JAKARTA - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat menegaskan, pemerintah mengurangi penempatan TKI informal atau Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) karena jaminan perlindungan terhadap sektor tersebut belum baik.
"Selain itu hubungan kerjanya juga subyektif antara TKI dengan pihak pengguna. Dan kehidupan para TKI tersebut juga cenderung terisolasi, karena 24 jam berada di rumah pengguna," ujarnya di Jakarta, Minggu (12/5).
Kondisi ini berbeda dengan penempatan TKI sektor formal. Menurut Jumhur, ada beberapa dasar yang membuat mereka cukup terlindungi. Di antaranya, penempatan dilakukan melalui skema kerjasama antarpemerintah (government to government) seperti antara pemerintah Indonesia dengan Korea Selatan di bidang industri, manufaktur, pertanian, perikanan, dan jasa.
"Selain itu juga ada kerjasama dengan pemerintah Jepang dalam penempatan TKI perawat pasien (nurse) dan perawat jompo (caregiver). Kerjasama dengan pemerintah Timor Leste sendiri dilakukan terkait penempatan bidan," katanya.
Fakta lain, skema kerjasama antara pemerintah RI dengan pihak swasta di luar negeri juga sudah banyak dilakukan. Contohnya seperti penempatan TKI wanita sektor manufaktur elektronik di Penang-Malaysia. Demiikian juga skema kerjasama antarswasta (private to private) seperti banyak terjadi pada berbagai sektor kerja lain.
Saat ini menurut Jumhur, isu utama bagi TKI formal semi-terampil dan terampil, bukan pada perlindungan, karena hampir di seluruh negara penerima TKI formal, perlindungan TKI sudah diatur oleh UU Ketenagakerjaan negara penerima.
"Tapi masalah rendahnya informasi pasar kerja. Lalu soal link but not match. Artinya seringkali pengguna (user) di luar negeri meminta tenaga perawat, namun ketersediaan data itu di pemerintah belum ada," katanya.
Permasalahan lain, adanya perbedaan antara regulasi pemerintah penerima dengan tuntutan kebutuhan komunitas industri. "Artinya pihak industri membutuhkan, namun pemerintahnya masih belum memberikan kebebasan masuknya tenaga kerja asing dari luar negeri," katanya.(gir/jpnn)
"Selain itu hubungan kerjanya juga subyektif antara TKI dengan pihak pengguna. Dan kehidupan para TKI tersebut juga cenderung terisolasi, karena 24 jam berada di rumah pengguna," ujarnya di Jakarta, Minggu (12/5).
Kondisi ini berbeda dengan penempatan TKI sektor formal. Menurut Jumhur, ada beberapa dasar yang membuat mereka cukup terlindungi. Di antaranya, penempatan dilakukan melalui skema kerjasama antarpemerintah (government to government) seperti antara pemerintah Indonesia dengan Korea Selatan di bidang industri, manufaktur, pertanian, perikanan, dan jasa.
"Selain itu juga ada kerjasama dengan pemerintah Jepang dalam penempatan TKI perawat pasien (nurse) dan perawat jompo (caregiver). Kerjasama dengan pemerintah Timor Leste sendiri dilakukan terkait penempatan bidan," katanya.
Fakta lain, skema kerjasama antara pemerintah RI dengan pihak swasta di luar negeri juga sudah banyak dilakukan. Contohnya seperti penempatan TKI wanita sektor manufaktur elektronik di Penang-Malaysia. Demiikian juga skema kerjasama antarswasta (private to private) seperti banyak terjadi pada berbagai sektor kerja lain.
Saat ini menurut Jumhur, isu utama bagi TKI formal semi-terampil dan terampil, bukan pada perlindungan, karena hampir di seluruh negara penerima TKI formal, perlindungan TKI sudah diatur oleh UU Ketenagakerjaan negara penerima.
"Tapi masalah rendahnya informasi pasar kerja. Lalu soal link but not match. Artinya seringkali pengguna (user) di luar negeri meminta tenaga perawat, namun ketersediaan data itu di pemerintah belum ada," katanya.
Permasalahan lain, adanya perbedaan antara regulasi pemerintah penerima dengan tuntutan kebutuhan komunitas industri. "Artinya pihak industri membutuhkan, namun pemerintahnya masih belum memberikan kebebasan masuknya tenaga kerja asing dari luar negeri," katanya.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Fahri Hamzah Tantang KPK Buka Aliran Dana Ahmad Fathanah
Redaktur : Tim Redaksi