Pemerintah Kurang Tegas Terhadap Harga Rokok, Anak-anak jadi Korbannya

Senin, 01 Juni 2020 – 19:55 WIB
Ilustrasi rokok. Foto: pixabay

jpnn.com, JAKARTA - Bahaya rokok saat ini masih menghantui anak-anak dan generasi muda Indonesia. Hal ini diungkap Ketua Lentara Anak Lisda Sundari dalam diskusi online Melindungi Anak dengan Menghapus Diskon Rokok.

Diskusi ini digelar Alinea.id dalam rangka memperingati Hari Tanpa Tembakau 2020, pada Senin (1/6).

BACA JUGA: Sah! Rokok Mentol Dilarang Mulai Hari Ini

Ada empat narasumber yang hadir dalam acara ini, yakni Ketua Lentara Anak Lisda Sundari, Dosen FEB Universitas Indonesia Dr Abdillah Ahsan, Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Tubagus Haryo Karbyanto dan Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Nirwala Dwi Heryanto.

Masing-masing pemateri memaparkan pandagan mereka terkait kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia.

BACA JUGA: Minimarket di Dekat Markas Polisi Dirampok, 50 Slof Rokok dan Alat Komestik Hilang

Utamanya terkait dengan kebijakan diskon rokok dan pengawasan harga rokok di pasar.

Diskon rokok merujuk pada praktik penjualan rokok di mana harganya lebih rendah dari harga yang tertera di pita cukai yang ditetapkan pemerintah lewat penetapan cukai.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Banyak yang Bela Ruslan Buton, Fadli Zon Kena Kick Mahfud MD?

Menurut Lisda, harga rokok yang murah termasuk salah satu alasan jumlah perokok anak di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Pada 2018, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat mencapai 9,1% atau sama dengan 7,8 juta anak.

Padahal RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional) menargetkan pada 2019, prevalensi perokok anak harus turun menjadi 5,4%.

Lisda mengatakan, hal ini menunjukkan pemerintah gagal dalam mengendalikan konsumsi rokok. Industri rokok berhasil merekrut perokok baru yaitu anak-anak pada tiap tahunnya.

Lisda menyebutkan, ada dua penyebab tingginya perokok anak yang saling berkaitan erat, yaitu praktik iklan rokok yang sangat leluasa menyasar anak-anak sebagai target pemasaran produknya.

Kemudian harga rokok yang relatif terjangkau di mana memudahkan anak-anak membeli rokok.

“Praktik diskon rokok akan memperburuk upaya-upaya pencegahan perokok anak, karena harga rokok akan semakin murah dan anak-anak semakin mudah menjangkaunya,” terang dia.

Karena itu, Lentera Anak mendesak pemerintah dalam hal ini Dirjen Bea Cukai untuk meninjau kembali aturan yang memungkinkan rokok dijual lebih murah, sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan anak dan masa depan bangsa.

Sementara itu, Dosen FEB Universitas Indonesia Dr Abdillah Ahsan, mengatakan, dari sudut pengendalian rokok, harga merupakan salah satu unsur paling penting. Semakin mahal semakin baik dan jika sebaliknya, semakin murah, semakin sulit proses pengendaliannya.

“Maka untuk mengembalikan semangat pengendalian konsumsi rokok, aturan yang membolehkan diskon rokok itu perlu direvisi,” tutupnya.

Selain itu, kebijakan diskon rokok dinilainya bertentangan dengan PP 109/2012, khususnya pada Pasal 35 yang menyebutkan pemerintah melakukan pengendalian promosi produk tembakau, di antaranya tidak memberikan secara cuma-cuma, potongan harga, hadiah produk tembakau, atau produk lainnya yang dikaitkan dengan produk tembakau.

Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Tubagus Haryo Karbyanto, menjelaskan, adanya kebijakan diskon rokok bertentangan dengan visi strategis Presiden Joko Widodo yang sejak awal telah menegaskan akan mengutamakan kualitas sumber daya manusia.

Hal itu kembali dipertegas dalam pidoto kenegaraan menyambut HUT ke-74 RI. Pada saat itu, Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia tidak gentar menghadapi persaingan global.

Apalagi Indonesia memiliki visi strategis, yakni Sumber daya manusia (SDM) yang unggul memiliki kreativitas, inovasi dan kecepatan unuk bersaing secara global sehingga mampu melompati bangsa-bangsa lain di dunia.

Visi tersebut, sesuai dengan perkiraan limpahan bonus demografi yang akan Indonesia dapatkan pada 2030.

Di mana pada 2030, angka dependency ratio mencapai titik terendah di 46,9%. Artinya, di tahun tersebut kelompok usia produktif mencapai dua kali lipat dibandingkan yang tidak produktif.

Oleh karena itu, kebijakan diskon rokok bertentangan dengan tujuan negara, Visi Misi Presiden, RPJMN, SDGs, dan filosofi pengendalian tembakau (khususnya pada kebijakan pengenaan cukai rokok).

Kebijakan diskon rokok secara sosiologis juga memperparah kemudahan akses barang adiktif di masyarakat sehingga ancaman bagi bonus demografi Indonesia.

“Makanya perlu segera diambil langkah-langkah hukum untuk mencabut kebijakan diskon rokok, baik itu melalui government review, amandemen, hingga judicial review,” ucap dia.

Sementara Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan Pemerintah berdiri seimbang dalam mengatur rokok.

“Kebijakan cukai menjadi instrumen pengendalian tembakau dimana tarif cukai naik setiap tahun. Tujuan kenaikan cukai sendiri adalah membuat harga rokok tidak terjangkau utamanya untuk anak. Dalam pelaksanaannya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memantau harga rokok secara berkala di pasar sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan,” ucap dia.

Dia menegaskan terjadi perbedaan pemahaman mengenai istilah yang disebut sebagai diskon rokok. Apa yang disebut sebagai diskon rokok sebenarnya merupakan potongan harga ditingkat penjualan.

"Harga jual eceran (HJE) itu di tingkat retailer, sedangkan pengawasan bea cukai enggak mungkin melakukan pengawasan di retail, makanya kami lakukan itu di perusahaan. Cuma masalahnya, harga dari pabrik kalau sudah 100%, nanti menjadi sama antara HJE dan harga transaksi pasar (HTP). Terus nanti yang mengongkosin distribusi siapa? Itulah yang disebut teman-teman penggiat antitembakau tadi, sebagai diskon," papar dia.

HJE itu merupakan harga patokan bandrol untuk kepentingan fiskal, adapun HTP itu diserahkan pasar.

Pengaturan HTP saat ini diatur dalam PMK 152/2019 dimana ditetapkan HTP adalah minimal 85% dari HJE. Pemerintah menerapkan Pengaturan HTP minimal 85%, untuk melindungi industri yang di bawah.

Saat ini pengawasan HTP dilakukan 98 kantor bea cukai yang terdiri dari 97 KPPBC dan 1 KPUBC yang melakukan pengawasan berkala 4 kali dalam setahun.

"Jadi sebenarnya enggak masalah kalau pemerintah mencabut aturan itu karena bagi pemerintah penerimaan kita dasarnya adalah HJE," tutup dia. (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler