Fenomena ijtima ulama yang muncul selama periode Pemilu 2019 di Indonesia dianggap sebagian pihak sebagai cerminan politik identitas. Namun lebih dari sekedar isu agama, politik identitas ternyata diangkat untuk menyuarakan masalah kesenjangan ekonomi yang makin lebar di negara ini. Poin utama: Kesenjangan ekonomi merupakan salah satu akar dari merebaknya politik identitas di Indonesia Jika calon Presiden-Wakil Presiden lebih dari dua, kemungkinan polarisasi dalam politik bisa dicegah Islamisasi di Indonesia berbeda dari versi Suriah, kata peneliti IPAC
BACA JUGA: Sakdiyah Maruf: Indonesia Penuh Lelucon Politik, Saatnya Komedi Memimpin
Peneliti politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Achmad Munjid, menilai politik identitas yang kental muncul dalam gelaran Pemilu 2019 bersumber dari masalah kesenjangan ekonomi di Indonesia yang kemudian dilihat dengan menggunakan lensa agama.
Munjid menekankan masalah sebenarnya terletak pada kesenjangan ekonomi.
BACA JUGA: Saat Caleg-caleg Anti Muslim dan Anti LGBT Berguguran di Australia
Akibat globalisasi, fraksi-fraksi yang ada di tengah masyarakat Indonesia makin dalam. Ekonomi negara ini, katanya, makin baik namun di lain pihak kesenjangan antara golongan kaya dan miskin makin lebar.
Konsep kesenjangan, menurut Munjid, sangat efektif bagi pihak-pihak yang mengusung gagasan orang Islam sebagai korban.
BACA JUGA: Dibayar dan Kesempatan Jalan ke Luar Negeri Karena Mendengarkan Radio
"Itu (politik identitas) sangat efektif dipakai yang mau melawan pihak yang sedang berkuasa karena dilihat sebagai orang yang tidak berpihak pada Islam," katanya dalam diskusi Politik dan Agama di Indonesia yang berlangsung di Jakarta (2/5/2019).
Saat ini, masyarakat Islam di Indonesia disebut Munjid sebagai golongan mayoritas yang memiliki mentalitas minoritas.
"Sekarang banyak orang melihat kenyataan saat ini dengan kacamata masa lalu," ujar dosen ilmu budaya di UGM itu.
Ia lalu merujuk rezim Soeharto yang banyak menempatkan menteri-menteri non-Muslim dan dipandang kelompok Islam, saat itu, memiliki kebijakan yang merugikan golongan mereka.
"Semua menteri strategis itu, Menteri Keuangan, gubernur (Bank Indonesia) juga, jadi secara umum sebelum 90an itu, secara jelas, kebijakan Soeharto itu menganaktirikan orang Islam."
Namun menjelang era 90an, apalagi setelah periode itu, kebijakan Soeharto justru menganakemaskan golongan Muslim karena dukungan terhadap Soeharto sudah menurun. Selain itu, ada perbedaan generasi yang jauh, ditambah lagi kelas menengah Islam yang sudah meningkat dan tak bisa lagi diabaikan.
"Dan itu membuat mereka merasa... dulu disingkirkan, sekarang mereka merasa 'nah ini kesempatan'," jelas Munjid.
Apalagi setelah reformasi, kelompok Islam bisa mengekspresikan diri mereka secara bebas sehingga penggunaan simbol agama Islam di ruang publik sangatlah kuat.
Peneliti jebolan Amerika ini menyebut fenomena politik identitas tersebut erat kaitannya dengan formalisasi Islam.
"Kita melihat kebangkitan formalisasi Islam yang bisa dipelintirkan dengan mudah untuk kepentingan politik dan bisnis," jelasnya.
Profesor Ronald Lukens-Bull dari AS, yang melakukan studi multikulturalisme di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, juga membenarkan persoalan politik identitas dalam Pemilu 2019 di Indonesia.
Namun ia mengungkapkan, polarisasi yang bisa muncul sebagai imbas bisa dicegah jika kandidat Presiden dan Wakil Presiden tersedia lebih dari dua pilihan.
"Maksud saya kalau ada lebih dari dua kandidat akan mencegah polarisasi karena kelompok (yang menggunakan politik identitas) ini, kalau ada empat kandidat misalkan, mereka mungkin memengaruhi kandidat lain," jelasnya kepada ABC selepas diskusi Politik dan Agama di Indonesia.
"Sehingga politik identitas dalam wujud agama bisa dikurangi." Photo: Diskusi Politik dan Agama di Indonesia yang diadakan di CSIS Jakarta (2/5/2019). (ABC; Nurina Savitri)
Islamisasi gaya baru
Munculnya kelompok-kelompok Islam hingga gerakan 212 dalam dua tahun terakhir di Indonesia tak pelak membuat banyak pihak mengarah pada isu Islamisasi di negara ini.
Nava Nuraniyah, peneliti dari Institut for Policy Analysis of Conflict (IPAC), mengatakan, Islamisasi yang terjadi di Indonesia sangat berbeda dari versi militan di Suriah.
"Di sini yang terjadi adalah revolusi putih dengan ritme yang perlahan."
"Mereka menerima konsep NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Namun mereka bilang 'NKRI saya lebih baik dari versi anda'," jelas Nava dalam diskusi serupa (2/5/2019).
Sebagian oknum dari kelompok yang mengusung Islamisasi seperti itu bermula dari isu lama dalam sejarah politik Indonesia, sebut Nava.
"Susah membawa isu Piagam Jakarta dalam legislasi, jadi mereka me-reinterpretasi nasionalisme."
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jumlah Korban Tewas Penyerangan Masjid di Christchurch Jadi 51 Orang