Penyelidikan Kasus Penerimaan Suap Rp50 Miliar Tertutup

Rabu, 19 September 2012 – 11:45 WIB
JAKARTA - Dewan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua, membantah kasus penyelidik KPK yang diduga menerima uang dari pejabat di Sulawesi Utara (Sulut) ditutup-tutupi. Menurutnya hal itu sedang diselidiki oleh internal KPK.

Dia juga mengklarifikasi pegawai KPK yang dikembalikan ke institusi asalnya, yakni BPKP itu adalah penyelidik di KPK, bukan penyidik seperti pemberitaan yang berkembang. "Pegawai yang dikembalikan, bukan penyidik tapi penyelidik," kata Abdullah Hehamahua, menjawab JPNN.

Menurutnya, penyelidik tersebut sudah dihukum karena pelanggaran kode etik, bukan karena menerima uang. Kendati demikian, pihaknya membenarkan adanya dugaan oknum penyelidik tersebut melakukan tindak pidana (suap) yang kebenaran sedang diselidiki oleh internal KPK.

"Dugaan terjadi tindak pidana (suap) oleh yang bersangkutan masih dalam proses penyelidikan sehingga bersifat tertutup, jada bukan ditutup-tutupi," jelas Abdullah.

Dia menjanjikan jika penyelidikan telah selesai dan statusnya ditingkatkan ke penyidikan, hasilnya akan disampaikan kepada publik. "Kalau sudah status penyidikan baru dipublikasikan kepada publik," pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, seorang sumber JPNN menceritakan, dirinya pernah berbincang dengan salah seorang tokoh pemuda asal Sulut, yang mengaku pernah menyerahkan uang sebesar Rp50 miliar ke salah seorang penyidik KPK di sebuah hotel di Jakarta.

"Bahkan dia cerita detil, uang dibawa dengan menggunakan ransel hitam. Dia cerita, uang diserahkan langsung ke salah seorang penyidik," ujar sumber JPNN itu, Selasa (18/9).

Hanya saja, dengan alasan tidak mau terlibat jauh dalam urusan ini, sumber JPNN itu meminta agar nama tokoh yang terkait korupsi dan menyerahkan uang lewat suruhannya ke penyidik KPK itu, tidak ditulis. Padahal, menurutnya, orang yang disuruh menyerahkan uang tersebut menyebutkan siapa orang yang menyuruhnya.

Sumber JPNN juga menyebutkan, berdasarkan cerita orang yang disuruh itu, uang diserahkan untuk dibagi-bagi ke sejumlah pihak. "Tujuannya untuk mengatur siapa hakim yang menyidangkan perkara itu. Karena katanya ada hakim keras ada yang lembek. Harapannya hukumannya ringan. Orang itu cerita, memang ada mafia di KPK," cetusnya.

Bahkan, orang tersebut, menurut sumber JPNN itu, pernah ada peristiwa seorang penyidik KPK yang telanjur menerima uang suap, disandera oleh pihak pemberi, minta agar uangnya dikembalikan. "Tapi yang ini dia tak cerita itu kasus mana," ujarnya.

Sekedar catatan, pada 10 Mei 2011, majelis hakim pengadilan tipikor yang dipimpin Jupriadi menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Walikota Tomohon, Sulawesi Utara non aktif Jefferson Soleiman Montesqiue Rumajar selama sembilan tahun penjara. Terdakwa juga didenda Rp200 juta subsidair dua bulan kurungan. Vonis ini lebih ringan empat tahun dari tuntutan jaksa sebelumnya yang meminta agar terdakwa dihukum 13 tahun.

Selain pidana penjara dan denda, terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp31 miliar. Angka ini diambil dari kerugian negara Rp33,7 miliar dikurangi dengan uang terdakwa yang telah disita penyidik dan dikembalikan ke BPK sebesar Rp2,7 miliar.

Menurut Hakim Anwar, selaku Wali Kota, terdakwa telah mengeluarkan surat keputusan kepada Frans A Sambow selaku Bendahara Umum Daerah (BUD) untuk menandatangani pencairan cek serta memerintahkan Yan Lamba untuk membayarkan tagihan karangan bunga dan tiket perjalanan selama tahun 2006, 2007 dan 2008. Total kerugian negara mencapai Rp33,7 miliar.

Modus korupsi yang dilakukan terdakwa Jefferson, menurut hakim, dengan cara memerintahkan anak buahnya agar mencairkan kas daerah dan menggunakan anggaran bantuan sosial Pemkot Tomohon untuk kepentingan pribadi.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Dukung Wacana Koruptor Dihukum Mati

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler