Pengesahan Revisi UU KPK Ugal-ugalan, Kacau

Rabu, 18 September 2019 – 23:26 WIB
Pegawai KPK menggelar aksi penutupan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (8/9). Aksi tersebut digelar sebagai bentuk penolakan terhadap revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Agil Oktaryal menyindir proses pengesahan Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau Revisi UU KPK. Menurut dia, proses pengesahan aturan tersebut dilakukan dengan serampangan.

Agil mengungkapkan hal itu saat menghadiri diskusi bertajuk "Jalan Inkonstitusional Revisi UU KPK" di Kantor Kode Inisiatif, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (18/9).

BACA JUGA: Revisi UU KPK tidak Membuat KPK Mati

"Makanya, secara prosedur, ini kacau, ugal-ugalan dan menurut saya adalah legalitas yang dilakukan oleh DPR dalam membentuk UU itu tidak memiliki legitimasi yang kuat dari warga negara atau masyarakat," kata Agil.

Dia pun menjelaskan alasan dirinya menyebut proses pengesahan Revisi UU KPK dilakukan dengan serampangan. Menurutnya, proses pengesahan Revisi UU KPK cacat formal.

BACA JUGA: PUSaKO: Pengesahan Revisi UU KPK Layak Dapat Rekor MURI

Revisi UU KPK itu, kata dia, tidak masuk dalam prioritas Prolegnas tahun 2019 di DPR. Hal itu tentu bertentangan dengan Pasal 45 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

"Revisi UU KPK ini tidak masuk ke dalam prioritas Prolegnas tahun 2019. Artinya UU KPK ini bertentangan dengan Pasal 45 UU 12 Tahun 2011. Perlu diketahui ketika UU itu mau diubah, itu seharusnya masuk kedalam Prolegnas," ungkap dia.

BACA JUGA: Revisi UU KPK Disahkan: Penyidikan Tiga Kasus Besar Terancam Dihentikan

Kemudian, lanjut dia, proses pengesahan Revisi UU KPK bertentangan dengan Pasal 88 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dalam pasal itu disebutkan, pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan, itu harus ada penyebar luasan yang dilakukan DPR.

Namun, Agil tidak melihat DPR melakukan hal itu. Bahkan, lembaga yang terdampak langsung dari Revisi UU KPK tidak pernah diajak membahas.

"UU KPK ini tidak disebarluaskan. Jangankan kami pegiat antikorupsi, lembaga KPK-nya saja sebagai objek yang akan diatur, tidak dilibatkan," terang dia.

Selanjutnya, ucap dia, Revisi UU KPK bertentangan dengan Pasal 96 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan partisipasi publik.

Menurut Agil, DPR selalu bilang tidak butuh masukan dari Revisi UU KPK. Ucapan tersebut tentang bertentangan dengan fakta bahwa peraturan perundang-undangan harus memiliki legitimasi di mata rakyat.

Bayangkan, ketika pembahasan, berkali-kali DPR bilang kami tidak butuh lagi masukan masyarakat. Karena kami memiliki legalitas. Jadi mereka membenturkan antara legalitas dengan legitimasi.

"UU yang baik, adalah UU yang mendapat legitimasi tinggi dari rakyat. Artinya UU memiliki legitimasi dan legalitasnya di implementasikan oleh DPR dalam bentuk pengesahan UU," timpal dia. (mg10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Revisi UU KPK   DPR RI   PSHK  

Terpopuler