Pengakuan Syafiil Anam, Pria yang Lolos dari si Pembunuh Berantai Mujianto

Tak Curiga meski Teh yang Diminum Bau Tak Enak

Senin, 20 Februari 2012 – 09:19 WIB

Syafiil Anam terbilang beruntung karena setelah diracun Mujianto diturunkan di seorang tukang pijat. Beristri dan punya dua anak dewasa, sekretaris desa di Mojokerto itu membantah tuduhan bahwa dirinya seorang gay.
 
  IMRON ARLADO, Mojokerto
 
PRIA muda berpenampilan sederhana itu menghampiri Syafiil Anam yang baru turun di terminal bus baru Nganjuk, Jawa Timur. Dengan sopan si pria yang mengaku bernama Mujianto tersebut menawarkan mengantarkan sekretaris Desa Jatikapur, Kecamatan Tarokan, Kabupaten Mojokerto, itu yang bermaksud menyambangi kerabat di kawasan Gondang, Nganjuk.    
 
Karena penampilan yang bersahaja, Anam sama sekali tak curiga dengan tawaran kenalan barunya tersebut. Dia pun mengangguk setuju untuk diantar. "Saya ini tidak pernah berbuat jelek sama orang lain. Makanya, saya juga tidak pernah memiliki pikiran yang aneh-aneh," kenang pria 52 tahun itu kepada Radar Mojokerto (Jawa Pos Group) kemarin (18/2) tentang peristiwa yang berlangsung pada 14 November 2011 tersebut.
 
Siapa sangka, prasangka baik itu justru hampir membawa Anam pada kematian. Pria yang dikenalnya di terminal bus Nganjuk tersebut ternyata seorang pembunuh berantai dengan cara meracuni korban-korbannya.
 
Ditangkap polisi pada 14 Februari lalu, Mujianto yang mengaku aksinya itu dilakukan dengan bantuan pasangan sesama jenisnya, Joko Supriyanto, 49, itu menyatakan bahwa total korbannya mencapai 15 orang. Namun, sejauh ini polisi baru mendalami enam korban: empat tewas dan dua selamat. Di antara dua yang selamat itu, Anam salah satunya.
 
Sebenarnya, sejak berkenalan di terminal, Mujianto sudah menunjukkan berbagai kejanggalan. Di perjalanan setelah meninggalkan terminal, misalnya, pria 24 tahun itu hanya mengajak Anam berputar-putar dengan motor butut miliknya.
 
Padahal, lebih dari sejam mereka berdua berada di atas sadel. Dengan jarak ke Gondang dari terminal tak lebih dari 20 kilometer, dalam sejam, seharusnya Anam sudah sampai ke rumah keluarganya. Namun, dalam pengakuannya kepada Radar Mojokerto yang menemuinya di rumah salah seorang saudaranya di Gondang, Mojokerto, Anam tetap tidak berprasangka buruk.
 
Pria yang menjadi PNS sejak 2009 tersebut juga menurut saja saat Mujianto mengajaknya berhenti untuk mengisi perut. Anehnya, sebelum sampai ke warung, Mujianto menurunkan Anam di pinggir jalan desa yang sepi dan memintanya menunggu.
 
Sampai sejauh itu kejanggalan yang ditunjukkan Mujianto, Anam tetap saja tidak curiga. Dia, misalnya, tak berusaha menanyakan kenapa harus diturunkan dulu kalau tujuannya hendak makan. Karena tidak merasa terancam itu pula, Anam juga tak berupaya melarikan diri atau meminta pertolongan warga sekitar.
 
Sekitar 10 menit menunggu, Anam dijemput Mujianto di tempat dirinya diturunkan tadi dan keduanya langsung menuju ke sebuah warung pecel. Di sana, di atas meja, sudah terhidang sepiring nasi pecel dan teh hangat.
 
Dalam kondisi lapar dan lelah, tanpa banyak bertanya, segera saja nasi pecel itu pindah ke perut Anam. Yang lantas dilanjutkannya dengan menenggak teh hangat tadi. "Teh hanya saya minum sepertiga. Tidak habis. Karena rasanya aneh. Tidak enak," jelasnya.
 
Anam tak sadar bahwa teh yang diminumnya itu telah dicampuri racun tikus. Tapi, efeknya langsung terasa begitu dia meninggalkan warung bersama Mujianto. Perutnya mual dan mulas. Keringat dingin terus bercucuran hingga membasahi pakaian yang dikenakan. "Saya sudah berusaha minta tolong untuk dibawa ke dokter. Tapi tidak boleh," ujarnya.
 
Mendengar rintihan Anam yang semakin keras, Mujianto akhirnya mampir ke tukang pijat. Anam lantas diminta mengganti pakaiannya dengan selembar sarung milik tukang pijat. "Uang dan handphone saya yang ada di celana itu akhirnya yang dibawa," katanya. Dia mengalami kerugian uang tunai Rp 1.030.000 dan sebuah handphone bermerek.
 
Mujianto lalu berpamitan untuk membeli obat generik. Dengan alasan, agar setelah dipijat, Anam tak lagi masuk angin. "Setelah lama ditunggu, ternyata anaknya langsung hilang," ucap Anam.
 
Tak lama kemudian, sejumlah perangkat desa dan jajaran kepolisian mendatangi rumah tukang pijat tersebut dan membawa Anam ke RS Bhayangkara Surabaya. Di sanalah korban mendapatkan perawatan hingga sehari semalam. Anam pun lolos dari maut. "Kata polisi waktu itu, saya masih mendingan. Sebab, ada orang lain yang dibuang di pinggir jalan dan lokasi yang sepi penduduk (sehingga akhirnya tak tertolong, Red)," tegasnya.
 
Sehari pasca dirawat di rumah sakit milik Polri tersebut, korban langsung melaporkan kasus itu ke kepolisian. Tapi, baru lewat tayangan berita di sebuah televisi kemarin pagi, dia menyadari bahwa anak muda yang telah membawa lari uang dan handphone-nya itu ternyata seorang pembunuh berantai. "Saya tahu ketika nama saya disebut-sebut di televisi," katanya. 
 
Meski lama diajak berputar-putar dan sempat pula mampir ke warung untuk makan, Anam mengaku tak begitu mengingat wajah dan ciri-ciri fisik Mujianto. "Kan saya lebih banyak dibonceng," ucapnya.
 
Yang pasti, Anam membantah dengan tegas tudingan bahwa dirinya seorang gay. Dia mengaku memiliki seorang istri dan dua anak yang sudah dewasa. Kedatangannya ke Nganjuk juga bertujuan mengunjungi saudara, bukan karena ditelepon Joko Supriyanto seperti pengakuan Mujianto kepada polisi tentang modusnya menemukan para korban. Kepada polisi, Mujianto juga menyatakan bahwa para korban yang semuanya pria adalah mantan kekasih Joko. 
 
Penegasan bahwa Anam bukan gay juga datang dari keponakannya, Andika. "Biar semua jelas, kakak saya bukan gay seperti korban yang lain," tandasnya saat mendampingi Anam.
 
Andika, atas nama keluarga, juga mengharapkan proses hukum berjalan dengan adil. Semua kejahatan pelaku juga harus diungkap, termasuk korban-korban lain yang belum diketahui. "Pelaku harus dihukum seberat-beratnya," cetus dia. (yr/jpnn/c9/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pasar Senen, Pasarnya Orang Batak di Jakarta


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler