Pemprov Sumut Jangan Semaunya Pajaki Inalum

Rabu, 30 Maret 2016 – 23:39 WIB

jpnn.com - JAKARTA – Pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Rony Bako menilai, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tidak bisa semaunya sendiri dalam menarik pajak yang sangat tinggi terhadap Inalum. ‎Pemprov harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat terlebih dahulu, kalau ditemukan permasalahan. Apalagi Inalum merupakan badan usaha milik negara (BUMN).

"Jadi kalau ditemukan permasalahan, harus segera dicarikan solusinya. Jangan dibiarkan berlarut-larut," ujar Rony, Rabu (29/3).

BACA JUGA: Alfaonline Siap Bersaing di Pasar Digital

Rony mengemukakan pendapatnya, setelah permasalahan pajak air permukaan (PAP) mengemuka. Pemprov Sumut mengharuskan PT Inalum membayar sesuai ‎Peraturan Gubernur Sumut Nomor 24 tahun 2011, tentang Tata Cara Penghitungan Nilai Perolehan Air. Disebutkan, khusus penetapan harga dasar untuk pemakaian dan/atau pemanfaatan oleh pembangkit listrik sebesar Rp 75,-/Kwh.

Namun Inalum menilai, seharusnya mereka membayar pajak sesuai kubikasi air mengalir untuk golongan industri K-I. Karena itu Inalum akhirnya mengajukan banding ke pengadilan pajak. Juga melakukan judicial review ke Mahkamah Agung. 

BACA JUGA: Perdana, Kemenhub Tunjuk Pengelola Pelabuhan Umum Swasta

"Saya kira Inalum bisa minta keputusan menteri keuangan untuk mengakhiri persoalan. Saya lihat perlu keterlibatan pemerintah pusat,” ujarnya.

Rony juga menilai langkah Inalum yang merasa dirugikan oleh kebijakan yang dikeluarkan Pemprov Sumut, bisa mengajukan judicial review kepada MA.

BACA JUGA: Gerindra: Pemerintah Selalu Kalah dari Mafia Pupuk

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara Prof. Dr Bismar Nasution, SH, MH menanggapi Peraturan Gubernur Sumatera Utara terkait PAP Inalum. Menurutnya, logika berpikir dari munculnya Pergub tersebut tidak menimbulkan keadilan bagi subjek pajak PT Inalum (Persero). Sebab, karakteristik usahanya yang secara skala ekonomi harus menggunakan PLTA. Tafsir aturan yang demikian tidak memberikan insentif bagi dunia usaha PT Inalum (Persero) yang sudah berinvestasi sangat besar dalam membangun PLTA. 

Menurutnya, Pasal 9 ayat (3) Peraturan Gubernur Sumut Nomor 24 tahun 2011, tentang Tata Cara Penghitungan Nilai Perolehan Air, memang disebutkan pajak produksi listrik dari penggunaan air Danau Toba sekira Rp75/kwh.  Dengan demikian pajak yang diwajibkan dibayar oleh Inalum Rp 32 miliar.

Namun tidak dapat diberlakukan terhadap PT  Inalum (Persero) karena original intens Pasal tersebut ditujukan untuk PLN (Persero). Untuk  Inalum katanya, tetap berlaku prinsip perhitungan berdasarkan Rp/ Kwh bukan berdasarkan air yang mengalir. 

Hal ini dikarenakan essensi mendasar dari Pasal 9 ayat (3) Pegubsu tersebut adalah : a. perlakuan khusus harga dasar bagi PLN (Persero), dan b. perhitungan harga untuk pembangkit listrik adalah berdasarkan Rp/ kwh bukan berdasarkan kubikasi air yang mengalir. 

“Meskipun Pasal 9 ayat (3) mengenai tarif Rp 75/ KwH tidak bisa diberlakukan untuk PT Inalum (Persero) tetapi dasar perhitungan berdasarkan Rp / Kwh semestinya tetap diberlakukan bagi PT. Inalum (Persero) karena karakteristik kegiatan usahanya sama yakni pembangkit listrik yang dihitung berdasarkan Rp / KwH bukan berdasarkan kubikasi air mengalir bukan pemakaian air,” ujar Bismar.

Selain itu, Bismar juga mengatakan tidak semua provinsi mengatur ketentuan yang sama seperti pada Pasal 9 ayat (3) Pergubsu tersebut. Misalnya Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 41 Tahun 2012 tentang Nilai Perolehan Air Permukaan untuk Menghitung Pajak Air Permukaan. 

Pada Lampiran Pergub Jawa Timur tersebut ditetapkan untuk Pembangkit Listrik sebesar Rp 100,-/KwH tanpa membedakan PLN atau non-PLN.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Raja Lift dan Eskalator Tancapkan Taji di Indonesia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler