jpnn.com, DEPOK - Wakil Presiden (Wapres) KH Ma'ruf Amin telah meminta peran aktif ulama Islam dan tokoh-tokoh agama dalam memerangi Covid-19.
Bahkan di awal sambutannya dalam pertemuan virtual dengan para ulama dan tokoh agama Islam Indonesia, Senin (12/7), Ma'ruf mengaku bicara tidak hanya atas nama pemerintah, tetapi juga sebagai sahabat dari para ulama dan kiai.
BACA JUGA: Pria Berbadan Besar Turun dari Mobil, Terobos Penyekatan, Begini Penampakannya
Menanggapi hal tersebut, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Herryansyah mengapresiasi terhadap ajakan wapres Ma'ruf Amin.
"Ajakan itu bagus tapi kurang efektif jika hanya Wapres Maruf Amin yang bicara. Untuk hadapi ganasnya Covid-19, saatnya tepat bagi Jokowi penuh ketawaduan merajut rekonsiliasi hubungan dengan para tokoh-tokoh muslim ulama, habaib, tengku, ajengan berbasis kultural yang selama ini dianggap berseberangan dengan pemerintah, terutama pascapilpres dan penahanan HRS (Habib Rizieq Shihab) yang oleh sebagian tokoh Islam dianggap sebagai kezaliman," ujar Herryansyah dalam perbincangan di Depok, Senin (19/7).
BACA JUGA: Terpapar COVID-19, 14 Anak Meninggal Dunia
Menurut dia, pasifnya peran ulama dan tokoh agama lainnya, berimbas terhadap 'cueknya' akar rumput bahkan mengarah pada 'pembangkangan' terhadap segala kebijakan pemerintah dalam menangani wabah Covid-19.
Herryansyah mengatakan buah dari pembiaran pembelahan, manajemen konflik yang masih tersisa pascapilpres 2019, perang buzzer media sosial, serta proses rekonsiliasi yang tidak tuntas sampai ke akar rumput, dan hanya bersifat elitis dilevel politik eksekutif dan legislatif.
BACA JUGA: Amankan Malam Takbir Iduladha, 550 Personel Gabungan Diterjunkan
"Toh, finally dirasakan saat ini ketika pemerintah membutuhkan dukungan rakyat dalam mengikuti imbauan dan kebijakan pemerintah menghadapi serangan Covid-19," ujarnya.
Herry menjelaskan bahwa dalam menghadapi pandemi ini dibutuhkan kerja sama yang harmonis umara dan ulama serta elemen masyarakat lainnya, jika pemerintah dan bangsa ini tidak ingin terjebak dalam keadaan tidak menentu situasi pandemi yang bisa berefek krisis multidimensi.
"Saya jujur merasa kasihan dan sedih melihat Pak Jokowi dan pemerintah seperti ngos-ngosan berjalan sendirian berusaha keras menelurkan berbagai kebijakan memerangi Covid 19. Tetapi di sisi lain ada oknum-oknum di lingkarannya berpolitik ndablek , tidak ada sense of crisis, dan terus memelihara manajemen konflik dan buying time untuk menciptakan tembok jarak presiden dengan tokoh agama dibanding menyatukan di antara mereka bersama, di tengah berpacunya waktu hadapi keganasan pandemi," kata Herry.
Dia mengingatkan kembali proses rekonsiliasi ketika tsunami menerjang Aceh pada 2004 silam.
"GAM yang berpuluh tahun bersenjata konflik dengan pemerintah dan sudah menimbulkan ribuan korban jiwa, toh, bisa duduk bersama demi menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang menimpa kedua belah pihak, tanpa rekonsiliasi mustahil penanganan pasca tsunami akan mudah dirasakan rakyat Aceh," katanya.
Apalagi, kata Herry, cuma rekonsiliasi konflik pascapilpres 2019 di tengah pandemi yang merenggut kesempatan hidup dan usaha jutaan orang.
"Wabah Covid-19 ini ujian Tuhan, yang tidak serta merta solusi sekadar vaksin, prokes, PPKM dll dikedepankan. Kata kuncinya ada di Pancasila, meminta tolong Tuhan dan gotong royong kerja sama seluruh elemen rakyat, " kata Herry.
Herry juga mengungkapkan perbincangannya dengan tokoh ulama dan ustaz-ustaz Nahdliyin di kampung-kampung di beberapa wilayah Jabar dan Jateng.
Herry memetakan ketokohan di kalangan warga Nahdliyin menjadi dua jenis. Pertama, ketokohan Nahdliyin struktural atau didasari posisi di organisasi Islam.
Kedua, ketokohan Nahdliyin kultural yang ribuan jumlahnya di kampung-kampung yang mengajar ngaji di pesantren, memimpin majelis, maulid dan ratib, dan menjadi tempat berkeluh kesah umat.
"Nah, pimpinan Nahdliyin kultural ini yang berpengaruh di desa-desa dengan basis khas pesantren mereka. Ketika sebagian para ulama, ajengan dan romo yai Nahdliyin kecewa dengan sikap politik pemerintah menuntut ulama yang mereka hormati hingga enam tahun untuk persoalan 'covid enggak covid', maka ulama dan kiai kultural akan cenderung pasif dalam mensosialisasikan program pemerintah menangani wabah covid di tingkat akar rumput," ungkapnya.
Bahkan luapan kekecewaan mereka terhadap pemerintah bukan lagi dilampiaskan demo teriak di jalan, tetapi memilih jalan hening di tengah malam mendengungkan ke langit zikir dan hizib berenergi keras seperti Wirid Sakran dan Hizb Nashr.
Sebuah doa yang biasa dibaca para ulama dalam perang era kemerdekaan memerangi musuh dan membentengi diri sendiri serta ulama di sekitar mereka dari ancaman kesemena-mena penjajah Belanda.
Bayangkan jika Tuhan lebih sering mendengar suara hizb dan zikir ribuan ulama, ajengan, dan santri meminta perlindungan dari kezaliman lebih bergema di langit tiap hari.
Dibanding jaranganya Tuhan mendengar suara doa dan permintaan tulus para ulama, ajengan ,romo yai agar kekuatan-Nya dan dukungan-Nya dicurahkan kepada pemerintah dalam memerangi pandemi.
"Ini ironi yang bikin merinding. Karena mereka menganggap corona bukan ancaman nyata yang sedang dihadapi sebagian tokoh Islam," kata Herry.
Herry menambahkan, kurangnya tokoh nasional yang masih disegani oleh ulama-ulama, santri dan akar rumput Nahdliyin di wilayah Jabar, Banten, Jateng, Sumatera, Sulawesi, dan Jatim.
Bahkan tokoh sekelas Ma'ruf Amin ataupun Prabowo Subianto sudah tidak lagi didengar di kalangan mayoritas romo yai, santri dan ajengan berbasis kultural. Akar rumput umat hanya mendengar ulama, ajengan, romo yai lingkungan setempat.
"Yang ada sebagian kelompok Islam, ulama dan kiai merasakan bahwa kelompok Islam makin termarginal ketika punya wapres dari kalangan ulama. Di sini perlu peran aktif Ma'ruf Amin mengembalikan kepercayaan para ulama kultural," kata Herry. (rhs/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti