Peneliti UGM Kembangkan Baterai Nuklir, Masa Pakai 40 Tahun

Jumat, 22 November 2019 – 22:42 WIB
Peneliti UGM perkenalkan prototipe baterai nuklir. Foto: Antara

jpnn.com, YOGYAKARTA - Para peneliti di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta telah mengembangkan purwarupa baterai nuklir sebagai sumber energi listrik.

Asisten peneliti Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM, Elly Ismail mengatakan, ide pengembangan baterai nuklir berawal dari upaya mencari sumber tenaga yang kecil namun tahan lama.

BACA JUGA: LG Chemical Berminat Bangun Pabrik Baterai Motor Listrik di Surabaya

Dipilihnya baterai nuklir, lanjut Elly, karena memiliki daya yanh bisa bertahan hingga 40 tahun.

"Kalau baterai lithium itu setahun dua tahun sudah habis. Sedangkan baterai nuklir bisa sampai 40 tahun," kata dia, di Yogyakarta.

BACA JUGA: Viar dan UPH Lakukan Riset Pemanfaatan Limbah Baterai Motor Listrik

Baterai nuklir itu dikemas dalam bentuk tabung. Daya listrik yang dihasilkan dari baterai itu, jelas dia, berasal dari pancaran radiasi plutonium 238 yang dikonversi menjadi cahaya tampak. Kemudian, cahaya tampak ditangkap dengan foto voltaik atau sel surya menjadi energi listrik.

Menurut Elly, baterai itu memungkinkan digunakan di daerah terpencil sebagai sumber energi alat sensor yang mampu mendeteksi siapa saja yang melalui wilayah perbatasan Indonesia.

BACA JUGA: Apple Bakal Luncurkan Penerus iPhone XR dengan Baterai Lebih Besar

Ke depan, baterai nuklir memungkinkan digunakan sebagai sumber energi berbagai peralatan elektronik di Indonesia. "Asalkan teknologi kita sudah ukurannya mikro," demikian Elly Ismail.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Tim peneliti Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM, Yudi Utomo Imardjoko, menceritakan pengembangan prototipe baterai nuklir awalnya dibiayai oleh mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan.

"Ini awalnya dulu didanai oleh beliau (Dahlan Iskan). Beliau ingin agar dari teknologi nuklir Indonesia ada sesuatu yang bisa di-create (diwujudkan), tidak hanya teoritis. Ini salah satu bukti bahwa kami sudah melakukan sesuatu yang sifatnya ada hasilnya, walaupun masih kecil itu tinggal scale-up (ditingkatkan) saja," kata Yudi.

Pendanaan pengembangan baterai itu kemudian dilanjutkan oleh Balitbang Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Setelah dua tahun dikembangkan sejak 2017, proyek penelitian itu telah memunculkan hasil meski belum memuaskan.

"Ini kan masih kecil, efisiensinya masih rendah walaupun cukup tinggi kalau dibandingkan dengan di tempat lain," kata Yudi.

Pengembangan baterai itu, menurut dia, terkendala ketersediaan plutonium 238 sebagai bahan baku utama. Limbah radioaktif itu memiliki harga cukup mahal karena harus mendatangkan dari Rusia.

"Harga per keping hanya 12 dolar, tapi begitu sampai sini harganya itu 8.600 dolar per keping," kata dia.

Dahlan Iskan yang hadir meninjau pengembangan baterai itu mengatakan bahwa kendala untuk mendapatkan plutonium 238 bisa teratasi apabila Indonesia memiliki reaktor torium sendiri sebab plutonium merupakan limbah dari torium. (antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Rasyid Ridha

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler