Penjelasan Menag Terkait Isu RUU Cipta Kerja Bahayakan Ulama dan Pesantren

Senin, 31 Agustus 2020 – 16:32 WIB
Menteri Agama Fachrul Razi.Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi memastikan penyelenggaraan pesantren diatur oleh UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren.

Sehingga, masalah pendirian pesantren merujuk pada UU tersebut dan tidak ada aturan tentang sanksi pidana di dalamnya.

BACA JUGA: Dana Bantuan Pesantren Cair, Menag Ajak Santri Doakan Bangsa

"Pemerintah punya UU tersendiri yang mengatur pesantren. Tidak ada sanksi pidana," kata Menag Fachrul di Jakarta, Senin (31/8).

Pernyataan Fachrul ini untuk meluruskan informasi yang viral di media sosial bahwa RUU Cipta Kerja mengancam eksistensi pesantren. Juga membuka peluang pemidanaan ulama dan atau kiai pengasuh pondok tradisional.

BACA JUGA: Penjelasan Terbaru Wakil Ketua DPR Terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Pandangan itu didasarkan pada rencana perubahan pasal 62 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang mencabut kewenangan perizinan dari Pemerintah Daerah. 

Dalam Pasal 62 RUU Cipta Kerja disebutkan, penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

BACA JUGA: Akademisi UI Menguraikan Dampak Positif RUU Cipta Kerja

Adapun Pasal 71 mengatur bahwa penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin, bisa dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

"UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren adalah UU lex specialis. Sehingga berlaku kaidah Lex specialis derogat legi generali, yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum," lanjut Menag.

Terkait pendirian, Fachrul menjelaskan, pada Pasal 6 UU 18/2019 mengatur bahwa pesantren didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat.

Pendirian Pondok Pesantren wajib berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil 'alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika. 

Pesantren juga harus memenuhi unsur-unsurnya, yaitu Kiai, Santri yang bermukim di pesantren, pondok atau asrama, masjid atau musala, dan kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiyah dengan Pola Pendidikan Muallimin.

"Jika persyaratan itu sudah terpenuhi, maka pesantren memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili Pesantren. Selanjutnya, penyelenggara mendaftarkan keberadaan pesantren kepada menteri," jelasnya.

Jika semua syarat terpenuhi, Menteri Agama memberikan izin terdaftar dalam bentuk Surat Keterangan Terdaftar atau SKT.

Meski izin dikeluarkan Menag, proses pengajuan pendaftaran tidak harus langsung ke Kemenag pusat di Jakarta, melainkan dilakukan berjenjang melalui Kanwil Kemenag Provinsi. 

"Proses pengajuan izin pesantren melalui Kanwil Kemenag akan diatur dalam Peraturan Menteri Agama yang saat ini tengah difinalisasi," ujar Menag.

Yang terpenting, lanjutnya, RPMA tidak mengatur sanksi pidana. Hanya, bagi pesantren yang menyalahi komitmen pendiriannya, sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU Pesantren, akan dicabut SKTnya.

Menag menambahkan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal dan/atau nonformal. Pendidikan formal pesantren berbentuk Pendidikan Muadalah/Diniyah Formal Ula; Pendidikan Muadalah/Diniyah Formal Wustha; Pendidikan Muadalah/Diniyyah Formal Ulya. Adapun pendidikan nonformal di pesantren berbentuk pengkajian Kitab Kuning.

Berdasarkan data Ditjen Pendidikan Islam, saat ini ada 28.134 yang terdaftar di Kementerian Agama. (esy/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler