Penyebab Pembangunan Infrastruktur Gas Masih Mandek

Selasa, 05 November 2019 – 08:08 WIB
Ilustrasi pipa. Foto: Radar Tulungagung/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pembatalan rencana kenaikan harga gas industri oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dinilai merugikan inevstor di pasar modal. Pasalnya, ruang ekspansi bagi perusahaan pelat merah ini melakukan korporasi juga semakin terbatas. Sementara harga gas industri tidak pernah mengalami kenaikan sejak 2013.

Kepala Riset PT Koneksi Kapital Marolop Alfred Nainggolan menilai, pembatalan atas rencana PGN tersebut meningkatkan ketidakpastian investasi di pengembangan infrastruktur gas nasional. Padahal sebagai sub-holding gas, PGN memiliki tanggung jawab untuk terus membangun infrastruktur gas bumi guna memperluas jangkauan pasar.

BACA JUGA: Pengamat: Pembangunan Infrastruktur Gas Harus Diprioritaskan

"PGN bisnis-nya capital intensive pembangunan infrastruktur gas, artinya perlu pendanaan besar. Kalau terus mengandalkan liabilitas saja tentu tidak sehat. Perlu diimbangi ekuitas yaitu laba (retained earning). Beban produksi, usaha dan bahkan beban keuangan mengalami kenaikan tiap tahun, kalau tidak ada penyesuaiaan dengan menaikan harga jual nggak sehat. Bagaimana bisa tumbuh cepat, kalau kesempatan untuk tumbuh dibatasi,” kata Marolop dalam siaran tertulisnya, Selasa (5/11).

Menurut Marolop, kenaikan harga gas seharusnya tidak sampai menganggu kinerja sektor industri. Selain kenaikan harganya tidak terlalu besar, para pelaku usaha mestinya telah mengantisipasi potensi kenaikan harga energi. “Toh dibandingkan dengan sumber energi lain seperti BBM, harga gas bumi jauh lebih efisien,” ucapnya.

BACA JUGA: Kadin Diminta Bijak Menanggapi Kenaikan Harga Gas Industri

Harga gas industri di Indonesia berkisar antara USD 10 - USD 11 per MMBTU. Harga gas industri di Indonesia juga jauh lebih rendah dibandingkan Vietnam dan China yang industrinya sedang tumbuh pesat. Bahkan dibandingkan harga gas rumah tangga yang berkisar Rp 6000 per m3, harga gas industri hanya Rp 4000 per m3.

Harga gas bumi ke pelanggan industri yang tidak mencapai tingkat keekonomian ini pada akhirnya berujung pada kinerja PGN. Pasalnya mayoritas pengguna gas PGN adalah oleh sektor industri. Sampai kuartal III 2019, laba bersih PGN mengalami koreksi 47,1 persen menjadi USD 129,1 juta dibanding periode yang sama 2018 sebesar USD 244,3 juta. Pekan lalu, saham PGN di Bursa Efek Indonesia tergerus 20,9 persen ke level Rp 1.850 per saham.

"Intervensi pemerintah terhadap rencana kenaikan harga gas oleh PGN ini juga menimbulkan dampak negatif terhadap kepastian investasi. Seharusnya regulator juga dapat berlaku adil, apalagi banyak investor yang berinvestasi PGN akibat tekanan Kadin ini jadi merugi," ujar Marolop.

Ekonom Defiyan Cori menilai, tekanan Kadin terhadap pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga gas industri menunjukkan bahwa sektor manufaktur Indonesia lemah dan belum efisien. Mestinya, kenaikan harga energi seperti ini sudah menjadi bagian dari mitigasi risiko bisnis, sehingga telah diantisipasi sejak awal.

"Dengan menekan pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga gas, Kadin telah bertindak sewenang-wenang. Badan usaha seperti PGN juga punya hak untuk mengelola bisnisnya, toh PGN punya tanggungjawab untuk memperluas pemanfaatan gas bumi di Indonesia," ujar Defiyan.

Lebih jauh Defiyan juga menyoroti sikap pemerintah yang cenderung merugikan pelaku hilir migas. Karena kenaikan harga gas industri ini sejatinya berawal dari harga gas di hulu yang sudah tinggi. "Selain ada banyak biaya, seperti biaya perawatan pipa, biaya toll fee, badan usaha juga harus untung agar dapat membiayai pembangunan infrastruktur gas lainnya yang butuh modal besar. Ini yang diabaikan oleh Kadin," pungkasnya.


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler