Meski sejak 1990 Partai Komunis Mongolia runtuh dan kebebasan beragama dijamin, tidak mudah mencari orang Islam dan masjid di Ulan Bator, ibu kota Mongolia. Wartawan Jawa Pos AINUR ROHMAN yang sedang bertugas di sana memperoleh pengalaman menarik saat akan salat Id.
= = = = = = = = =
MENEMUKAN masjid dan pemeluk Islam di Ulan Bator tidak mudah. Sejak tiba di Mongolia pada 16 Agustus lalu bersama Tim Nasional Basket U-18 Indonesia yang berkompetisi pada ajang 22nd FIBA Asia U-18, saya selalu menanyakan letak masjid kepada penduduk setempat. Namun, semua orang yang saya tanya menggeleng. Bahkan, mereka mengatakan bahwa Ulan Bator tidak memiliki masjid.
"Saya yakin orang Islam di Ulan Bator sangat langka. Mayoritas penduduk di sini beragama Buddha," kata liaison officer lokal timnas U-18 Javzandolgor Bat Orshih. Menurut Javzandolgor, hampir 100 persen penduduk asli Mongolia memeluk agama Buddha aliran Tibet.
Tapi, pernyataan Javzandolgor itu berbeda dengan informasi yang disampaikan pelatih timnas Bahrain Aqeel Isa Milad yang muslim. Karena itu, ketika saya tanya apakah dia mengetahui masjid yang menyelenggarakan salat Idul Fitri di Ulan Bator, Aqeel menjawab dengan meyakinkan.
"Oh ada, saya punya nomor telepon orang sini yang bisa membantu Anda. Tapi, mungkin saya tidak salat. Ngantuk," katanya, lantas tergelak Sabtu lalu (18/8).
Orang itu bernama Jandos Sadel, pegawai negeri di Departemen Perburuhan Mongolia. Setelah saya telepon, Minggu pagi (19/8) pria keturunan Kazakstan itu menjemput saya dan anggota timnas Indonesia yang beragama Islam untuk salat Id di kawasan Temor Zam. Letaknya sekitar 5 kilometer dari Hotel Bayangol, tempat timnas Indonesia menginap.
Wajar saja bila tidak banyak yang tahu bahwa ada masjid di Ulan Bator. Sebab, masjid yang dimaksud tidak berbentuk masjid seperti pada umumnya. Melainkan, tempat ibadah itu berupa bangunan seperti rumah penduduk yang terselip di antara gedung-gedung. Ukurannya pun kecil, hanya sekitar 7 meter x 9 meter. Tak lebih besar daripada musala di kampung-kampung Indonesia.
Untuk menandai bahwa bangunan itu difungsikan sebagai tempat beribadah, ada tulisan "mescid" di dekat pintu masuk. Juga ada foto Masjidilharam dan Kakbah di dindingnya. Terdapat sebuah meja dan kursi kecil di bagian belakang. Di atasnya ada tumpukan Alquran dan kitab-kitab kajian Islam. Namun, tidak ada tempat wudu di sana. Hanya ada satu toilet dengan satu wastafel dan WC.
Idul Fitri di Mongolia sama dengan di Indonesia, yakni Minggu (19/8). Salat Id dimulai pukul 07.15 waktu Mongolia, diikuti sekitar seratus umat Islam. Mereka berasal dari Kazakstan, Afghanistan, Turki, Iran, dan Indonesia. Tidak ada satu pun warga Mongolia yang tampak. Lantaran sempit, tempat salat Id itu penuh sesak oleh jamaah tersebut.
Dari Indonesia, selain anggota Timnas Basket U-18 Indonesia, ada seorang warga Surabaya yang kini bekerja di Mongolia. Dia adalah M. Agus, warga Peneleh. Baru sebulan ini Agus ikut proyek pertambangan batu bara di negeri Genghis Khan tersebut. Sebelumnya dia bekerja di pertambangan Rusia.
Salat Id di Ulan Bator tak beda jauh dengan di Indonesia. Setelah salat, imam masjid Mustofa Resit berkhotbah dengan menggunakan bahasa Turki. Dalam khotbahnya, dia mengingatkan umat muslim agar menjunjung solidaritas. Terutama dengan membantu meringankan penderitaan muslim Rohingya di Myanmar dan Bangladesh.
Setelah khotbah, jamaah saling bersalaman dan berpelukan. "Kamu dari Indonesia? Kamu adalah saudara saya. Selamat Idul Fitri," kata Mustofa saat menyalami dan memeluk saya.
Rupanya, khotbah Mustofa membuat jamaah tergerak. Mereka ramai-ramai menyumbangkan uang untuk membantu warga muslim Rohingya yang sedang mendapat cobaan. Uang yang terkumpul lebih dari 200 ribu MNT (Mongolian tugrik) atau sekitar Rp 1,5 juta).
Menurut Ali Asad, jamaah dari Iran yang tinggal di Mongolia, masjid di Ulan Bator itu dibangun tujuh tahun lalu oleh Komunitas Muslim Turki. Mereka kini sedang mendirikan bangunan Islamic Center di belakang masjid. Rencananya, bangunan tersebut selesai tahun depan. "Kapan jadinya, itu kami serahkan kepada Allah," ucap Ali.
Selain di Temor Zam, di Ulan Bator juga ada satu masjid lagi. Letaknya di kawasan Aungilin. Menurut Ali, sejak komunisme runtuh pada 1990, kegiatan keagamaan di Mongolia sedikit demi sedikit mendapatkan kebebasan. Selain masjid, beberapa gereja berdiri di ibu kota.
Konsentrasi masyarakat muslim juga mulai menyebar. Tidak lagi hanya terpusat di Bayan-Ulgii, provinsi yang 90 persen penduduknya keturunan Kazakstan dan beragama Islam, tapi juga ke berbagai kota lain, termasuk Ulan Bator.
"Negeri ini menuju ke arah demokratisasi yang utuh. Pembangunan digalakkan di mana-mana," tutur Ali.
Pernyataan Ali itu dibenarkan As-Sunya, mahasiswa Fakultas Teknik National University of Mongolia."Kondisi Ulan Bator yang lebih baik adalah alasan kami mengambil kuliah di sini," ucap pemuda dari Afghanistan itu.
Mustofa menambahkan, Kedutaan Besar Turki di Ulan Bator memang sangat getol mengembangkan Islam di Mongolia. Selain mendirikan masjid, pihak Turki membangun sekolah. Ada lima SMA Mongolian Turkish (Monturk) di Mongol. Salah satunya terdapat di Ulan Bator, yang terbilang paling modern.
Setelah salat Id di masjid, saya bersama fotografer Jawa Pos FARID FANDI diantar Jandos mendatangi SMA Monturk di Aungilin, 12 kilometer dari pusat Kota Ulan Bator. Di sana rupanya sedang diadakan acara halalbihalal. Sebagian besar yang datang warga Turki. Di Ulan Bator terdapat sekitar 250 penduduk dari Turki. Hadir pula keturunan Kazakstan dan Iran.
Duta besar (Dubes) Turki untuk Mongolia yang baru bertugas mulai Juli lalu, Mustafa Sarnic, juga hadir. "Kami bahagia karena ada tamu dari Indonesia yang mampir di komunitas kami. Mendapat kunjungan dari saudara sesama muslim sungguh menyenangkan," ucap Sarnic saat memberikan sambutan, lantas memandang ke arah kami.(*/c11/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ridwan Kamil, Arsitek Penggerak Kultur Bersepeda di Bandung
Redaktur : Tim Redaksi