Pengawasan di Indonesia Mengkhawatirkan

Senin, 16 April 2012 – 08:50 WIB

TREGEDI yang menimpa Morosini seharusnya tidak hanya menjadi perhatian insan sepak bola di Italia. Di Indonesia pun, hal itu seharusnya jadi pelajaran. Pengawasan terhadap kondisi kesehatan dan khususnya jantung pemain harus dilakukan secara ketat. Agar kasus meninggalnya Eri Irianto dan Jumadi Abdi pada 2000 dan 2009 tidak terulang lagi.

Di Indonesia, ada standar ganda dalam tes kesehatan pemain sepak bola. Untuk pemain asing, lazimnya klub memberlakukan cek kesehatan yang cukup mendetail. Mulai dari fungsi jantung, darah, urine, lever, ginjal, VO2 Max, hingga Kemudian, masih ada lagi tes MRI (magnetic resonance imaging) untuk mengetahui kondisi fisiknya. 

"MRI juga digunakan untuk identifikasi patah tulang dan kerusakan sendi. Kami lihat keadaan otot, ligamen, dan jaringan sekitar lutut. Biasanya yang bisa membacanya adalah dokter radiologi," kata dr. Heri Siswanto, dokter tim Persebaya, bulan lalu.

Namun, untuk pemain lokal, jarang dilakukan tes selengkap itu. Parahnya lagi, PSSI justru tidak punya standar yang jelas soal itu. Mereka malah memberikan kepercayaan kepada klub terkait standar tes kesehatan.

"Masalah tes kesehatan, tes fisik, maupun tes lainnya itu, menjadi kesadaran klub. Itu tanggung jawab klub," kata Saleh Ismail Mukadar, deputi sekjen PSSI bidang kompetisi, kepada Jawa Pos, kemarin.

Guru besar FK Unair Prof Dr dr Rochmad Romdoni SpPD SpJP(K) FIHA FASCC menyatakan bahwa pengecekan pada kondisi jantung olahragawan harus dilakukan dengan seksama. Tidak hanya pesepak bola, namun juga olahragawan pada cabang lain. "Di Belanda, semua olahragawan menjalani general chek up rutin. Plus, pemeriksaan CT Scan atau MRI untuk melihat apakah ada kelainan di otak, treadmill untuk mengetahui kondisi jantung," jelasnya.

Dokter Indra Tjahjono SpKFR, spesialis kedokteran fisik rehabilitasi RS Husada Utama Surabaya menambahkan perlu kiranya mengukur denyut nadi sebelum memulai olahraga. Tindakan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum pemanasan. Hasil dari pengukuran denyut nadi itu akan menjadi patokan, bolehkah kita berolahraga.

Untuk menghitung denyut nadi, Indra menunjukkan caranya. Yakni, 220 dikurangi usia. Hasil dari perhitungan tersebut, diambil 75 persennya. Itu adalah jumlah nadi maksimal dari masing-masing individu.

"Sebelum olahraga, hitung dulu jumlah nadi selama satu menit. Jika melebihi batas maksimal, sebaiknya tak memaksakan diri langsung olahraga," katanya. Lebih baik cooling down dulu. Jika tubuh sudah stabil, bisa melakukan pemanasan. (aam/ham/ai/ang)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Maung Takluk di Kandang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler