jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif The Strategic Research and Consulting (TSRC) Yayan Hidayat menilai poros koalisi besar diwacanakan sulit untuk terbentuk dalam gelaran Pilpres 2024 mendatang.
Dia menyebutkan ada beberapa faktor yang membuat poros besar itu sulit dibentuk.
BACA JUGA: Pengamat Ini Memprediksi Ada 3 Capres di Pilpres 2024, Siapa Saja?
“Poros koalisi besar akan sulit mencapai kesepakatan politik terutama untuk urusan penentuan calon presiden dan calon wakil presiden yang bakal diusung. Ada ego elektoral dalam rencana pembentukan poros koalisi besar tersebut," kata Yayan dalam keterangannya, Selasa (25/4).
Dia menyebutkan ada banyak nama capres dan cawapres potensial dalam koalisi tersebut.
BACA JUGA: Pilpres 2024: Prediksi Ganjar Ada Prabowo, Anies, Satu Lagi?
Selain itu, ada juga partai besar yang selalu bertengger di posisi atas dalam berbagai hasil survei yang tergabung dalam rencana pembentukan poros koalisi besar tentunya memiliki ego elektoral masing-masing.
"Gerindra dan PDIP akan merasa paling berhak untuk mendapatkan jatah sebagai Capres. Sebab mereka menganggap kadernya yang paling pantas sebagai Capres dengan latar belakang modal elektoral masing-masing," lanjutnya.
Dia menyebutkan dari tren hasil survei capres dari 2021 hingga 2023 misalnya terlihat bahwa jarak elektoral dari tiga nama bacapres yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan selalu bersaing tipis di persentase gap 0,5 persen hingga paling jauh 2 persen.
"Fluktuasi gap elektoral tersebut dipengaruhi oleh berbagai persepsi dan keputusan politik yang dibuat oleh tiga nama bacapres tersebut," ujar Yayan.
"Dalam kasus pembentukan poros koalisi besar, bila Prabowo Subianto menurunkan egonya sebagai cawapres tentu hal tersebut akan berpengaruh besar terhadap modal elektoral Prabowo. Bagi saya, Prabowo Subianto akan banyak kehilangan suaranya yang saat ini justru cenderung menguat," tuturnya.
Menurutnya, akan ada tiga poros koalisi yang berkontestasi yakni Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari PDIP, Golkar, PPP dan PAN serta partai non-parlemen yakni PSI dan HANURA dengan mengusung Ganjar Pranowo sebagai Capres.
Poros koalisi kedua ialah Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri dari Gerindra dan PKB dengan mengusung Prabowo Subianto sebagai capres dan Koalisi Perubahan yang terdiri dari Partai Nasdem, Demokrat dan PKS dengan mengusung Anies Baswedan.
Walakin, dia meyakini ada pergerakan politik yang dapat mempengaruhi utak atik poros koalisi tersebut, seperti sinyal bergabungnya Sandiaga Salahuddin Uno ke PPP setelah resmi keluar dari Gerindra.
Dia menyebutkan fenomena keluarnya Sandiaga Uno dari Gerindra dapat ditafsirkan menjadi dua hal.
Pertama, bergabungnya Sandiaga ke PPP akan membuka ruang lebar bagi Sandiaga untuk melenggang maju sebagai bacawapres Ganjar Pranowo.
Kedua, itu ialah upaya Sandiaga untuk mendekatkan PPP ke Gerindra dan Sandiaga mendapat tiket politik sebagai Cawapres Prabowo Subianto.
"Bagi saya, dua hal ini bisa saja melatarbelakangi keputusan politik Salahuddin Uno," jelasnya.
Dia meyakini keputusan Sandiaga tersebut tentu akan mempengaruhi konstelasi politik pembentukan koalisi.
Terlebih, kondisi yang sama juga akan terjadi dengan PKB bila Ketua Umumnya Muhaimin Iskandar tidak punya peluang untuk diusung menjadi Calon Wakil Presiden.
"PKB juga berpeluang keluar dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya jika Ketua Umumnya tidak menjadi sebagai cawapres. Tentunya PKB akan mendorong pembentukan poros koalisi Nasionalis-Religius dengan bergabung ke PDIP karena kecewa pada Prabowo dan Gerindra," pungkas Yayan.(mcr8/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Kenny Kurnia Putra