jpnn.com - ZURICH – Kabar tak sedap berhembus di seputar pemilihan presiden FIFA Jumat lalu (29/5). Tidak hanya menggunakan cara klasik dengan memberikan uang cash, tetapi juga lewat gratifikasi seks.
Layanan plus-plus itu menjadi salah satu di antara beberapa modus untuk memengaruhi otak si calon pemilih.
BACA JUGA: Liga Indonesia tak Jelas, Bomber Persija Gabung Raksasa Thailand
Selain gratifikasi seks, delegasi biasanya diiming-imingi biaya sekolah serta tas tangan (yang tentu sudah ada isinya). Nah, cara-cara tersebut yang diduga terjadi di balik keberhasilan Joseph ’’Sepp’’ Blatter memenangi kursi presiden FIFA kali kelima.
Rumor itu diembuskan oleh Mirror. Menurut media Inggris tersebut, setidaknya 209 delegasi pemilik suara di kongres FIFA lalu sempat ditawari gratifikasi jasa seks. Mirror mengklaim, gratifikasi semacam itu menjadi tradisi FIFA sejak 1990-an.
BACA JUGA: Fans Inter Harap Tenang! Icardi Pastikan Bertahan
Tetapi, kabar yang berembus itu buru-buru disangkal oleh salah seorang pengurus FIFA Bruno Affentranger. Pria yang juga berprofesi sebagai jurnalis di Swiss tersebut menegaskan bahwa pemilihan presiden FIFA pada periode 2015–2019 bersih dari gratifikasi dalam bentuk apa pun. Affentranger menyatakan gratifikasi seks itu sudah ditinggalkan FIFA.
’’Saya masih ingat, suatu malam ada gadis menelepon saya karena dia butuh bantuan, ada delegasi yang ingin ditemani perempuan yang lebih cantik dari dia,’’ papar Affentranger.
BACA JUGA: Singo Edan Banjir Tawaran Uji Coba
’’Tetapi, cara-cara itu (gratifikasi seks, Red) tidak ada lagi sekitar sepuluh tahun lalu. Itu terlalu berbahaya,’’ sambungnya.
Affentrager justru memberikan apresiasi jika gratifikasi itu berbentuk beasiswa sekolah. ’’Bandingkan jika anak Anda mendapat beasiswa di Qatar. Itu jauh lebih penting dan lebih smart. Kami tidak menyebut Qatar dan Rusia melakukan itu untuk Piala Dunia 2018 dan 2022,’’ tuturnya.
Menurut dia, gratifikasi layanan seks dan memberikan tas tangan lebih mencolok apabila dibandingkan dengan beasiswa. Dalam analoginya, dia memberikan contoh bagaimana jika ada pihak yang datang langsung ke salah satu negara untuk meminta mendukung jadi host Piala Dunia.
Lalu, istri semua pejabat salah satu federasi datang dan mengambil tas berisi uang GBP 240 (Rp 4,83 juta). ’’Apakah itu bentuk penyuapan? Apakah itu korupsi? Saya akan menjawab itu, ’’ya’’. Itulah praktik kecil untuk menunjukkan di depan umum,’’ terangnya.
Sepanjang pengalamannya sebagai jurnalis, Affentrager tentu sudah sering mengetahui besaran uang yang berputar di balik jual beli suara pemilihan presiden FIFA. ’’Rata-rata mereka menjual suaranya USD 1,5 juta (Rp 19,7 miliar) hingga USD 3,2 juta (Rp 42,1 miliar),’’ sebutnya.
Sebetulnya, masih ada bentuk gratifikasi lain yang lebih mengikat. Gratifikasi itu dibalut program bantuan berlabel Goal Project FIFA. Program yang digagas Blatter sejak 1999 itu khusus membantu perkembangan sepak bola di negara-negara berkembang.
Nah, sangat banyak negara berkembang yang menjadi anggota FIFA. Mereka itu yang sulit melepaskan kebergantungan kepada FIFA sehingga, mau tidak mau, harus menyalurkan dukungan buat Blatter dalam pemilihan presiden lalu. (ren/c4/bas)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Daftar Unggulan BCA Indonesia Open 2015
Redaktur : Tim Redaksi