jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah diminta tegas untuk menyelesaikan polemik pembangunan Gereja Katolik Paroki Santo Joseph Tanjung Balai, Karimun, Provinsi Kepulauan Riau yang beberapa hari terakhir terhalang karena aksi protes dari sekelompok massa yang mengatasnamakan diri Forum Umat Islam Bersatu (FUIB).
“Tentu saja kami sangat menyayangkan adanya aksi-aksi seperti ini. Maka tentu saja pemerintah harus bisa menunjukkan sikap tegasnya agar aksi seperti ini tidak terjadi lagi,” kata Ketua Umum Vox Point Indonesia Yohanes Handojo Budhisejati dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (7/2).
BACA JUGA: Prajurit TNI Bantu Proses Persalinan Warga di Perbatasan
Handoyo mengungkapkan penolakan renovasi gereja tersebut ßeharusnya tidak perlu terjadi di negara yang berasaskan Pancasila yang menjunjung tinggi keberagaman. Di Indonesia, kata dia, diakui enam agama besar yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu serta berbagai aliran kepercayaan.
“Mendirikan tempat ibadah untuk beribadah adalah hak konstitusi warga negara yang tidak bisa diganggu gugat. Oleh karena itu, kebebasan bagi setiap warga negaranya untuk memeluk agamanya masing-masing telah dijamin oleh undang-undang dan karena itu pemerintah harus menjamin itu,” kata dia.
BACA JUGA: DPD RI Sambut Positif Penandatanganan Perdagangan dan Investasi Indonesia-Korsel
Dia menjelaskan apa yang terjadi di Tanjung Balai Karimun sama sekali tidak mencerminkan wajah kerukunan umat beragama di Indonesia yang sesungguhnya. Apalagi Gereja ini sudah didirikan sebelum Indonesia merdeka yakni sejak 1928.
Selain itu, Gereja Paroki Santo Joseph itu juga telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bernomor 0386/DPMPTSP/IMB-81/2019 tertanggal 2 Oktober 2019 yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Tanjung Balai Karimun.
BACA JUGA: Prajurit dan PNS Seskoal Ikut Dalam Pembuatan SIM TNI Kolektif
Dia menambahkan alasan penolakan gereja tersebut juga tidak masuk akal baik itu karena menyebabkan kemacetan atau soal tinggi bangunan tersebut. Padahal pihak gereja juga dengan rendah hati mengikuti permintaan warga agar gereja yang direnovasi tersebut tingginya tidak melebihi tinggi dari rumah dinas Bupati. Dari informasi tinggi gereja hanya 11,75 meter sementara rumah dinas bupati 12 meter.
“Bahkan tidak seperti gereja pada umumnya, gereja itu juga sepakat untuk tidak menggunakan salib di luar gedung dan juga patung Bunda Maria,” kata Handojo.
Handojo meminta pemerintah agar tidak menutup mata dengan kasus penolakan gereja tersebut yang dilakukan oleh sekelompok massa. Ia menegaskan negara harus hadir dalam persoalan yang dihadapi 700 umat Katolik yang berada Paroki Santo Joseph Karimun.
“Negara harus hadir untuk menjamin kebutuhan warga negaranya dan tidak boleh diskriminatif. Negara juga tidak boleh kalah dan tunduk pada sekelompok orang yang mencoba merong-rong toleransi yang dirajut selama ini,” tegas Handojo.
Dia menegaskan, persoalan intoleransi di Indonesia butuh ketegasan pemerintah. Pemerintah, kata dia, tidak lagi berada pada tataran wacana atau berimajinasi pada cita-cita kosong untuk membela rakyat yang haknya diintimidasi. Justru negara harus hadir membela dan memperjuangkan kebebasan umat beragama sesuai keyakinan dan kepercayaan masing-masing.
“Justru pada persoalan seperti ini kita minta kehadiran dan ketegasan pemerintah untuk membela rakyat. Kita cukupi wacana yang bombastis, tetapi hadir di tengah kehidupan rakyat. Apalagi ketika rakyat sedang menghadapi persoalan yang bertentangan dengan ideologi Pancasila,” pungkas Handoyo.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich