Pulau Rottnest Island dilepas pantai Fremantle, Australia Barat, saat ini merupakan tujuan wisata populer. Namun tak banyak yang tahu bahwa pulau ini memiliki sejarah kelam sebagai penjara bagi penduduk asli (aborigin) Australia.
Glen Stasiuk, seorang dosen dan peneliti pada Murdoch University, pernah ke sana untuk berkemah bersama teman-temannya di tahun 1980-an.
BACA JUGA: Bagaimana Urutan Kelahiran Mempengaruhi Kepribadian Kita
Saat itu dia menyelam dan entah kenapa jatuh sakit sehingga harus diterbangkan kembali ke daratan Australia. Setahun kemudian dia kembali ke sana dan lagi-lagi jatuh sakit. Ibunya kemudian memberitahu mungkin sudah waktunya Glen menemui dan bicara dengan neneknya dari suku Noongar (suku aborigin yang mendiami wilayah itu - red).
"Ini worra," kata sang ibu merujuk penyebutan dalam bahasa setempat. "Ini worra, menditj. Itu tempat yang sakit."
BACA JUGA: Eksport Susu Segar dengan Angkutan Udara ke China
Glen Stasiuk telah berkemah di Tentland. Selama bertahun-tahun, Tentland adalah tempat perkemahan di Pulau Rottnest; tempat dimana keluarga dan para remaja memasang tenda mereka, minum-minum, dan menikmati sosis dengan melakukan barbeque.
Apa yang tak diketahui orang adalah bahwa mereka berkemah di kuburan tanpa nisan bagi sekitar 373 orang pria Aborigin. Ini merupakan kematian terbesar di tahanan yang pernah terjadi di Australia dan merupakan tanah pekuburan terbesar orang Aborigin yang pernah diketahui.
BACA JUGA: Komedian Sakdiyah Maruf Akan Tampil di Sydney
"Lihat di sana tempat yang ada bendera Aboriginnya?" ujar Dr Stasiuk sembari menunjuk saat kami menyusuri lokasi pekuburan itu.
"Di situlah pertama kali ditemukan sisa-sisa kerangka pertama pada tahun 1971. Saya rasa di situ pula saya pasang kemah waktu itu," ujarnya. Para tahanan aborigin di lapangan penjara Rottnest Island Prison di tahun 1883.
State Library of Western Australia, 6968B
Para tahanan yang dimakamkan di sini merupakan sebagian dari hampir 4 ribu pria dewasa dan anak-anak Aborigin dari berbagai wilayah di Australia Barat yang dipenjarakan di Rottnest Island antara tahun 1838 hingga 1931.
Ketika pendatang kulit putih tiba dengan kapal sampai ke daerah Derbarl Yerrigan, atau Swan River, pada Juni 1829, warga Whadjuk dari suku Noongar menganggap orang kulit sebagai nenek moyang orang Aborigin yang muncul dari dunia roh untuk melindungi mereka.
"Mereka pikir orang kulit itu hidup di bawah laut hingga kulitnya diputihkan," kata Dr Noel Nannup, dari Edith Cowan University.
Tapi para pendatang itu ternyata tetap tinggal. Seruan disebarkan mulai dari daerah Fremantle ke Upper Swan: "Worra! Kumpulkan keluargamu dan pergilah dari marabahaya."
Dampak tinggalnya pendatang kulit putih pada masyarakat lokal itu segera tampak.
"Tiba-tiba bermunculan pagar, warga setempat diusir dari tanah mereka dan kami pun terpinggirkan," kata Karen Jacobs, seorang wanita Noongar dan mantan anggota Dewan Pulau Rottnest.
"Kemudian mereka mulai memberlakukan hukum yang menghakimi kami, padahal kita sudah punya struktur pemerintahan sendiri selama ribuan tahun lamanya," jelasnya.
"Mereka membuka lahan dan memblokir air yang mengalir melalui kota. Ini berarti semua tanaman obat, vegetasi dan hewan tradisional semuanya punah. Semua daerah perburuan kami hilang hanya dalam waktu tiga tahun sejak mereka menetap," tambah Jacobs.
Dengan berkurangnya pasokan makanan secara cepat, kaum pria Noongar mulai memburu binatang apa saja yang mereka melihat - domba, ayam, sapi - tanpa memahami hukum orang kulit putih bahwa hewan bisa menjadi hak milik. Bagi mereka, hewan merupakan milik alam.
Konsekuensi dari kesalahpahaman ini sangat buruk. Orang Aborigin pun mulai ditangkap karena pencurian, karena masuk tanpa izin, dan tak butuh waktu lama penjara pun penuh.
Pihak berwenang menyadari bahwa para tahanan Aborigin itu tertekan dan depresi. Dalam budaya Aborigin tak dikenal sistem penjara. Karena masalahnya semakin serius, diputuskanlah pembuatan penjara bagi orang Aborigin di Rottnest Island. Para tahanan aborigin yang dirantai
State Library of Western Australia 4497B/1
Ide awalnya sebenarnya agak mulia: para tahanan bisa bebas bergerak dan menghabiskan waktu mereka berburu makanan. Dan hal itu benar-benar terjadi hingga derajat tertentu, selama bertahun-tahun.
Kapal pengangkut tahanan pertama tiba di Wadjemup pada Juli 1838, dengan membawa enam tahanan. Belum ada bangunan penjara; para tahanan harus mengumpulkan bahan dan membangunnya. Mereka tidur di gua besar yang ada pesisir pantai.
Beberapa bulan pertama, mereka berkebun dan membersihkan semak-semak serta diizinkan berburu makanan di sore hari. Tapi kondisi memburuk ketika Henry Vincent memulai menjalankan tugasnya sebagai pengawas tahanan.
Penambangan batu kapur dilakukan dan pembangunan penjara pun mulai. Vincent dengan sangat mudahnya menggunakan cambuknya. Para tahanan bekerja keras di bawah terik panas matahari, dengan pakaian seadanya lalu dirantai bersama-sama pada malam hari.
"Henry Vincent sangat kejam. Dia menghajar tahanan, menendang mereka," kata Dr Stasiuk, penulis dan direktur Wadjemup: Rottnest Island as a Black Prison and White Playground.
"Ada bukti bahwa dia memiliki penjepit dan dia cabuti jenggot tahanan dengan itu. Di saat lainnya, dia aniaya seorang tahanan sampai mati dengan menggunakan satu set kunci," jelasnya.
"Dia gantung tahanan yang dijatuhi hukuman mati di depan para pria yang hendak kembali ke daratan, sebagai peringatan bahwa jika mereka melanggar hukum, hal ini juga yang bisa terjadi mereka," kata Dr Stasiuk.
"Dia tak segan-segan menembak tahanan jika mereka tidak menuruti apa perintah. Dia merantai mereka di malam hari dengan sistem tiang panjang. Itu merupakan siksaan luar biasa," katanya.
Nama Vincent masih diabadikan untuk sebuah cottage dan nama jalan, dan sebuah tanda peringatan untuk menghormatinya. "Para tahanan meninggal di bawah pengawasannya dan dia tetap diperingati. Namun para tahanan Aborigin ini justru tidak," kata Dr Stasiuk. SS Zephyr, trem, serta mobil di Natural Jetty, Rottnest Island tahun 1922, diabadikan oleh fotografer Izzy Orloff.
Supplied: State Library of WA
Ketika kondisi semakin suram di Penjara Rottnest Island, hal serupa pun dialami orang Aborigin di daratan. Seiring dengan meluasnya wilayah jajahan kolonial ke bagian utara dan timur dari Kota Perth ke seluruh Australia Barat, maka kian banyak pula pria Aborigin baik dewasa maupun anak-anak yang dibuang ke Wadjemup.
"Seiring meluasnya penjajahan ke daerah Kimberley, situasi pun semakin kacau," kata Dr Stasiuk.
"Semakin ke wilayah terpencil, orang semkain bisa seenaknya sehingga terjadi pemukulan, pembunuhan, penembakan, orang-orang yang ditangkap dengan tuduhan palsu," ujarnya.
"Tidak bisa diragukan lagi tujuan yang bisa dicapai. Yaitu mengukuhkan apa yang terjadi di selatan di Noongar dimana terjadi Pembantaian Pinjarra. Yang terjadi di Midgegooroo dan di Yagan merupakan salah satu cara memisahkan dan membuang pria Aborigin dari kampung mereka dan menghancurkan benteng perlawanan terakhir mereka," jelasnya.
Para pria dan anak laki-laki ditangkap, sering dengan tuduhan mengada-ada, dirantai bersama-sama di leher, tangan dan kaki mereka dan digiring ke kantor polisi terdekat. Salah satu kasus terburuk melibatkan 40 pria dan wanita yang dirantai dengan cara begitu di daerah Bidyadanga dan dipaksa berjalan kaki 700 kilometer ke Roebourne di selatan.
Mereka menghadapi sistem hukum yang tak mereka pahami, sering tanpa pembelaan, kemudian dikirim kapal ke Fremantle. Para pria dari pedalaman ketakutan dengan laut, wilayah air yang benar-benar asing bagi mereka.
Di tahun 1880 lebih banyak lagi pria yang tiba di Pulau Rottnest dibandingkan sebelumnya dan kondisinya pun paling buruk. Jumlahnya sangat padat dan penyakit mudah merebak. Sel tahanan kecil dihuni sampai 10 orang. Tak ada toilet, tidak ada tempat tidur dan lantai basah terbuat dari tanah.
Sel tahanan itu kotor dan dingin di musim dingin. Penyakit menyebar cepat - sebagian besar campak dan influenza - setidaknya 60 meninggal di satu musim dingin.
"Tahanan tiba di pulau itu dari Fremantle dan mereka melakukan kontak dengan orang Eropa yang memiliki penyakit pilek, flu dan disentri serta penyakit lainnya yang belum pernah diderita orang Aborigin," kata Profesor Len Collard dari School of Indigenous Studies University of Western Australia.
"Bisa dibayangkan para tahanan datang masuk ke sel, batuk dan bersin, dan tiba-tiba dia memuntahi semua tahanan lainnya. Dia tidak bisa tahan isi perutnya karena menderita disentri. Mereka berada di sel 6 kali 10 persegi ini: Anda mau kemana? " ujarnya. Jendela cottage Rottnest. Jendela di cottage berbeda-beda.
720 ABC Perth: Emma Wynne
Lebih dari seratus tahun kemudian, seorang teman saya tinggal di penginapan kelas atas di pulau itu, yaitu The Rottnest Lodge. Dia terbangun ketakutan dari mimpi buruknya dimana dia melihat darah mengucur di dinding. Ternyata ruang tidurnya bekas sel terkenal di Rottnest Island Prison Quod.
"Banyak orang yang tidak menyadari apa yang mereka sewa," kata Profesor Len Collard. "Apakah pihak berwenang, pemerintah negara bagian, otorita Rottnest Island, punya tanggung jawab moral dan etika untuk memberitahu masyarakat mengenai apa yang mereka sewa? Atau tidak?"
Di sekitar situ sebuah rumah sakit tua yang diubah jadi kamar mayat. Sekarang digunakan sebagai dapur untuk staf yang tinggal di pulau itu. Apakah staf tahu kengerian yang terjadi di situ masih diragukan.
Inilah keanehan besar pulau itu - keindahannya yang penuh kejutan, keterlenaan yang timbul begitu anda menyaksikan perairan dengan kemilau pasir putih serta sejarah kelam yang tak terungkap.
Misalnya Tentland. Bagaimana bisa kematian terbesar para tahanan dalam penjara, pekuburan Aborigin terbesar di Australia, bisa dibuka jadi tempat berkemah? Bagaimana bisa butuh lebih dari 20 tahun dan beberapa penemuan kerangka sebelum tempat itu ditutup tahun 1993?
Australia belum melakukan hal yang baik dalam memperingati dan mengakui trauma masa lalunya, tapi Rottnest Island jelas merupakan contoh terbaik dalam upaya melupakan.
Perubahan memang sedang terjadi. Tanah pekuburan itu belum lama ini mengalami transformasi, dengan jalan taman yang menandai perimeter dan tanda-tanda pun dipasang. Saat ini pulau Rottnest Island merupakan tujuan wisata populer di Australia Barat.
Flickr.com: FInn Propper (CC-BY-NC-SA-2.0)
Saat ini semua perhatian tertuju pada Quod, yang akan dikembalikan ke pemerintah negara bagian Australia Baray pada Mei 2018 ketika sewanya berakhir. Banyak yang berharap ini dijadikan pusat peringatan, tempat untuk penyembuhan dari trauma masa silam. Kapan hal terjadi dan siapa yang akan mendanainya masih belum jelas.
"Di seluruh dunia juga ada - Hiroshima, Auschwitz, 11/9 Ground Zero, Port Arthur - untuk mengakui yang terjadi di masa lalu memang mengerikan. Jangan menyangkalinya. Renungkan dan ambil hikmahnya untuk ke depannya," kata Dr Stasiuk.
"Hal ini terwujud, namun butuh waktu yang sangat lama. Terlalu lama. Saya 44 tahun sekarang dan ini sudah dibahas ketika saya masih remaja," katanya.
"Saya tak mau anak-anak saya membawa anak mereka ke Wadjemup tetap dengan cerita yang sama ini tanpa kesimpulan atau hasil. Saya tidak ingin hal ini berlanjut ke generasi berikutnya," katanya.
Trauma masa-masa awal negara bagian itu masih teringat jelas di kalangan penduduk Aborigin Australia Barat. Dan marginalisasi terus terjadi.
"Kita harus disembuhkan. Begitu banyak keluarga yang terkena dampaknya" kata Dr Nannup.
"Saya temukan lima keluarga ibuku dimakamkan di sana dan dua orang dari pihak ayah saya. Apa yang harus saya katakan pada cucuku? Ini merupakan tempat yang seperti medan perang dan masyarakat tidak mengetahuinya. Kami coba beritahu anak-anak kami agar tetap mengingatnya tapi tak seorang pun bahkan mengakuinya," tutur dia.
"Sampai hari ini kami dipandang sebagai sampah masyarakat. Orang tetap dijebloskan ke penjara gara-gara tidak membayar denda lalu-lintas," ujarnya.
"Mereka bahkan kehilangan nyawa di dalam penjara - hanya gara-gara tidak membayar denda lalu-lintas. Saya mohon - ini mengerikan. Ini perjuangan. Perjuangan tanpa henti," katanya.
Diterbitkan Pukul 12: 00 AEST 27 Oktober 2016 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.
Lihat Artikelnya di Australia Plus
BACA ARTIKEL LAINNYA... Daging Beku Murah Asal India Geser Daging Sapi Australia di Indonesia