JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin dinilai tak konsisten dalam menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012 tentang Pengetatan Remisi yang disebutnya tak berlaku surut, dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materiil Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Inkonsistensi Amir itu terlihat dalam penerapan Pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP yang secara tegas menyebut suatu putusan pengadilan yang tak memuat perintah penahanan tak bisa dieksekusi, namun faktanya meski tak ada perintah penahanan eksekusi tetap dijalankan.
Menurut pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis, mantan Menkum HAM Yusril Ihza Mahendra selaku pengacara Parlin Riduansyah telah meminta MK untuk mempertegas Pasal 197 (1) huruf k dan akhirnya keluar putusan tertanggal 22 November 2012. Namun, Kemenkum HAM justru menolak menjalankan putusan MK sekaligus menyebut berlaku surut.
Dengan kata lain meski ada putusan MK, pemerintah tetap menolak membebaskan napi yang telah dipenjara padahal amar putusannya tak menyebut perintah penahanan. Padahal, Ketua MK Akil Mochtar sempat mempertegas bahwa putusan lembaganya tidak berlaku surut.
Ketentuan itu jelas tertuang dalam UU MK Pasal 47 yang menyatakan putusan MK bersifat prospektif atau formward looking, bukan berlaku surut atau asas retroaktif. "Negara ini memang negara yang konsisten untuk tidak konsisten," sindir Margarito kepada wartawan Senin (15/7).
Sementara menurut pakar hukum Andi Hamzah, dari sisi kedudukan hukum, putusan MK lebih kuat dibanding PP. Dengan begitu, putusan MK yang harus dijalankan lebih dulu.
Jika masih saja tak dijalankan oleh pemerintah, Andi menyebut penerapan hukum di Indonesia sejak lama sudah salah kaprah. "Di luar negeri terkenal kacau (penerapan hukumnya), tak sesuai dengan standar hukum internasional," uangkap Andi. (pra/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penonton Nabire Cup 1.500 orang, Pengamanan Hanya 250 Personel
Redaktur : Tim Redaksi