jpnn.com, JAKARTA - Tantangan, kesenjangan, kesempatan pada kepemimpinan perempuan, khususnya dalam sektor lingkungan, dibahas dalam lokakarya EcoGender Talks yang merupakan bagian dari IKI Thematic on Gender: “Inclusive Gender Environmental Leadership: Women Driving Sustainable Impacts” di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta Pusat, pada (18/9).
Sanjoyo Kirlan, Manajer Pilar Pembangunan Sosial di Sekretariat SDG Indonesia Bappenas, mengungkapkan meski tingkat partisipasi perempuan tinggi di bidang pendidikan dan lingkungan kerja, persentase keterlibatan perempuan dalam posisi-posisi pengambil keputusan, terutama di pemerintahan, masih rendah.
BACA JUGA: Rumah BUMN SIG Dukung UMKM Populerkan Sirop Buah Kawista Khas Rembang
Oleh karena itu, diperlukan dukungan kebijakan di berbagai tingkatan untuk mendukung pengarusutamaan gender terlebih di isu iklim, keanekaragaman hayati, dan lingkungan hidup.
“Di dalam kepemimpinan politik, misalnya, hanya 20% perempuan yang duduk di parlemen sedangkan yang disyaratkan oleh undang-undang adalah 30%. Sementara itu, perempuan yang memiliki jabatan eselon 1 di provinsi hanya 17% dan di kementerian hanya 20%,” ujar Sanjoyo.
Menurut Sanjoyo, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan melalui pendekatan pengarusutamaan gender dalam berbagai kebijakan pemerintah, termasuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Risma Umar, peneliti dari Aksi! for gender, social and ecological justice and Gender into Urban Climate Change Initiative (GUCCI) mengatakan banyak kebijakan terkait lingkungan dan perubahan iklim yang tidak menempatkan perempuan sebagai aktor utama.
BACA JUGA: INDODAX Kembali Mendominasi Pasar Kripto Indonesia PascaInsiden
“Ada kesenjangan kapasitas [pemahaman gender] di level aktor-aktor kunci pembangunan, termasuk pada aksi iklim baik di tingkat nasional dan daerah,” katanya dalam diskusi yang digelar oleh IKI (International Climate Initiative).
Sementara itu, Gita Syahrani, Kepala Badan Eksekutif Koalisi Ekonomi Membumi mengatakan walau perempuan berpartisipasi aktif dalam banyak bidang, posisi mereka tetap tidak diuntungkan.
“Di bidang UMKM, misalnya, walau tingkat partisipasinya tinggi, wirausaha perempuan mendapatkan lebih sedikit keuntungan dan akses ke permodalan. Pengusaha dan pemimpin perempuan juga memiliki lebih sedikit ruang untuk berinovasi di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika) karena beban ganda, tiga kali lipat bahkan empat kali lipat yang mereka punya,” katanya.
Lebih lanjut, kegiatan ini juga berupaya mendorong kesempatan bagi perempuan dalam kepimpinan yang inklusif terkait pengambilan keputusan di sektor iklim dan lingkungan hidup yang digelar oleh GIZ Indonesia and ASEAN, melalui kerangka IKI.
IKI merupakan bagian penting dari komitmen pembiayaan iklim internasional pemerintah Jerman sejak 2008.
Indonesia sebagai salah satu negara prioritas menjadi tuan rumah bagi 48 proyek IKI, yang terdiri dari 26 proyek Mitigasi, 1 proyek Adaptasi, 6 proyek Penyerap Karbon Alami, dan 15 proyek Keanekaragaman Hayati.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada