jpnn.com, JAKARTA - Tim Advokasi Novel Baswedan menilai tuntutan setahun penjara dua oknum kepolisian atas kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk sandiwara hukum.
Tuntutan inj dianggap sangat rendah sekaligus memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan, terlebih ini adalah serangan brutal kepada penyidik KPK yang telah terlibat banyak dalam upaya pemberantasan korupsi.
BACA JUGA: Kasus Dua ASN Pasangan Selingkuh yang Pingsan di Mobil Berbuntut Panjang
"Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elite mafia korupsi dan kekerasan," kata salah satu Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana dalam keterangan yang diterima, Kamis (11/6).
Kurnia melihat banyak kejanggalan dalam persidangan ini. Pertama, dakwaan Jaksa seakan berupaya untuk menafikan fakta kejadian yang sebenarnya.
BACA JUGA: Dua ASN Pasangan Selingkuh yang Pingsan di Mobil Sudah Pulang dari RS
Sebab, Jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan.
"Padahal kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia. Sehingga Jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana," kata dia.
BACA JUGA: BW Puji Novel Baswedan Terkait Penangkapan Nurhadi, Neta IPW: Jangan Membuat Intrik
Kedua, lanjut Kurnia, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan Jaksa di persidangan.
Dalam pantauan Tim Advokasi Novel Baswedan setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan di Persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
Tiga saksi itu pun juga diketahui sudah pernah diperiksa oleh penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan kepolisian.
Namun, Jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini.
"Padahal esensi persidangan pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah Jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya," jelas dia.
Ketiga, lanjut dia, peran penuntut umum terlihat seperti membela para terdakwa.
Hal ini dengan mudah dapat disimpulkan oleh masyarakat ketika melihat tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa.
Tak hanya itu, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel pun Jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan penyidik KPK ini.
Semestinya Jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini lebih utuh, bukan justru mebuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan.
"Persidangan kasus ini juga menunjukan hukum digunakan bukan untuk keadilan, tetapi sebaliknya hukum digunakan untuk melindungi pelaku dengan memberi hukuman alakadarnya, menutup keterlibatan aktor intelektual, mengabaikan fakta perencanaan pembunuhan yang sistematis, dan memberi bantuan hukum dari Polri kepada pelaku.”
BACA JUGA: Amri Widodo Terekam CCTV Berbuat Terlarang di Warung Seafood
“Padahal jelas menurut Pasal 13 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendampingan hukum baru dapat dilakukan bilamana tindakan yang dituduhkan berkaitan dengan kepentingan tugas," jelas dia. (tan/jpnn)
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga