Penderita Autisme di Indonesia Terus Meningkat

Tak Banyak Tenaga Medis yang Tertarik

Jumat, 12 April 2013 – 11:12 WIB
MESKI belum ada angka pasti berapa sebenarnya jumlah anak autisme di Indonesia, namun pemerintah merilis data jumlah anak penyandang autisme bisa berada di kisaran 112 ribu jiwa. Angka tersebut diasumsikan dengan prevalensi autisme pada anak yang ada di Hongkong, yaitu 1,68 per 1000 untuk anak di bawah 15 tahun.
   
Jadi, pemerintah menghitung dengan asumsi prevalensi autisme yang ada di Hongkong, dimana jumlah anak usia 5-19 tahun di Indonesia mencapai 66.000.805 menurut data Badan Penelitian Statistik (BPS) 2010. "Saat ini memang belum ada penelitian khusus yang bisa menyajikan data autisme pada anak di Indonesia," jelas Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kemenkes Prof Dr dr Akmal Taher, dalam pembukaan seminar sehari peringatan Hari Autisme Sedunia di Jakarta, Selasa (09/04) lalu.

Data UNESCO pada 2011 mencatat, sekitar 35 juta orang penyandang autisme di dunia. Itu berarti rata-rata 6 dari 1000 orang di dunia mengidap autisme. Begitu juga dengan penelitian Center for Disease Control (CDC) Amerika Serikat pada 2008, menyatakan bahwa perbandingan autisme pada anak usia 8 tahun yang terdiagnosa dengan autisme adalah 1:80.
 
Akmal mengakui bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di dunia. "Itu sebabnya, penanganan anak dengan autisme juga harus terus ditingkatkan. Pemerintah terus mengupayakan itu," yakinnya.

Hal itu juga diungkapkan Direktur Bina Kesehatan Jiwa dr Diah Setia Utami, SpKJ, MARS di acara yang sama. Meski diakuinya, apa yang dilakukan pemerintah belum maksimal, mengingat luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi.

Menurutnya, pihaknya sudah melaksanakan berbagai langkah dan strategi pelayanan kesehatan kejiwaan sudah sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 mencatat, pelayanan jiwa di fasilitas kesehatan primer seperti Puskesmas sudah mencapai 61 persen.
"Tapi memang, belum semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan yang cukup untuk menangani pasien dari sisi suport psikologi. Kami sudah mencoba memberikan pelatihan, tapi memang tidak semua tenaga kesehatan tertarik untuk mempelajari soal psikologi semacam ini," paparnya panjang lebar.

Ditambah lagi, jumlah dokter spesialis kejiwaan (psikiater) masih sangat terbatas. Di Indonesia, baru ada sekitar 700-800 psikiater. Dan sebagian besar masih berpusat di kota-kota besar.

Tak Kenal Tak Paham
Autisme dalam istilah umum merupakan gangguan perkembangan yang komplek dengan gejala-gejalanya, meliputi perbedaan dan ketidakmampuan dalam berbagai bidang. Seperti, kemampuan komunikasi sosial, kemampuan motorik kasar, motorik halus, serta tidak mampu berinteraksi sosial, sehingga seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.

Hal itu dijelaskan Praktisi dan Psikiater Anak Dr dr Dwidjo Saputro, SpKJ (K). Menurutnya, aspek gangguan perkembangan dapat terwujud dalam bentuk berbeda. "Dengan sekumpulan gejala klinis yang dilatarbelakangi berbagai faktor yang sangat bervariasi, berkaitan, dan unik," jelasnya.

Bagi beberapa ahli, situasi itu disebut sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD). Dia sendiri mengakui, para peneliti dunia bahkan sampai hari ini belum menemukan apa yang menjadi penyebab dari lahirnya anak-anak dengan autisme.

Tanda-tanda umumnya antara lain, 50 persen penderita berbasis kelainan fungsi otak, disebabkan masalah genetik, pada waktu bayi lahir otak belum matang (immature) sebab otak terdiri dari neuron (>2 milyar). Neuron atau sel saraf selalu berubah dan bertumbuh (baik dari sisi ukuran, cabang, atau hubungan dengan yang lain).

"Namun, para peneliti mengkategorikan anak autisme mengalami kegagalan dalam pembentukan kromosom, sejak masih di dalam kandungan. Karena berhubungan dengan saraf, maka autisme dikategorikan bukan gangguan psikologis melainkan terjadi gangguan pada neurobiologis," ujar psikiater yang juga tergabung dalam Asosiasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Indonesia (Akeswari) itu.

Dengan sejumlah fakta di atas, anak dengan autisme masuk dalam kategori Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Disebut demikian, karena ABK membutuhkan pelayanan dan pendekatan khusus agar mencapai perkembangan yang optimal.

"ABK juga memerlukan pelayanan kesehatan khusus. Karena dianggap memiliki resiko atau berada dalam kondisi penyakit fisik kronik, gangguan perkembangan, gangguan emosi atau perilaku, yang memerlukan jenis pelayanan kesehatan dan pelayanan terkait yang spesifik melampaui jenis pelayanan pada anak umumnya," detailnya.

Lalu, bagaimana menangkap gejala awal anak dengan autisme" Umumnya autisme baru betul-betul bisa dikenali saat anak mulai berusia 2-3 tahun. Karena di usia tersebut, umumnya anak sudah mengalami banyak perkembangan.

Menurut Dwijo, ada tiga karakteristik khas anak dengan autisme. "Orang tua baru bisa berkesimpulan anak mereka masuk kategori autisme jika memiliki ketiga karakteristik ini. Ingat yah, bukan hanya satu atau dua, tapi ketiganya," tegasnya.

Gejala karakteristiknya ada tiga. Pertama, kegagalan interaksi sosial secara kualitatif (non verbal multiple behavior). Terlihat dari ekspresi wajah, tatapan mata, sikap badan tidak memadai, tidak ada respon timbal balik, dan tidak mampu membagikan kesenangan secara spontan.

Kedua, kegagalan komunikasi verbal secara kualitatif. Seperti, terlambat bicara, kegagalan memulai atau mempertahankan percakapan, penggunaan kata berulang-ulang, tidak mampu bermain sesuai usianya, tidak bervariasi, monoton, dan tidak ada imitasi.
 
"Dan gejala khas ketiga yang bisa terlihat adalah terdapat pola perilaku stereotipik,  mempertahankan perilaku tertentu dan diulang-ulang. Misalnya, flapping (bertepuk tangan), twisting (berputar-putar), insist dan persistent preoccupation dengan obyek tertentu (seperti, memutar-mutar roda terus menerus)," paparnya panjang lebar.

Intervensi Logis
Menurut Diah, ada cukup banyak ragam intervensi yang bisa dilakukan pada anak dengan autisme. Semua tidak bisa disamaratakan. Setiap individu, memiliki kekhasannya masing-masing.

"Yang terpenting adalah, semua masalah yang dihadapi oleh penyandang autisme harus dilakukan lewat terapi. Misalnya, terapi wicara untuk masalah komunikasi, terapi perilaku untuk masalah afektif, dan terapi okupasi untuk mengatasi masalah perkembangan motorik," jelasnya.
 
Permasalahan dalam perkembangan motorik membawa pengaruh pada kemampuan komunikasi, perilaku, dan juga kognitif. "Oleh sebab itu, keberhasilan dari penanganan anak-anak penyandang autisme tergantung dari pendekatan holistik," imbuhnya.

Holistik itu meliputi, diagnosa akurat, terapi dan pendidikan yang tepat, serta dukungan kuat dari keluarga terdekat dan semua sektor terkait. Keluarga menjadi poin penting dalam keberhasilan terapi yang dilakukan anak dengan autisme.

"Tanpa dukungan dari keluarga, mustahil terapi yang dilakukan bisa berhasil. Banyak anak autis yang berhasil mengembangkan bakat yang dimiliki, itu karena peranan dari orang tua mereka," tandasnya. (sic)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Protein Putih Telur Ampuh Turunkan Tekanan Darah Tinggi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler