jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) Sholeh Basyari memberikan catatan untuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) seusai Pemilu 2024.
Sholeh menyebutkan setidaknya ada 9 catatan PKB setelah pesta demokrasi itu.
BACA JUGA: Proses Kasus Korupsi Era Cak Imin, KPK Jebloskan Politikus PKB ke Rutan
Pertama, kata Sholeh, harus diakui bahwa PKB menikmati hasil positif efek ekor jas. Namun, itu dari faktor dan aspek Anies Baswedan, bukan Muhaimin Iskandar.
"Disebut faktor Anies Baswedan, karena di basis-basis Anies, basis Islam kanan seperti Jawa barat, DKI Jakarta, dan Banten, PKB menambah kursi, "pecah telur", dan otomatis meningkat tajam perolehan PKB secara nasional," kata Sholeh dalam keterangnya, Kamis (22/2).
BACA JUGA: PKB Mengeklaim Dapat Tambahan 23 Kursi DPR RI
Catatan kedua, ada perluasan captive market untuk PKB yang terjadi di Jawa barat, DKI, Banten, Sumatera barat, Sulawesi, serta sejumlah daerah lainya.
"Pada fenomena yang sama, secara lebih detail, captive market juga menyasar meluas ke basis-basis di luar NU. Priangan Timur (Tasikmalaya dan sekitarnya) serta Priangan Barat (Sukabumi dan sekitarnya), adalah kantong-kantong mantan kombatan DI/TII," jelasnya.
BACA JUGA: Imbas Cak Imin Jadi Cawapres, Perolehan Suara PKB Melonjak
"Artinya secara geopolitik selama ini, daerah-daerah itu adalah wilayah kekuasaan PKS yang mempresentasikan politik kanan," jelasnya.
Dia menyebutkan dengan analisis seperti ini, mudah untuk mengukur bahwa sejatinya tidak ada peran Muhaimin sebagai ketum PKB dalam mendongkrak suara PKB di daerah-daerah tersebut.
"Ketiga, sumber daya caleg yang kuat. Dominasi PKB di Jatim lebih karena faktor, sumber daya para calegnya yang kuat, petarung dan tingkat ketokohan yang diterima publik luas," tuturnya.
Menurutnya ada sejumlah tokoh yang memiliki peran itu, seperti Rusdy Kirana, Syaikhul Islam Ali Masyhuri dan Arzeti Bilbina, Halim Iskandar, Hanif Dhakiri, Ana Muawanah, Jazilul Fawaid, Fathan Subki, Kadir Karding, Marwan Jakfar.
Sholeh menyebutkan nama-nama itu adalah profil sejumlah figur kuat dari sisi dana, keumatan, dan birokrat.
"Namun, ada fenomena lain selain melonjaknya suara PKB secara nasional, justru dibarengi dengan menurunnya suara PKB di Jateng. Artinya, kenaikan PKB di Jatim dan turunnya PKB di Jateng, sama-sama terlepas dari aspek Muhaimin," kata Sholeh.
Dia menyebutkan pada Pemilu 2024 juga terlihat kedewasaan berpolitik para politisi PKB.
"Manajemen "iron hand" Muhaimin, yang menepikan kader-kader utama (meski diberi kesempatan nyaleg dan terpilih), tidak membuat sejumlah kader berisik di luar," jelasnya.
Sholeh menyebutkan tokoh seperti Marwan Jafar ataupun sejumlah mantan elit PKB, seperti Ali Masykur Musa, Abdul Kadir Karding, Imam Nahrowi, Lukman Edy, Alwi Shihab, Hikam bahkan Mahfud Md mampu menahan diri untuk tidak memperuncing konflik dengan mempublish konflik-konflik tersebut.
"Sepertinya PKB banyak belajar dari Golkar dalam mengelola konflik internal," ucapnya.
Catatan kelima ialah ketepatan dalam menerapkan nano strategy atau kampanye dengan teknik unik, kreatif, dan memunculkan rasa penasaran.
PKB yang dinilai partai aktivis, bisa disebut satu-satunya parpol yang masih menyisakan slot untuk para aktivis yang punya pengalaman luas dalam menjaga basis konstituen dan lihai dalam menghadapi pragmatisme massa.
Keberhasilan Kaisar Abu Hanifah di Jogja dan Zainul Munasikin di Sukabumi dan beberapa aktivis PMII yang lain, tetapi dibekali dengan sumber daya yang besar bentuk penerapan nano strategy itu.
Sholeh juga menjelaskan catatan keenam ialah dukungan kiai kultural berperan menjaga dan mendongkrak suara PKB juga signifikan.
"Ketujuh, stabilitas internal. PKB sudah mengalami banyak peristiwa konflik yang menyebabkan turunnya suara PKB secara drastis seperitnya itu menjadai pembelajaran yang baik," jelasnya.
Dia menjelaskan pembelajaran konflik yang panjang dan berdarah-darah menyebabkan adanya kesadaran kolektif hari ini.
"Tertanam jiwa korsa bukan hanya di kalangan pengurus, tetapi juga sampai kepada elit, aktivis, bahkan konstituen di akar rumput," tuturnya.
Catatan kedelapan, hasil pilpres dan pileg 2024 mengisyaratkan bahwa loyalitas konstituen PKB jauh lebih besar pada partai dibanding Cak Imin.
Hal ini tergambar dari dan dibuktikan dengan hanya 35 persen pemilih PKB memilih pasangan Amin. Sementara justru 55 persen memilih Prabowo-Gibran dan sisanya memilih Ganjar-Mahfud.
"Gambaran ini bisa juga dimaknai bahwa konstituen membutuhkan penyegaran Top Leader PKB," tegasnya.
Catatan kesembilan, perolehan pasangan Amin pada pilpres yang tidak linier dengan kenaikan suara partai, menandakan secara ideologis pilihan Cak Imin bergabung dengan Anies ditolak oleh Nahdliyin.
"Seperti kita ketahui, menyatukan basis ideologis NU yang mendukung PKB dengan basis ideologis pendukung Anies yang kanan seperti menyatukan minyak dan air, dua senyawa yang mustahil bergabung," pungkas Sholeh. (mcr8/jpnn)
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Kenny Kurnia Putra