melalui kacamata moral dan etika pengusaha, karena produk tersebut sebetulnya untuk membantu peningkatan kesejahteraan petani produsen beras langsung kepada konsumen bukan melalui perantaraan pedagang seperti yang terjadi saat ini.

"Kepemilikan teknologi kualitas beras premium di tingkat petani kadangkala berasal dari bantuan pemerintah untuk kesejahteraan sesama petani. Keempat, pengusaha hanya melihat faktor selisih harga pembelian gabah antara pembelian oleh pemerintah dengan dirinya dan dijual dalam bentuk beras berkualitas premium," imbuhnya.

Padahal, jika pengusaha berniat baik secara total terhadap peningkatan kesejahteraan petani tentunya bukan hanya memberikan keuntungan dalam bentuk selisih harga gabah antara pembelian pemerintah (Rp. 3.700/kg) dengan dari pengusaha (Rp. 4.900/kg).

Selisih harga sebesar Rp. 1,200/kg tidak sebanding dengan biaya tunggu petani selama 3 bulan, yakni tanam hingga panen. Nilai selisih harga sebesar Rp. 400/kg/bulan sangat tidak elastis terhadap kebutuhan hidup sehari-hari petani.

Demikian pula nilai Rp. 400/kg/bulan belum termasuk biaya yang sudah dikeluarkan oleh petani untuk membayar harga saprodi.

Oleh karena itu, pengusaha jika memang benar-benar ingin mensejahterakan petani, harusnya membeli gabah antara Rp. 6.000 s/d Rp. 8.000/kg, sebab harga beras yang dijual oleh pengusaha antara harga Rp. 13.000 s/d Rp. 20.000/kg.

Apabila di bawah harga-harga tersebut berarti pengusaha hanya bersifat sebagai pencari untung (rent seeker) semata.

Pihak petani dalam hal ini harus bersikap. Pertama, keuntungan yang diberikan oleh pihak pengusaha saat ini hanya bersifat sementara dan tidak memberikan keuntungan yang nyata besar atau sebanding dengan jerih payah membudidayakan tanaman padinya.

Kedua, petani harus mempertimbangkan keuntungan yang diperoleh dengan luas lahan yang dikerjakan, sarana produksi yang dibeli, lama waktu budidaya, dampak kerugian apabila pabrik tidak mau membeli lagi hasil gabahnya.

"Ketiga, memperkuat kelembagaan di tingkat petani untuk lebih dapat mengoptimalkan pemanfaatan bantuan-bantuan subsidi dari pemerintah bagi kesejahteraan pribadi maupun kelompok. Revitalisasi kelembagaan termasuk juga meningkatkan kemampuan untuk membentuk jejaring usaha bisnis dengan mitra kerja pemerintah yang berkaitan dengan bantuan petani," paparnya.

Sementara itu, pemerintah pun sebagai aktor never-ending empowerment petani perlu menunjukkan sikap. Pertama, melakukan revitalisasi mesin-mesin penyosoh beras di tingkat petani agar mampu menghasilkan kualitas beras sosoh yang berkelas premium.

Beras premium tersebut yang akan dijual kepada pedagang kecil maupun besar sehingga daya tawar produk menjadi tinggi.

Kedua, selalu melakukan mendorong dan mendampingi secara intensif agar terbentuk kelembagaan petani yang riil mampu berwirausaha dengan cara melakukan penyuluhan, pelatihan, inkubasi kelompok, menghubungkan bisnis dengan swasta produsen input saprodi, lembaga keuangan penjamin usaha, dll.

Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan dan mengintensifkan sosialisasi dampak prositif subsidi yang sudah diberikan sampai saat ini.
Salah satu contoh dampak subsidi alat dan mesin pertanian kepada petani yang pernah penulis analisis.

Mengacu pada kenyataan yang terjadi, dampak subsidi alat mesin pertanian ini mampu memberikan tambahan nilai kepada petani.

Pertama, menghemat penggunaan tenaga kerja dengan perbandingan untuk usahatani padi per hektar (olah tanah, panen, dll) di Sulsel dan wilayah Pantura Jawa sebesar 103 (manually) dibanding 32 (fully mechanized) atau -71 HOK. meningkatkan produktivitas padi sebesar 2.035 kg/ha (33,83%) apabila menggunakan cara tanam Jajar Legowo yang ditanam pindah dengan mesin Transplanter jarwo 2:1.

Kedua, menurunkan susut hasil panen sekitar 10,89% dengan menggunakan mesin combine harvester.

Ketiga, meningkatkan efisiensi penggunaan input sebesar 11,94% akibat pengolahan tanah, penyiangan dan pengendalian hama yang lebih efektif dan efisien.

Ketiga, menghemat biaya kerja (olah tanah-semai s/d tanam-penyiangan-panen) sebesar Rp. 2,2 juta atau -30,9% dibanding secara manual.
Keempat, membuka peluang kerja tenaga petani muda untuk terlibat dalam kegiatan mekanisasi padi mulai sebagai operator, mendirikan bengkel-bengkel jasa pemeliharaan dan perbaikan alat mesin pertanian, dan bahkan menjadi agen suku cadangnya.

Uraian di atas baru dalam hal subsidi alat dan mesin pertanian, belum lagi dampak positif (material dan sosial) dari subsidi-subsidi yang lain.

Oleh karena itu nyata terlihat bahwa pergunjingan beras yang terjadi saat ini adalah merupakan fenomena keributan antara pihak pencari untung (rent seeker) semata dengan pihak never ending empowerment, yaitu pemerintah.

Bagi masyarakat yang memposisikan diri sebagai pendukung masing-masing pihak akan sah-sah saja namun harus melihat kenyataan yang sudah ada.

Berbisnis untuk mencari untung memang tujuan utama pedagang, tetapi berbisnis secara menguntungkan pihak penjual (bukan sekedar mencari untung) adalah tindakan lebih mulia.

Istilah orang Jawa bagi pedagang yang sekedar mencari keuntungan semata dikatakan sebagai “bener tapi ora pener” (benar tetapi tidak semestinya), dan sebaiknya memilih jalan “luwih apik tuno satak tapi bali sanak” (lebih baik sedikit merugi tetapi untung persaudaraan).

Pengalaman penulis sendiri pernah membeli beras bermerek yang sedang diperdebatkan (pada saat produk tersebut pertama kali keluar di Swalayan Giant-BSD) karena tertarik dengan keterangannya “pulen dan wangi”.

Ternyata setelah dimasak dengan rice cooker tidak memunculkan kedua sifat yang seperti yang tertulis dalam kantong kemasannya.

Akhir muncul keputusan dari penulis untuk “ora ono sanak” bagi merek tersebut. Semoga menjadi pembelajaran kita semua. (adv/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mentan Minta Mahasiswa Telkom Mandiri


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Kementan  

Terpopuler