Pemerintah Dinilai Salahi Filosofi Cukai

Rabu, 20 Februari 2013 – 06:06 WIB
JAKARTA - Langkah pemerintah terkait wacana pengenaan cukai terhadap beberapa produk seperti telepon seluler, komputer jinjing, hingga minuman berkarbonasi dan berpemanis dinilai telah menyalahi filosofi cukai.  Sebab, cukai yang harusnya sebagai instrumen pengontrol justru dijadikan untuk menggenjot penerimaan negara.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam menilai, pemerintah saat ini telah keluar dari patron demi mengejar penerimaan negara.  "Ada setting yang salah di sini.  Cukai itu bukan instrumen utama dalam penerimaan negara," ujar Latif dalam rilis yang diterima JPNN, Selasa malam (19/2).

Menurutnya, cukai seharusnya digunakan sebagai instrumen untuk mengontrol konsumsi suatu produk atau barang. Namun, kata Latif, semakin ekspansif tingkat kenaikan cukai terhadap produk tertentu, maka dampaknya pada pada penurunan pendapatan dari sumber penerimaan negara lainnya seperti pajak.  "Ini istilahnya masuk kantong kiri keluar kantong kanan," sebutnya.

Latif juga mengritik langkah antarkementerian yang tidak sinergis satu sama lain. Dia mencontohkan sikap Kemenkeu yang cenderung memakai 'kaca mata kuda' untuk menggenjot penerimaan negara.

Namun Di lain sisi, Kemenkeu tidak melakukan koordinasi dengan Kementerian Perindustrian terkait dampak kenaikan cukai pada keberlangsungan industri. "Industri nasional mengalami kalah daya saing, di sisi lain pemerintah menggerogoti industri nasional,” tegas Latif.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi sementara penerimaan cukai dalam APBN-P 2012 hingga Januari 2013 lalu mencapai Rp 95 triliun atau 114,1 persen dari target yang ditetapkan yakni Rp 83,3 triliun. Sedangkan dalam APBN 2013, cukai ditargetkan menyumbang Rp 92 triliun bagi penerimaan negara.

Mengacu pada riset yang pernah dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi UI, bahwa tarif cukai Rp 3 ribu per liter pada minuman ringan berkarbonasi akan mengurangi penjualan produk hingga Rp 5,6 triliun, yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah keseluruhan produksi ekonomi Indonesia sebesar Rp 12,2 triliun.

Sedangkan tarif cukai sebesar Rp 3 ribu per liter pada minuman ringan berkarbonasi, akan mengurangi pemasukan pemerintah dari penerimaan pajak tak langsung sebesar Rp 710 miliar.

Menurut peneliti LPEM FE UI, Dr. Eugenia Mardanugraha, pendapatan publik diperkirakan akan berkurang hingga Rp 1,56 triliun. Artinya, kenaikan cukai akan mengurangi daya beli konsumen secara keseluruhan.

"Diperkirakan lebih dari 80 ribu orang akan kehilangan pekerjaan, apabila tarif cukai dikenakan. Perekonomian nasional akan melemah akibat menurunnya pendapatan dan pengkaryaan publik apabila minuman ringan berkarbonasi dikenakan cukai,” ungkapnya.

Sebelumnya pemerintah berencana akan mengenakan cukai pada minuman ringan berkarbonasi (CSD). Hitungan pemerintah, dengan mengenakan tarif cukai sebesar Rp 3000 per liter pada CSD maka diharapkan ada tambahan pemasukan dari cukai sebesar Rp 590 miliar per tahun. (chi/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... PT Rekin Disiapkan Menjadi Perusahaan Berkelas Dunia

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler