Pengamat Ini Nilai Anggap Bioetanol Bukan Solusi Memperbaiki Kualitas Udara

Sabtu, 16 Maret 2024 – 16:52 WIB
Ilustrasi kualitas udara Jakarta. Foto: Natalia Laurens/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat energi Muhammad Badaruddin menilai perbaikan kualitas udara tidak sebatas pada uji emisi kendaraan, rekayasa cuaca, mendorong penggunaan kendaraan umum, atau mengawasi industri.

Dia menuturkan pemerintah seharusnya bisa memperhatikan aspek kualitas bahan bakar minyak (BBM) kendaraan dalam memperbaiki kualitas udara.

BACA JUGA: Waduh! Kualitas Udara Jakarta Minggu Pagi Memburuk

Sebab, kata Badaruddin, kontributor emisi terbesar ialah sektor transportasi seperti tertuang dalam data Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.

Adapun, Siti pada tahun 2023 pernah melaporkan bahwa sektor transportasi berkontribusi sebesar 44 persen dari penggunaan bahan bakar di Jakarta, diikuti industri energi 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen.

BACA JUGA: Makin Peduli dengan Kualitas Udara, Warga Jabodetabek Siap Terapkan Uji Emisi

"Masalahnya bukan hanya pada persoalan mesin kendaraan yang kotor. Namun, juga disebabkan kualitas BBM yang tidak memenuhi standar Euro 4 yang telah ditetapkan oleh pemerintah," tutur pria yang karib disapa Badar ini di Jakarta, Sabtu (16/3).

Diketahui, BBM yang paling banyak dikonsumsi kendaraan di Indonesia ialah jenis Pertalite dan Pertamax. 

BACA JUGA: Profil Prabu Revolusi, Komisaris PT Kilang Pertamina Internasional

Menurut Badar, dua jenis bensin tersebut belum memenuhi standar bahan bakar jenis Euro 4 yang mampu mengeluarkan emisi lebih bersih.

Dia mengatakan Kementerian LHK di sisi lain telah mengeluarkan Peraturan yakni P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017.

Aturan itu mengatur soal BBM harus berstandar emisi Euro 4 yang berlaku bagi kendaraan roda empat berbahan bakar bensin sejak Oktober 2020.

"Namun, sebagian besar bahan bakar yang digunakan di Indonesia, baik itu bensin maupun solar masih belum memenuhi standar emisi Euro 4. Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara paling tertinggal di Asia Tenggara, dalam komitmen peralihan penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan," ujar Badar.

Dia kemudian melanjutkan penggunaan bioetanol sebagai bentuk transisi energi bersih sebagaimana yang digaungkan, juga tak menjamin dalam mengatasi kualitas udara.

Badar mengungkapkan bahwa penelitian menunjukkan bahwa bioetanol bisa meningkatkan penguapan senyawa organik atau volatile organic compounds.

Oleh karena itu, katanya, Mexico telah melarang penggunaan bioetanol di kota besar seperti Mexico City, Guadalara, dan Monterrey.

"Namun demikian, alih-alih meningkatkan kualitas BBM sesuai standar Euro 4 yang urgen dilakukan saat ini untuk meningkat kualitas udara yang bersih, justru ada upaya untuk mendorong bioetanol yang membutuhkan investasi besar dari hulu hingga hilir dan waktu yang panjang," ujar Badar.

Dia kemudian mengingatkan implementasi bioetanol dalam meningkatkan kualitas udara malah bisa menimbulkan persoalan baru di kemudian hari.

“Kalau ngotot akan menggunakan bioetanol, ketergantungan pada impor akan meroket, karena pasokan bioetanol domestik saat ini tidak cukup, sehingga mau tidak mau justru akan membuka keran impor bioetanol dan ini berdampak kepada petani dan produsen lokal dan membuat harga BBM semakin tidak terjangkau," kata Badar. (ast/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Apa Motif Sekeluarga Bunuh Diri di Apartemen Teluk Intan Jakut? Ini Jawaban Polisi


Redaktur : Rah Mahatma Sakti
Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler