jpnn.com, JAKARTA - Untuk mengatasi masalah kehutanan dari tahun ke tahun yang terus meningkat, pemerintah didesak untuk serius dan fokus agar bisa menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla lahan adalah contoh yang dinilai sebagai kegagalan pemerintah karena selalu terjadi setiap tahun dan belum terlihat ada upaya menyeluruh.
Padahal, Karhutla tidak hanya menimbulkan kerugian secara ekonomi, tetapi juga secara keseehatan dan sosial.
BACA JUGA: DPD RI Dukung Program Perguruan Tinggi Tingkatkan Kualitas SDM
Demikian benang merah yang mengemuka dalam Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) antara Komite II DPD RI dengan tiga narasumber yakni Prof Dr Hariadi Kartodiharjo (Guru Besar IPB), Dr Drajat H. Wibowo (Direktur Kerja Sama Sertifikasi Kehutanan Indonesia), dan Rukka Sombolinggi (Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara – AMAN).
Wakil Ketua Komite II Bustomi Zainuddin, saat membuka RDPU di ruang rapat Komite II DPD RI, Jakarta, Senin (21/10) mencatat beberapa permasalahan penting terkait permasalahan kehutanan di Indonesia yang dibahas bersama para narasumber. Beberapa permasalahan tersebut, menurut Bustami akan yang menjadi poin pengawasan bagi DPD terkait Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
BACA JUGA: Pansus Papua DPD RI Berkunjung ke Sorong, Begini Tujuannya
Saat menyampaikan materi diskusi, Drajat Wibowo mengungkapkan Karhutla yang terjadi selama ini tidak hanya tercatat adalah bencana nasional, tapi juga mendapat perhatian dunia internasional. Dari sisi bencana nasional, dalam lima tahun terakhir luar Karhutla yang terbakar mendapai 4,5 juta ha lebih, dan terbesar tahun 2015, yang mencapai hampir 3 juta ha. Sedangkan tahun 2019, hingga September mencapai 350 ribu ha.
Kerugian ekonomi akibat Karhutla juga cukup besar. Tahun 2015, kerugian yang dialami mencapai Rp 221 trliun, sedangkan tahun 2019 mencapai Rp 66,3 triliun. “Kerugian ini jangan diremehkan karena mempengaruhi perekonomian secara nasional sehingga harus dicari keseimbangan supaya tidak terjadi defisit,” jelas Drajat seraya mengutup Unicef yang menyebutkan ada 10 juta anak Indonesia yang terganggu kesehatannya akibat Karhutla.
Yang menarik, dunia internasional çenderung menuduh bahwa pelaku Karhutla adalah pemegang konsesi hutan dan lahan, sehingga sejumlah produk hasil hutan yang diekspor diboikot sehingga perlu dilobi. “Gara-gara kebakaran hutan di tahun 2015-2016, produk hasil hutan Indonesia yang ekspor diboikot, karena pelaku usahanya diduga terlibat dalam kebakaran hutan,” Ketua Direktur Kerjasama Sertifikasi Kehutanan Indonesia mengungkapkan.
Kekhawatiran senada juga dikemukakan Hariadi Kartodiharjo. Menurut Guru Besar Kehutanan IPB ini, sektor kehutanan terkait langsung dengan perkebunan, pertambangan dan juga industri kehutanan sendiri. Namun, dalam kenyataannya kepentingan diluar sektor kehutanan seringkali lebih dominan dan selalu mendapat dukungan kebijakan, dengan alasan kepentingan ekonomi.
Menurut Hariadi, jika mau jujur menyelamatkan hutan menjadi kawasan konservasi juga memberi keuntungan jangka panjang yang tidak terhitung besarannya. “Kita tidak pernah menghitung, berapa besar manfaat udara bersih, kekayaan keragaman hayati, terhindar dari ancaman banjir dan longsor dan juga perubahan iklim. Konsep ini belum dipahami, sehingga yang dihitung dari manfaat hutan hanya secara ekonomi yang nilainya hanya untuk jangka pendek,” sindir Hariadi.
Sementara itu, Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyayangkan sikap pemerintah yang hanya menempatkan hutan sebagai emas hijau yang selalu dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi. Selama mendampingi masyarakat adat, pegiatan AMAN di sejumlah daerah, menurut Rukka, cenderung mengalami kesulitan saat mendampingi masyarakat mengakses hutan adat sebagai sumber kehidupan mereka.
“Masyarakat selalu kesulitan mendapatkan pengakuan atas hak-hak mereka atas hutan adat, termasuk pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, yang menjadi sumber kehidupan mereka,” ujar Rukka seraya mengutip Pasal 67 UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
“Meski sudah ada di Undang-undang, malah 75 Perda di sejumlah daerah yang mempersulit masyarakat adat untuk mengakses hutan adat sebagai sumber kehidupan mereka.”
Menanggapi materi para narasumber, anggota Komite II Yustina memaparkan, selama ini masyarakat adat di wilayahnya sudah lelah menunggu peraturan daerah (Perda) yang melindungi hak-hak masyarakat adat di sektor kehutanan. “Sudah berkali-kali masyarakat adat menanyakan Perda yang melindungi hutan adat, tapi sampai sekarang belum jadi-jadi,” keluh senator dari Kalimantan Tengah ini.
Beberapa senator seperti Fahira Idris dari DKI Jakarta, Aji Mirni dari Kalimantan Timur dan Stefanus juga berharap, sudah saatnya pemerintah memikirkan dampak jangka panjang jika kerusakan hutan terus dibiarkan. Begitupun dengan hak masyarakat adat terhadap hutan di wilayahnya.
“Jangan sampai terjadi, ada ayam mati di lumbung padi,” kata Fahira mengibaratkan masyarakat di pinggir hutan tetap miskin. Sementara hasil hutan dieksploitasi untuk kepentingan perkebunan, industri kehutanan, hingga pertambangan dengan keuntungan luar biasa.
Para narasumber juga menyebutkan, hal mendasar yang menyangkut masalah kehutanan adalah dengan melakukan revisi terhadap definisi hutan hari ini. Sebab, pengertian hutan saat UU Nomor 41 Tahun 1999 akan berbeda dengan definisi hutan setelah aturan itu diberlakukan 20 tahun kemudian. “Perlu pendefinisian ulang terhadap pengertian hutan setelah Undang-undang Kehutanan berusia 20 tahun,” saran Hariadi.
Menanggapi diskusi yang berlangsung cukup hangat, Wakil Ketua Komite II Bustomi menyadari bahwa konflik kawasan hutan yang laten terjadi di Indonesia adalah permasalahan terkait kondisi kawasan hutan yang telah terjadi dalam waktu panjang dan menahun di masa lalu, dan tidak optimalnya peraturan perundangan, terkait kawasan hutan itu sendiri terutama bagi daerah yang memiliki kawasan hutan kurang dari 30 persen.
Menurut Bustomi, mewakili Komite II DPD, permasalahan jangka panjang terkait kawasan hutan juga disebabkan oleh tumpang tindih aturan dan kebijakan pemerintah, sehingga menyulitkan masyarakat adat memperoleh pengakuan hak atas hutan adat mereka. Proses pengakuan hutan adat berlangsung sangat lamban. Bahkan, masih terjadi perampasan wilayah kawasan hutan adat di beberapa daerah, sehingga memerlukan penanganan segera.(adv/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich