Pemersatu Bangsa

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 26 Juni 2022 – 17:25 WIB
Ada wacana memasangkan dua gubernur ini sebagai capres dan cawapres di Pilpres 2024. Ilustrator: Sultan Alamanda/JPNN.

jpnn.com - Tingkah polah netizen bermacam-macam. Ada yang bikin gerah, ada juga yang bikin senyum. Cobalah Anda buka mesin peramban dan ketik ‘’pemersatu bangsa’’. Yang muncul adalah foto-foto seorang perempuan setengah baya dengan berbagai pose dan pakaian yang memanjakan mata laki-laki.

Perempuan itu bernama Ernie Judojono (tidak ada hubungan dengan Susilo Bambang), dan lebih dikenal sebagai ‘’Tante Ernie’’. Dia menjadi salah seorang selebgram paling populer di Indonesia dengan pengikut 2,4 juta orang. Follower-nya menjuluki Ernie sebagai ‘’Pemersatu Bangsa’’.

BACA JUGA: Surya Paloh Sebut Anies-Ganjar Duet Pemersatu Bangsa, Sekjen PDIP: Jangan Dipersempit

Sebutan itu diberikan oleh netizen untuk menyindir kondisi bangsa yang terpecah belah oleh bergaia isu politik. Setiap kali muncul isu politik, netizen selalu terbelah menjadi dua kubu yang berseberangan dan saling membuat komentar yang menyerang satu kubu dengan lainnya.

Isu-isu politik yang serius selalu memecah belah netizen. Isu-isu yang kurang serius pun memecah belah netizen. Itulah sebabnya para netizen yang netral menganggap bangsa Indonesia sudah terpecah belah dan sulit dipersatukan.

BACA JUGA: Gus Muhaimin: Budaya Salah Satu Instrumen Pemersatu Bangsa

Akan tetapi, begitu melihat penampilan Ernie di akunnya di Instgram-nya, barulah para netizen bersatu karena sama-sama menyukai foto-foto dengan beraneka pose. Itulah yang menyebabkan Ernie disebut sebagai ‘’Tante Pemersatu Bangsa’’.

Politikus Surya Paloh mungkin tidak pernah mengintip akun Tante Ernie atau mendengar julukan pemersatu bangsa yang disematkan kepada Tante Ernie.  Dalam diskusi dengan Presiden Joko Widodo, Surya Paloh mengajukan usulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bisa menyatukan bangsa yang terbelah. Paloh menyebutnya sebagai pasangan pemersatu bangsa.

BACA JUGA: Surya Paloh: Pancasila Pemersatu Bangsa

Surya Paloh kabarnya mengajukan nama pasangan Anies Baswedan dan Puan Maharani sebagai pasangan pemersatu bangsa. Akan tetapi, ada juga variasi Anies Baswedan sebagai capres dan Ganjar Pranowo sebagai cawapres, atau Ganjar Pranowo sebagai capres dan Anies menjadi cawapres.

Usulan ini mendapat tanggapan ramai dari para politisi. Realitas politik Indonesia tentu beda dengan realitas dunia maya yang bisa disatukan oleh Tante Ernie. Realitas politik Indonesia begitu kompleks karena banyaknya aktor politik yang terlibat dan berkepentingan.

Gagasan pasangan pemersatu nyaris disebut sebagai ‘’mission impossible’’, meskipun dalam politik ‘’nothing is impossible’’.

Selama lima tahun terakhir isu-isu besar yang muncul selalu memecah masyarakat menjadi dua kelompok yang seolah-olah berhadapan diametral. Rekonsiliasi politik pasca-Pilpres 2019 ternyata hanya rekonsiliasi semu. Alih-alih menghilang, polarisasi makin menganga.

Apakah Indonesia tidak punya pemersatu bangsa? Bangsa Indonesia sudah mempunyai “common denomination” pijakan yang sama untuk menyatukan bangsa. Pijakan bersama itu adalah Pancasila yang sudah menjadi konsensus bersama para founding fathers, pendiri bangsa.

Akan tetapi, alih-alih menjadikan Pancasila sebagai “common denomination”, ada upaya memonopoli tafsir dan interpretasi terhadap Pancasila dengan mengaku sebagai yang paling Pancasila seolah-olah Pancasila barang warisan yang bisa dikantongi sendiri.

Ada gejala  “historical myopia”, rabun sejarah, tak punya pandangan jauh ke depan dan tidak punya kaca spion untuk menoleh ke belakang.  Monopoli terhadap tafsir Pancasila adalah kesalahan sejarah yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang berakibat sama-sama fatal. Ternyata bukan hanya keledai yang terperosok lubang yang sama berkali-kali.

Pancasila dengan spirit Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ruh perjuangan bangsa Indonesia. Biarkan dia utuh seperti adanya tidak perlu diperas jadi Trisila apalagi Ekasila dengan mengaburkan peran Ketuhanan Yang Maha Esa.

Indonesia akan gagal menghadapi krisis global yang kalau tidak bisa menyelesaikan masalah yang paling fundamental ini. Presiden Jokowi berkali-kali mengingatkan pentingnya ‘’sense of crisis’’ karena besarnya ancaman di hadapan kita.

Penulis Amerika Ben Saphiro dalam buku The Right Side of History (2020) memberikan gambaran mengenai bangsa yang terbelah (divided nation), satu berada pada sisi yang salah, satunya berada pada sisi yang benar. Dua kekuatan itu akan senantiasa terlibat dalam pertempuran memperebutkan pengaruh dunia.

Menurut Saphiro, sebuah bangsa berada pada sisi yang benar jika bisa memadukukan “kekuatan Athena” dengan kekuatan “Jerusalem”. Kekuatan Athena (Yunani) adalah kekuatan akal dan ilmu pengetahuan, sedangkan kekuatan Jerusalem adalah kekuatan iman. B. J Habibie pernah memperkenalkan istilah imtak dan iptek; otak Jerman hati Makkah.

Pendulum politik terbagi antara sisi kanan dan kiri. Sisi kanan adalah sisi konservatif yang diasosiasikan dengan kelompok politik yang bersemangatkan keagamaan dan kolektivitas. Sisi kiri mewakili kalangan liberal yang lebih dekat dengan individualisme dan sekularisme.

Menurut Saphiro, kelompok kanan berada pada sisi yang benar dalam sejarah, karena kelompok kanan memadukan akal (ilmu pengetahuan) dengan iman yang akan menghasilkan keseimbangan. Kelompok kiri yang liberal, oleh Saphiro dianggap kehilangan keseimbangan karena terlalu menekankan pada kebebasan individual dan sekularisme sehingga mengabaikan peran agama.

Tantangan global makin nyata. Perang Rusia vs Ukraina melahirkan krisis energi, pangan, dan keuangan.

Jeffrey D. Sachs pemikir Amerika Serikat dalam The Ages of Globalization: Geography, Technology, and Institutions menggambarkan keterkaitan seluruh penjuru bumi satu dengan lainnya tak terpisahkan sejak era Paleolithic sampai era Covid-19 sekarang ini.

Sachs menyebutkan tiga modal utama yang bisa menjadi senjata bangsa-bangsa untuk bisa “survive and strive”, bertahan dan berkembang, yaitu modal geografi, modal teknologi, dan modal institusi.

Letak geografis sebuah negara adalah berkah, given, dari Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Negara-negara yang beriklim sedang (temperate) yang menyebar di sekujur Garis Khattul Istiwa’ (Katulistiwa) punya potensi untuk lebih makmur dibanding negara-negara yang jauh di atas garis yang membuatnya gersang dan di bawah garis yang membuatnya beku.

Indonesia mendapatkan berkah modal yang sangat berharga. Jamrud Katulistiwa, jaminan kemakmuran. Tongkat dan batu jadi tanaman di Nusantara, kata Koes Plus. Akan tetapi, di negeri Indonesia, tongkat dipakai menggebuk buruh dan batu untuk melempari polisi.

Modal teknologi adalah sebuah niscaya. Di dunia global penguasaan teknologi akan menjadi faktor pembeda. Akses terhadap teknologi terbuka bagi bangsa mana saja selama strategi pendidikannya bisa menjawab tantangan globalisasi, dan bisa menempatkan diri pada sisi sejarah yang benar. Teknologi adalah ciptaan manusia yang bisa diakses manusia mana saja yang mumpuni.

Faktor ketiga adalah institusi, dalam hal ini adalah pemerintahan. Lokasi geografis adalah given dari Tuhan, sedangkan teknologi dan institusi adalah buatan manusia. Banyak negara-negara kaya sumber daya alam terkena kutukan “Resource Curse”, alih-alih makmur malah gembel.

Institusi pemerintahan yang memble dan plonga-plongo akan membuat sebuah bangsa yang secara geografis potensial makmur menjadi terpuruk, dan hanya bisa hidup sebagai kuli di tengah bangsa-bangsa dan bangsa di tengah para kuli, “Coolies among nations, nation among coolies,” kata Bung Karno.

Bahwa bangsa Eropa dan Amerika yang berada pada negara empat musim ditakdirkan menjadi bangsa yang kaya dan maju adalah omong kosong. Banyak studi yang membantah soal itu. Anderson dan Acemoglu dalam buku “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty” (2015) membuktikan bahwa negara menjadi maju karena institusi pemerintahannya ‘inclusive” melibatkan rakyat dalam berbagai keputusan strategis.

Institusi negara yang “extractive” akan menjadi negara miskin dan terbelakang. Kebijakan extractive adalah kebijakan yang mengeksploitasi rakyat dengan mengambil keputusan tanpa “manufacturing consent” melibatkan kesepakatan rakyat, misalnya undang-undang yang digedok dengan cara serampangan dan mematikan mik untuk menghidari interupsi. Pemaksaan UU Cipta Kerja dan UU IKN adalah sejumlah contoh kebijakan yang extractive.

Indonesia membutuhkan kebijakan yang inclusive untuk bisa mempersatukan bangsa. Pemimpin Indonesia pada 2024 harus mampu menjadi pemersatu bangsa dengan kebijakannya yang inklusif. Akankah ada yang mengampanyekan Tante Ernie for President 2024? (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler