jpnn.com, JAKARTA - Pengamat dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyoroti artikel media asing asal Inggris, The Economist yang membahas lawatan Presiden Prabowo Subianto ke China dan Amerika Serikat.
The Economist menyebut Prabowo ‘putus asa’, karena kunjungan kerjanya beberapa waktu lalu itu menimbulkan pertanyaan tentang arah politik luar negeri Indonesia.
BACA JUGA: Mengolok-olok Penjual Es Teh, Gus Miftah Ditegur Presiden Prabowo, Ini Kalimatnya
Disebutkan pula bahwa politik luar negeri Indonesia di bawah Prabowo berpotensi kehilangan jati dirinya sebagai negara yang selama ini netral dan independen.
Menurut Khairul, artikel itu cenderung tendensius, kurang berdasar, dan mengabaikan kompleksitas diplomasi itu sendiri.
BACA JUGA: Presiden Prabowo Bertemu Joe Biden di Gedung Putih, Ini yang Dibahas
“Menurut saya artikel itu sangat tendensius. Tudingan kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Presiden Prabowo berpotensi mengorbankan netralitas dan kemandirian tidak hanya kurang berdasar, tetapi juga mengabaikan kompleksitas diplomasi yang dijalankan oleh Indonesia,” kata Khairul kepada wartawan, Rabu (4/12).
Dia menyampaikan kunjungan Prabowo ke beberapa negara, seperti China dan AS adalah bagian dari upaya memperkuat posisi Indonesia di dunia internasional.
BACA JUGA: Puji Kepemimpinan Jokowi, Presiden China Xi Jinping Harap Prabowo Mampu Meneruskan
Langkah Prabowo ini menunjukkan Indonesia tetap memperjuangkan kepentingan nasionalnya, bukan terjebak dalam pengaruh negara tertentu.
“Kunjungan luar negeri Prabowo, yang mencakup berbagai negara dengan tujuan berbeda, tidak bisa disederhanakan sebagai sekadar pencarian pengakuan atau upaya untuk menyenangkan negara tertentu,” ungkap Khairul.
Khairul menilai diplomasi dijalankan dengan upaya menyeimbangkan berbagai kepentingan, baik ekonomi, politik, maupun keamanan, tanpa mengorbankan prinsip bebas dan aktif.
Menurut Khairul, media asing sebaiknya memberikan penilaian dengan pandangan yang luas terhadap langkah politik luar negeri Indonesia.
Dia mengingatkan menilai kebijakan luar negeri Indonesia hanya dari kunjungan ke dua negara besar ini tanpa melihat konteks keseluruhan dari rangkaian kunjungan adalah pandangan yang sempit.
“Dan tidak memahami tujuan jangka panjang Indonesia memperkuat hubungan strategis dengan berbagai negara, tanpa mengorbankan kemandirian politik,” imbuh Khairul. (mar1/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi