"Parpol besar di parlemen hanya bersemangat efisien tapi tidak paham demokrasi. Kalau konsisten mau efisiensi, yang harus diefisienkan justru parlemen itu sendiri," kata Bima Arya Sugiarto, dalam dialog terbuka, bertema "Akal-akalan Undang-Undang Pemilu", di Jakarta, Senin (12/3).
Menurut Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) itu, dari berbagai masalah yang muncul selama pembahasan RUU Pemilu terlihat bahwa pijakan Panitia Khusus (Pansus) DPR dalam membedah RUU Pemilu belum bersandar pada prinsip dasar membahas UU Pemilu.
Pertama dalam berbagai pasal di RUU Pemilu yang kini masih menyisakan empat masalah besar tidak terlihat bagaimana DPR menggambarkan suasana disain sistem politik. "Tidak terlihat suasana disain sistem politik ke depan seperti apa," kata Bima.
Kedua lanjutnya, juga tidak muncul platform partai politik di Indonesia secara keseluruhan. Mau akan seperti apa, juga tidak jelas. Demikian juga halnya soal strategi partai politik dalam pemilu mendatang dan konstruksi sosial politik. "Idealnya, keempat pijakan dasar pembahasan RUU Pemilu itu harus diutamanakan ketimbang ribut dengan masalah ambang batas parlemen," tegas Bima.
Oleh karena itu, dari awal Partai PAN tetap konsisten dengan gagasan konfederasi untuk mencapai efisiensi dalam rangka menghargai keberagaman bangsa ini. "Kibarkan semua bendera partai politik, tapi harus ada leadernya. "PAN beranggapan parliamentary threshold yang tinggi juga aneh," tegasnya.
Menyikapi adanya pendapat yang mengatakan kalau partisipasi politik dibuka secara lebar akan memunculkan masalah baru, menurut Bima itu menunjukkan bahwa partai besar pengusung PT tinggi tidak punya kemampuan dalam mengelola partisipasi politik.
"Dalam perspektif demokrasi, membuka kran partisipasi politik secara lebar jauh lebih baik ketimbang dibatas-batasi. Keraguan bahwa akan chaos, itu karena lemahnya kemampuan dalam mengelola partsisipasi," ujar Bima Bima Arya Sugiarto. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PPP Targetkan 12 Juta Kader
Redaktur : Tim Redaksi