Penyandang Disabilitas Bersuara, Minta Hak Politik tak Dibatasi, Pendidikan Dibenahi

Kamis, 25 Juni 2015 – 01:29 WIB
Penyandang Disabilitas Bersuara, Minta Hak Politik tak Dibatasi, Pendidikan Dibenahi. Tampak penyandang cacat di Kafe Solidaritas yang dihelat Partai Sosialis Indonesia (PSI) di Pondok Indah Mall Jakarta, Rabu (24/6).

jpnn.com - JPNN.com JAKARTA - Pegiat disabilitas, Jonna Damanik mengatakan penyandang cacat masih mendapat perlakuan diskriminatif. Tidak hanya oleh negara, tapi juga mereka yang secara spesisifik memiliki fisik yang normal.

"Sayangnya, sistem yang ada saat ini cenderung mendiskriminasikan disabilitas. Lihat saja, dalam praktik demokrasi melalui pemilu, disabilitas dieksklusifkan dari sistem politik," kata Jonna yang juga penyandang tuna netra pada acara Kafe Solidaritas yang dihelat Partai Sosialis Indonesia (PSI) di Pondok Indah Mall Jakarta, Rabu (24/6).

BACA JUGA: Panggil Kapolri, Jokowi Tanya Kasus Kondensat PT TPPI

Ketidaksempurnaan para penyandang cacat tidak menghalangi mengekspresikan kegembiraannya hadir dan menyuarakan keinginan untuk berpartisipasi secara luas dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa, termasuk dimensi politik.

Jonna menjelaskan perlakuan diskriminatif itu terlihat dari kesempatan hak untuk dipilih dalam jabatan-jabatan politik mempersyaratkan sehat jasmani dan rohani, dan disabilitas dianggap tidak memenuhi syarat tersebut.

BACA JUGA: Sakit, Syamsul Arifin Bebas

Pengalaman ini juga pernah menimpa Bapak Bangsa sekaliber Gus Dur yang pernah ditolak maju kembali dalam kancah Pilpres dengan alasan yang sama.

"Tidak usah dulu bicara hak dipilih, bahkan dalam hak memilih pun penyelenggara pemilu tidak berpihak pada disabilitas. Tidak ada template khusus, bilik suara yang terlalu kecil bagi pengguna kursi roda,” katanya.

BACA JUGA: Jonan Yakin Bakal Terbebas dari Reshuffle, Ini Alasannya

Diungkapkan Jonna, populasi penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 10 persen atau sekitar 25 juta, jumlah yang tidak sedikit secara demografis. Dari sudut apapun, angka tersebut mestinya cukup menggiurkan jika bisa menjadi kelompok kepentingan yang strategis.

Persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas ini sebetulnya adalah masalah hak-hak dasar yang tidak dipenuhi Negara. Karenanya, Jonna bersama kalangan pegiat disabilitas lainnya sedang memperjuangkan RUU Disabilitas agar masuk dalam Prolegnas 2015.

"Sebetulnya sudah banyak peraturan baik di tingkat undang-undang atau di bawahnya yang mengatur hak-hak disabilitas, tetapi implementasinya hanya berhenti “sekadar ada fasilitasnya”," katanya.

Jonna mencontohkan guiding block di trotoar pedestrian Jalan Sudirman, Jakarta Pusat yang disediakan oleh pemerintah. Tetapi tidak jarang jalur tersebut terhalang oleh tiang listrik, yang tentu saja menyulitkan bagi aksesibilitas penyandang tuna netra.

Ketika Jonna bicara mengenai perlakukan diskriminatif, Pendiri sekaligus CEO Thisable Enterprise, Angkie Yudistia membahas masalah persoalan mentalitas ketidakpercayaan diri di kalangan disabilitas sendiri. Pengalaman itu diutarakan saat menghadapi kenyataan dirinya kehilangan kemampuan pendengaran.

Menurutnya, salah satu cara untuk mengatasi masalah mentalitas yang dialami disabilitas adalah pendidikan inklusi. Cara itu kata dia menjadi jawaban untuk mengatasi kondisi kejiwaan yang dirasakan adanya pembedaan antara disabilitas dengan masyarakat normal pada umumnya.

Angkie berharap pemerintah melalui Kementerian Pendidikan bisa mengakomodasi aspirasi kalangan disabilitas.

“Pendidikan adalah kunci untuk menggapai mimpi masa depan,” ungkap Angkie.

Melalui pendidikanlah kata dia generasi muda disabilitas bisa bangkit dan berkontribusi bagi masa depan bangsa. (awa/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendag Harus Antisipasi Harga Sembako saat Akhir Ramadan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler