Pengamat Sebut Jokowi Membuka Ruang Pelanggaran Pemilu, Mengancam Demokrasi

Sabtu, 20 Januari 2024 – 06:01 WIB
Pengamat politik Ray Rangkuti. Foto: dok JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Politik yang juga Direktur Eksekutif LIMA Ray Rangkuti menilai semua bentuk pelanggaran harus diadukan ke Bawaslu meski belum tentu akan ditindaklanjuti.

“Diadukan saja ke Bawaslu, meski saya ragu Bawaslu mau menyelesaikan, tetapi paling tidak tercatat di Bawaslu. Kita punya memori bahwa peristiwa ini dicatatkan di Bawaslu. Meski saya pesimistis Bawaslu punya keinginan untuk mengusut berbagai temuan yang disebut,” kata Ray, Jumat (19/1/2024).

BACA JUGA: Berbincang dengan Kaesang, Arinal Sebut Rakyat Lampung Apresiasi Karya Jokowi

Ray menyebut bentuk pelanggaran begitu banyak dan hal ini sangat menyedihkan. Mulai dari perilaku tidak netral ASN, bansos yang dipolitisasi, termasuk hambatan yang dialami kandidat lain.

“Kok, Pak Jokowi ini seperti meruntuhkan banyak hal yang berhubungan dengan demokrasi. Dia mempromosikan dinasti politik yang meruntuhkan gerakan antinepotisme, membuat KPK lumpuh, sekarang pemilu menuju ke arah yang terburuk sepanjang reformasi,” ujar Ray.

BACA JUGA: TB Hasanuddin: Aspirasi Pemakzulan Presiden Hal Biasa Dalam Demokrasi, Bukan Makar

Pun dengan keberadaan PP Nomor 52/2023, salah satunya tentang aturan menteri, anggota legislatif hingga kepala daerah yang tidak wajib mundur dari jabatan jika maju sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam pemilihan presiden (pilpres) yang diteken November 2023 lalu.

Hal ini makin mengancam demokrasi dan membuka ruang-ruang pelanggaran Pemilu.

BACA JUGA: Airlangga Hartarto Tepis Isu 15 Menteri Siap Mundur dari Kabinet Jokowi: Situasi Biasa-Biasa Saja

Tanda-tanda demokrasi sakit sangat terlihat menjelang Pemilu yang akan diselenggarakan kurang dari satu bulan lagi.

Indikator pemberantasan korupsi, kebebasan berpendapat, dan partisipasi publik menurun, sementara aksi nepotisme meroket.

“Nah, kita mau mempertahankan (demokrasi) atau set back?” tegas Ray.

Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 3 di Pilpres 2024 Ganjar Pranowo menilai aturan PP Nomor 53/2023 berisiko terkait kemungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan dan kemunduran demokrasi.

“(Dengan) ketentuannya tidak mundur, maka kita akan memasuki situasi yang penuh risiko. Rasanya ketentuan tidak harus mundur itu sedang diambil sebuah risiko,” kata Ganjar, kemarin.

Menurut dia, pemberlakuan aturan tersebut dianggap dapat membuat makna pemilu yang luber-jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) berpotensi tidak terealisasi karena adanya kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.

Begitu pula dengan kualitas demokrasi yang dipastikan akan mundur.

Publik Harus Bersuara

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow menilai keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 membuka potensi untuk penyalahgunaan kekuasaan.

Aturan itu menyatakan menteri, DPR, hingga kepala daerah tidak wajib mundur dari jabatan jika maju sebagai capres dan cawapres.

"Kalau saya kira memang itu berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Demokrasi kita ini kan sedang berkembang dan kelihatannya mekanisme-mekanisme demokrasi itu sekarang digunakan oleh para elite untuk kepentingan dirinya. Kan situasi kita sekarang begitu," ungkap Jeirry.

Menurut Jeirry, peraturan itu membuka ruang untuk terjadi pelanggaran pemilu yang dilandasi penyalahgunaan kekuasaan.

"Kalau ada peraturan seperti itu dia membuka ruang bagi elite politik menggunakan kekuasaan untuk kepentingannya. Menurut saya di situ problem regulasi itu,” katanya.

Jeirry menilai proses pemilu saat ini sudah diwarnai dengan penyalahgunaan jabatan dan wewenang.

Hal itu diperparah dengan ketidakmampuan untuk memberikan sanksi pada elite ataupun pejabat yang melanggar

"Lalu sekarang kita lihat, bagaimana penindakan terhadap mereka? Tidak bisa. Inikan mobilisasi ASN, sudah jelas tidak bisa (boleh), TNI/Polri mendukung paslon, kejaksaan, kehakiman, itu main semua, dengan kewenangan yang mereka punya sekarang, dengan jabatan," ujar Jeirry.

Oleh sebab itu, Jeirry berharap aturan tersebut bisa disikapi entah dengan merevisi ataupun uji materi di Mahkamah Agung.

"Ya, semestinya kalau bisa direvisi, ya, direvisi, tetapi kan hampir tidak mungkin. Apalagi kalau ada unsur kekuasaan pusat sengaja membuatnya untuk kepentingan pemilu ini," tegas Jeirry.

Jika cara tersebut dirasa mustahil, maka diperlukan suara publik untuk mengingatkan agar demokrasi kembali pada rel yang benar.(fri/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler