Penang dan Konservasi

Senin, 28 Januari 2013 – 10:41 WIB
KETIKA Gubernur Jakarta Pak Joko Widodo (“Jokowi”) sedang mencoba untuk mengatasi banjir yang menghebohkan kota dan menimbulkan masalah kemacetan bagi warga DKI, semakin ke depan tantangan lain yang akan dihadapi oleh masyarakat di kota terbesar di salah satu bagian Asia Tenggara ini terus menunggu.

Tapi jika ia memilih untuk mengikuti contoh yang ditetapkan oleh Pak Ali Sadikin (Gubernur DKI era 60-70an) ia pasti akan tertarik untuk merevitalisasi kawasan Kota bersejarah. Kawasan yang dihubungkan oleh Taman Fatahillah ini menjadi pusat berkumpulnya arsitektur kolonial Belanda yang semakin pudar.

Jakarta tidak sendirian dalam hal ini. Dua kota lain baik Semarang dan Surabaya juga memiliki bangunan bersejarah jika saja tidak dikalahkan oleh lingkungan yang kurang mendukung – yang kesemuanya gagal untuk “lepas landas” dalam hal merestorasi atau membangun kembali kawasan tersebut.

Ketika para pembuat kebijakan local mencoba mencari tahu apa yang harus dilakukan untuk merevitalisasi pusat-pusat bangunan ikonik, mereka tidak perlu merasa malu jika harus mengunjungi kota bersejarah di Malaysia, Georgetown di Pulau Penang.

:TERKAIT Saat ini, mengingat pasar properti yang perkembangannya sangat mengejutkan di Republik ini, maka akan sangat dianjurkan bagi para perencana kota untuk siap menghadapi para pengembang yang bersemangat itu memulai perhatian mereka ke daerah-daerah yang diabaikan namun lokasinya sangat bagus. Peraturan harus diletakkan di atas kesepakatan dimana pembongkaran besar-besaran dan penghancuran budaya serta arsitektur sejarah Indonesia harus dicegah.

Pada saat yang sama, racun yang menggerogoti peraturan properti yang dimiliki oleh BUMN harus segera diselesaikan.

Pada tahun 2008, Georgetown bersama dengan Malaka dinyatakan sebagai situs warisan dunia (World Heritage) oleh UNESCO. Keputusan tersebut menjadikan Penang saat ini sebagai kota yang terdiri dari puluhan ruko perbelanjaan bergaya kolonial, kumpulan bangunan yang bergaya Anglo-India yang selamat dari serangan bola logam penghancur bangunan.

Di sebuah pulau berpopulasi  1,6 juta yang mendiami 1.048 kilometer persegi, ruang untuk tinggal dan menetap telah lama menjadi prioritas dan Penang telah menjadi sebuah kota bersejarah serta bagian penting dari elektronik dunia dan rantai produksi industri IT.

Pada awalnya, banyak pihak beranggapan bahwa pembatasan-pembatasan yang terkait dengan status Warisan Dunia akan menjadikan Georgetown tertinggal ke belakang dalam perlombaan mengembangkan dan memodernisasi kota. Pengembang properti khususnya mengkritik pedas atas peraturan baru yang dibawa status Warisan Dunia ini, bahkan mereka memprediksi stagnasi dan penurunan untuk kota yang dibanggakan sebagai pusat perdagangan.

Kenyataannya justru sebaliknya. Pada tahun 2008, pusat historis Georgetown (mencakup beberapa 58 mil persegi) telah menyaksikan ledakan yang mengejutkan. Penekanan pada budaya dan sejarah (khususnya ciri khas Baba Nyonya) telah membawa jumlah wisatawan dari berbagai belahan Asia Tenggara ke Penang. Warga Singapura –yang kita ketahui memiliki tingkat pertumbuhan yang pesat dengan sejarah perkotaan mereka yang telah hancur—telah menjadi pengunjung tetap yang sangat antusias.

Dengan jumlah wisatawan yang meningkat, banyak orang mulai bosan dengan tujuan pantai, paket hiburan yang sempurna dan mall yang ber-AC, harga properti di kawasan Warisan Dunia telah meroket secara dramatis dan jalanan sekalipun telah direklamasi menjadi sebuah bisnis.

NarelleMcMurty, pemilik dari China House menjelaskan: “di masa lalu, Chulia Street ditutup dan sepi ketika waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Sekarang dengan pertumbuhan jumlah wisatawan dan bahkan penduduk asli Penang sendiri yang menjadi pengunjung, daerah ini menjadi hidup dan ramai hingga tengah malam. Penduduk setempat memperoleh kembali dan menikmati pusat kota yang bersejarah untuk mereka sendiri dan dalam prosesnya kemudian, banyak orang yang melakukan bisnis yang besar!”

Dalam beberapa tahun terakhir, daerah ini telah menjadi lebih hidup dan menarik, penduduk lokal Penang menjadi pendukung besar dari semua prakarsa konservasi. Chern Yi, seorang mekanik mobil yang berumur dua puluh enam tahun dengan rambut dicat pirang, tidak setuju ketika saya coba-coba menantangnya dalam melihat relevansi antara Warisan dunia dan modernisasi Penang.

Dia menolak argumen saya dan mengatakan dengan yakin, “daerah konservasi mewakili sejarah kami semua. Ini penting agar kita tahu dari mana kita berasal sehingga kita bisa memahami siapa kita dan kemana kita akan pergi”.

Georgetown memperlihatkan model yang menarik bagi mereka yang ingin menghidupkan kembali bangunan-bangunan yang dianggap telah menua, tapi masih indah. Dan itu bisa saja terjadi si kawasan setempat yang bersejarah di Surabaya, Semarang dan Jakarta.

Pada akhirnya, restorasi bukanlah proses yang mudah, bahkan tidaklah murah. Tantangan utama adalah kemauan politik yang dibawa kepentingan golongan namun positif. Pertanyaannya adalah: dapatkah modal politik ala Jokowi juga dimanfaatkan untuk kebangkitan Kota?

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler