jpnn.com, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing mengatakan semua karyawan KPK harus menerima lima pimpinan KPK Periode 2019-2023. Kelima pimpinan lembaga antirasuah yang diketuai Firli Bahuri ini telah resmi dilantik pada Jumat (20/12) pekan lalu.
Menurut dia, meski sebelumnya sebagian karyawan yang berada di Wadah Pegawai KPK sempat melakukan manuver dengan mewacanakan menolak capim, maka suka tidak suka, pegawai itu harus menerimanya dengan manajemen wajah yang dipaksakan sebagai pertanda gejala kehilangan muka.
BACA JUGA: DPR dan Pemerintah Sepakati UU Anyar, Wadah Pegawai KPK Sebaiknya Bubar
"Sebab, realitas hukum mewajibkan semua pihak tunduk, tanpa kecuali, termasuk sebagian karyawan yang di WP KPK itu sendiri," kata Emrus, Senin (23/12).
Menurut dia, masih segar dalam ingatan publik bahwa sebagian karyawan yang di WP KPK memperbincangkan penolakan capim KPK yang baru. Dia menilai tindakan ini sebenarnya sudah di luar kewenangan mereka sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang seharusnya berada pada posisi netral sebagai pelaksana UU dan peraturan. "Bukan berpolitik praktis," tegas direktur eksekutif EmrusCorner itu.
BACA JUGA: Firli Bahuri Tidak Sabar Mau Memberantas Korupsi
Karena itu, kata dia, mereka harus mempunyai tanggung jawab moral atas tindakan komunikasi mewacanakan penolakan tersebut. Sebab, pesan komunikasi yang dilontarkan ke ruang publik tidak bisa ditarik kembali.
“Tetap berbekas di peta kognisi khalayak publik sekalipun boleh jadi dengan minta maaf," ujarnya.
BACA JUGA: Yakin Firli Bahuri Langsung Bikin Gebrakan, Lihat saja Nanti
Merujuk pada uraian fenomena di atas, muncul pertanyaan kritis dalam bentuk apa tanggung jawab moral yang mungkin mereka lakukan. Sebagai kesatria, lanjut dia, ada satu hal yang bisa dilakukan dari dua pilihan yaitu move on atau mundur dari pegawai KPK.
Emrus menjelaskan tindakan move on yaitu dari menolak menjadi orang tertunduk yang disertai dengan dua derita sekaligus. Derita Pertama, kehilangan muka. Mereka amat sulit menegakkan kepalanya ketika berinteraksi dengan sesama karyawan, apalagi berhadapan dengan lima pimpinan KPK yang baru. Bahkan yang paling menyiksa perasaan mereka, ke depan sudah tidak bisa tegak dan lantang berbicara di ruang publik secara terbuka seperti mereka lakukan ketika mewacanakan penolakan terhadap capim KPK.
Penderitaan pertama tadi sekaligus mengantar mereka masuk pada derita kedua yakni menjadi pekerja patuh. Dengan derita ini, posisi tawar mereka terhadap pimpinan KPK dan kepada sesama karyawan yang selama ini tidak menolak capim baru dipastikan sangat-sangat rendah.
"Sudah sulit bagi mereka bersuara nyaring. Mereka seolah sudah menyumbat mulutnya sendiri," katanya.
Menurutnya, dengan kondisi ini, posisi tawar mereka di ruang publik dan di internal KPK sudah terjun bebas ke paling dasar. Oleh karena itu, mereka akan selalu tertunduk terus dalam sebuah pertarungan gagasan, ide dan argumentasi di KPK mapun di ruang publik.
"Jika tetap bertahan di KPK, meraka tampaknya tidak lebih hanya sebagai pelaksana semata dari si pemberi tugas. Oleh karena itu, menurut saya, lebih baik mundur dari KPK. Mengapa?" katanya.
Mundur dari KPK, kata dia, jauh lebih produktif, baik dari aspek karyawan itu sendiri dan buat KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi di negeri ini. Dari aspek karyawan, tindakan mundur sebagai perbuatan yang inline dengan gerakan politik yang pernah mereka wacanakan yakni penolakan capim KPK yang baru. Dengan begitu, mereka bisa lebih bersuara lantang di ruang publik.
Selain itu, di luar KPK mereka bisa membentuk organinasi “Mantan Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (MWP KPK)” yang pro pemberantasan korupsi di Tanah Air yang berfungsi mengawasi program dan kinerja pimpinan serta Dewan Pengawas KPK.
“Tindakan ini, menurut hemat saya, jauh lebih elegan daripada tindakan move on yang disertai dengan dua derita di atas,” katanya.(boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy