Pemerintah Diminta Waspadai Ketahanan APBN Terkait PLTS Atap

Senin, 16 Agustus 2021 – 21:17 WIB
Panel Surya (Ilustrasi) Foto: dok Pertamina

jpnn.com, JAKARTA - Pakar energi dari Institut Teknologi Surabaya (ITS) Mukhtasor mengatakan pemerintah harus menjaga program percepatan energi terbarukan secara berkelanjutan dalam konteks APBN. Salah satu yang diatur yakni PLTS Atap.

Pasalnya, sejumlah klausul yang muncul pada draf RUU EBT dinilai akan berdampak signifikan terhadap keuangan negara, khususnya di kondisi serba sulit akibat dampak Covid-19, serta BUMN di bidang kelistrikan.

BACA JUGA: Meriahkan Bulan Kemerdekaan, Mitra10 Banjir Berbagai Promo

Dia menilai APBN akan mendapat beban yang cukup berat dari program yang sedang dicanangkan demi mengejar percepatan perkembangan energi hijau di Indonesia.

Mukhtasor mengatakan jika harga listrik yang bersumber dari energi terbarukan lebih tinggi, salah satunya PLTS Atap, dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik, maka pemerintah pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisihnya kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau Badan Usaha tersebut.

BACA JUGA: Semarakkan HUT ke-76 RI, Warga Papua Kompak Hiasi Kampungnya Masing-masing

“Pertanyaannya adalah, kira-kira berapa tahun negara ini mampu menanggung cost ini? Sementara sekarang ini, masyarakat saja sudah mengibarkan bendera putih karena Covid-19. Lapangan kerja juga sulit. Karena bagaimana pun yang kita inginkan, pemerintah atau negara harus bertanggung jawab atas konsekuensi dari program ini,” ujarnya.

Sebagai informasi, biaya pokok penyediaan PLTU saat ini sekitar Rp700,–900 per kwH, sementara biaya pokok penyediaan PLTS sekitar Rp1.400,- per kWh. Dengan demikian, ada lonjakan biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah.

BACA JUGA: Menko Airlangga: Sentra Vaksinasi Harus Disiplin Terapkan Protokol Kesehatan

Sementara Anggota Dewan Energi Nasional Herman Darnel Ibrahim menyebut realisasi bauran energi terbarukan Indonesia pada saat ini baru berkisar 10-11 persen dari keseluruhan penggunaan energi di Tanah Air.

Angka ini hanya beranjak sedikit dibandingkan realisasi bauran energi terbarukan pada 2009 atau 12 tahun lalu, yang berada di level 7 persen.

“Pada waktu saya menjadi anggota DEN pertama yakni 2009, baurannya 7 persen. Sekarang hanya 10-11 persen. Jadi naiknya hanya sedikit. Dan kalau dilihat tren kenaikannya, maka untuk mencapai 23 persen itu tidak mudah. Dan ini sulit,” tutur Herman.

Apalagi, lanjutnya, dengan adanya pandemi Covid-19 yang memukul hampir seluruh sektor industri, pemakaian energi, khususnya energi listrik, menjadi jauh berkurang.

Akibatnya, terjadi kapasitas listrik berlebih atau over capacity yang alih-alih menjadi keuntungan, namun justru menjadi beban bagi perusahaan penyedia listrik.

“Ini situasi yang dilematis memang. Tetapi saya mengatakan, pesannya adalah maksimalkan energi terbarukan. Targetnya tetap, tetapi kami maksimalkan saja. Maka kemudian kalau tercapainya seperti apa, ya kita lihat saja,” seru Herman.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler