jpnn.com, JAKARTA - Persoalan hak kepemilikan Hutan Adat Pubabu atau yang lebih populer disebut Lahan Besi Pae, antara Masyarakat Pubabe pemegang Hak Ulayat dengan Pemerintah Provinsi NTT, secara hukum berada dalam ruang lingkup hubungan hukum keperdataan antara dua subjek hukum yaitu Pemprov NTT dan Masyarakat Adat Besi Pae.
Oleh karena itu, meskipun Pemprov NTT sebagai Badan Hukum Publik, ia tidak boleh menggunakan wewenang Badan Hukum Publik ketika hendak bertindak dalam ruang lingkup keperdataan yaitu soal klaim pemilikan atas tanah Hak Ulayat Besi Pae. Tidak boleh mencampuradukkan wewenang Badan Hukum Publik dalam ruang lingkup keperdataan yaitu sebagai para pihak yang sedang bersengketa.
BACA JUGA: Petrus: Perlu Atensi Kabareskrim Terhadap Kasus Mumtaz Rais
“Penggunaan Satpol PP dan aparat TNI dan Polri dengan pendekatan berdasarkan wewenang Badan Hukum Publik untuk mengusir, mengintimidasi, mengosongkan secara paksa dengan bunyi-bunyi tembakan senjata di hadapan warga Besi Pae, tidak dibenarkan oleh hukum bahkan sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan, bukan saja oleh Pemprov NTT akan tetapi juga oleh TNI dan Polri,” tegas Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) sekaligus Advokat Peradi dalam keterangan persnya di Jakarta, Sabtu (22/8).
Pemprov NTT Subjek Hukum Perdata
BACA JUGA: Selamatkan Indonesia Dalam Agenda KAMI Adalah Melengserkan Presiden Jokowi
Menurut Petrus, Pemprov NTT seharusnya menyadari bahwa ketika pihaknya hendak bertindak dalam mempertahankan hak-haknya atas tanah, maka seketika itu ia menjadi "Subjek" Hukum Perdata yang tunduk kepada Hukum Perdata. Karena klaim ‘Hak’ atas tanah Besi Pae oleh Pemprov NTT diperoleh berdasarkan mekanisme Perdata, karenanya klaim untuk mendapatkan kembali haknya pun harus tunduk kepada mekanisme Hukum Acara Perdata.
Dalam bertindak mempertahankan hak-haknya atas tanah Besi Pae, menurut Petrus, Pemprov NTT tidak punya pilihan lain selain harus tunduk pada mekanisme Hukum Keperdataan. Karena kedudukan Pemprov NTT sebagai Subjek Hukum Perdata, yang prosedur dan syarat-syarat mempertahankan hak-hak keperdataannya berlaku sama dengan hak-hak keperdataan warga Besi Pae, yaitu melakukan Gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri atau melaporkan kepada Polisi bukan mengerahkan Polri-TNI untuk mengusir warga.
BACA JUGA: Gandeng BRSDM KKP, Ansy Lema Gelar Pelatihan Diversifikasi Olahan Ikan di NTT
“Nyatanya, Pemprov NTT sekonyong-konyong menggunakan cara-cara menyimpang dari hukum, mengabaikan hak-hak hukum warga Besi Pae, menggunakan kekerasan untuk menggusur warga dari penguasaan, pemilikan, pengelolaan lahan yang sejak awal sudah melahirkan sengketa pemilikan, di mana warga Besi Pae secara terbuka menolak upaya Pemprov NTT mengambil paksa lahan Besi Pae yang melekat Hak Ulayat warga Besi Pae,” kata Petrus.
Peran Akomodasi Forkopimda
Meski akhirnya Pemprov NTT dan Warga Besi Pae, berdamai secara musyawarah, namun langkah Pemprov NTT menggunakan upaya paksa dengan menggunakan kekuatan pendukung aparat TNI-Polri, tidak dapat dibenarkan. Bahkan merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasan, memporakporandakan bangunan milik warga dan harta benda yang seadanya.
Menurut Petrus, Pemprov NTT harus membudayakan pendekatan secara adat dalam sengketa perdata antara Warga Masyarakat dengan Pemprov NTT, sebagai wujud sikap hormat terhadap kesatuan Hukum Adat setempat. Karena dalam pandangan konstitusi pun ditegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan hukum masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya, yaitu identitas budaya dan hak masyarakat tradisional.
“Tragedi Besi Pae, harus menjadi peristiwa pertama dan terakhir di NTT karena pada dasarnya posisi pemerintah adalah melindungi seluruh warganya, melindungi, mengakui, menghormati hak-hak tradisionalnya sebagai bagian dari pendidikan politik yang baik, menunjukan sikap dan tindakan di mata warganya sebagai sikap tetap menjujung tinggi hukum, HAM dan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” ujar Petrus Selestinus.(fri/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Friederich