jpnn.com, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Sektor Keamanan menyoroti langkah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengangkat sejumlah perwira aktif Polri/TNI, menjadi komisaris utama dan komisaris di sejumlah perusahaan plat merah.
Mereka menilai langkah tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan khususnya UU Nomor 34/2004 tentang TNI dan UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BACA JUGA: Komentar Neta Pane Tentang Pengangkatan Perwira Tinggi Aktif Jadi Komisaris BUMN
"Kami memandang pengangkatan perwira aktif TNI-Polri dalam jajaran BUMN juga bertentangan dengan semangat reformasi sektor keamanan dan prinsip profesionalisme yang seharusnya dijadikan landasan dalam pengelolaan negara, termasuk di institusi TNI dan Polri serta BUMN," ujar Ikhsan Yosarie dari Setara Institute, di Jakarta, Minggu (21/6).
Ikhsan kemudian memerinci Pasal 47 Ayat (1) UU TNI. Disebut, prajurit TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
BACA JUGA: Erick Thohir Rombak Direksi & Komisaris Telkom, ada Pendiri Bukalapak Hingga Rizal Mallarangeng
Dia mengakui dalam undang-undang memang terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) dan (3) UU TNI.
Bahwa jabatan-jabatan sipil tertentu bisa diduduki prajurit aktif dalam rangka tugas perbantuan TNI kepada pemerintahan sipil, dalam kerangka operasi militer selain perang (OMSP).
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Fahri Hamzah Sentil Pemerintah, Suntik Covid Ajalah, Gerhana Matahari
Jabatan yang dikecualikan tersebut adalah jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen begara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, narkotik nasional dan Mahkamah Agung.
"Merujuk pada Pasal 47 Ayat (2) UU TNI, jabatan dalam BUMN tidak termasuk dalam pengecualian jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif," ucapnya.
Pandangan senada dikemukakan Andi Muhammad Rezaldy dari KontraS. Menurutnya, dalam Pasal 28 Ayat (3) UU Polri diatur, anggota kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
"Kami memandang, pengangkatan sejumlah prajurit dan perwira aktif TNI-Polri tidak sesuai dengan peran dan fungsi TNI dan Polri sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan," katanya.
Sementara itu, Muhammad Rasyid Ridha dari LBH Jakarta menyatakan, Pasal 5 UU TNI menyatakan, TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Sedangkan Pasal 2 UU Polri mengatur, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
"Peran dan fungsi TNI-Polri sebagaimana disebutkan, tidak berkaitan dengan dengan maksud dan tujuan pendirian BUMN," katanya.
Rasyid kemudian menyebut tujuan pendirian BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 19/2003 tentang BUMN.
Yaitu, memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.
Kemudian, mengejar keuntungan, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
Fungsi lain, menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum bisa dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi, turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan, ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
Ardi Manto Adiputra dari Imparsial dengan tegas menyatakan, pengangkatan prajurit dan perwira aktif TNI-Polri dalam jajaran BUMN mencederai prinsip profesionalisme.
Hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Dasar Menimbang huruf (d), serta Pasal 6, dan Pasal 72 UU BUMN. Disebutkan, penyelenggara BUMN dituntut memiliki kompetensi yang tepat.
"Sebagai alat pertahanan dan keamanan negara sudah tentu kompetensi ini secara normatif tidak dimiliki oleh anggota Polri dan TNI," ucapnya.
Menurut Ardi, jabatan dalam jajaran BUMN harus diisi orang yang memiliki kompetensi sesuai jabatannya, sehingga amanat UU BUMN dapat dilaksanakan dengan baik.
Ardi juga mengatakan, penempatan sejumlah perwira aktif TNI-Polri dalam jajaran BUMN menggambarkan keengganan pemerintah dalam melaksanakan reformasi TNI dan Polri, sebagaimana diatur dalam TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000.
"Pengangkatan ini justru menunjukkan suatu kemunduran reformasi TNI-Polri dan menarik-narik TNI-Polri kembali 'berbisnis' sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru," katanya.
Sementara itu, Jesse Adam Halim dari HRWG mengatakan, pemerintah semestinya fokus pada sejumlah reformasi TNI dan Polri yang hingga kini mengalami stagnansi.
Seperti penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial, modernisasi alutsista TNI-Polri, penguatan peran lembaga pengawas kepolisian (Kompolnas), kesejahteraan prajurit TNI dan anggota Polri, dan lain-lain.
"Dalam pernyataan di beberapa media massa, pemerintah menyebut pengangkatan sejumlah prajurit dan perwira aktif TNI-Polri disebabkan banyaknya konflik di lapangan antara BUMN dan masyarakat. Misalnya, konflik tanah, perizinan yang tumpang tindih, dan isu sosial," katanya.
Menurut Jesse, hal tersebut mengindikasikan akan digunakannya pendekatan keamanan dalam mengamankan kepentingan perusahaan, yang sangat potensial terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM di kemudian hari.
Mengingat dalam banyak kasus, pembela HAM kerap menjadi korban dalam konflik-konflik serupa.
Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Sektor Keamanan kemudian menyatakan sikap.
Pertama, mendesak presiden menjalankan reformasi TNI dan Polri secara konsekuen sebagaimana amanat reformasi, Tap MPR Nomor VI dan VII/2000, UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU Nomor 34/2004 tentang TNI.
Kedua, mendesak pemerintah untuk tidak menggunakan pendekatan keamanan dalam penanganan konflik antara BUMN dan masyarakat dengan tidak mengangkat prajurit TNI dan Polri aktif ke BUMN.
Ketiga, mendesak kementerian BUMN untuk mengevaluasi kebijakan pengangkatan prajurit dan perwira aktif dalam jajaran BUMN dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya UU TNI dan UU Polri.
Keempat, meminta Ombudsman RI melakukan investigasi kemungkinan pelanggaran mal-administrasi dalam kebijakan pengangkatan perwira aktif dalam jajaran BUMN.(gir/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang