Wacana people power untuk tanggapi hasil Pemilu Indonesia 2019 santer terdengar sejak dilontarkan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional, Amien Rais, akhir Maret lalu. Ancaman menduduki Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga beredar di tengah tuduhan kecurangan Pemilu. Poin utama: Aksi people power terkait tuduhan kecurangan Pemilu pertama kali dilontarkan Amien Rais Warga Jakarta tanggapi beragam rencana demo besar-besaran 22 Mei Polisi benarkan ada indikasi tindakan anarkis dalam rencana demo protes hasil Pemilu
BACA JUGA: Jokowi Ajak Masyarakat Dewasa, Prabowo Gugat Hasil Pemilu Ke MK
Dalam acara Apel Siaga Umat 313 di Jakarta Pusat, Amien Rais sempat mengancam akan menggerakkan massa bila terjadi kecurangan Pemilu.
Saat itu, Amien menjamin aksi people power yang digagasnya tidak akan diwarnai kekerasan atau kerusuhan bila nantinya massa memprotes keputusan KPU.
BACA JUGA: Ponsel Huawei Diputus Google, Layanan Aplikasi Apa yang Akan Hilang?
Politikus asal Yogyakarta ini menjanjikan aksi people power-nya bebas dari kemungkinan mengerikan itu, termasuk kemungkinan pertumpahan darah seperti kala reformasi 98.
Pernyataan Amien tersebut segera menimbulkan reaksi dari berbagai pihak.
BACA JUGA: Kalah Pemilu, Partai Buruh Australia Langsung Suksesi Kepemimpinan
Kini, pasangan calon 02 yang didukung Amien telah dinyatakan kalah oleh KPU.
Namun, ancaman people power dan unjuk rasa besar-besaran pada tanggal 21-22 Mei bahkan telah beredar luas di media sosial sejak sebelum pengumuman (21/5/2019) dini hari itu.
Warga Jakarta, sebagai ibu kota dan lokasi dari dua badan terkait Pemilu, diminta waspada meski Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjamin keamanan.
Mereka menurunkan 36.000 pasukan dan 20.000 pasukan cadangan. Tapi bagaimana warga Jakarta memandang ancaman people power ini? Strategi hadapi kemungkinan people power Photo: Donald Ivan. (Supplied)
Donald Ivan, warga Jakarta Selatan, mengaku khawatir akan beredarnya ancaman people power. Kantor kliennya yang berlokasi tak jauh dari gedung KPU membuatnya berpikir dua kali untuk tetap masuk kerja saat hari unjuk rasa berlangsung.
Meski demikian, ia menuturkan tak tahu banyak soal perkembangan politik dan hanya memantau sesekali dari portal berita.
"Saya cuma tahu kalau people power itu identik dengan Amien Rais."
"Dari baca-baca situs berita, itu membuat saya khawatir sama tanggal 22 (Mei)."
"Soalnya kabar-kabar tentang demo dan teroris sangat kencang jadinya sedikit banyak saya khawatir," ujar karyawan swasta ini kepada ABC.
Ia menimbang langkah pencegahan dengan bekerja dari rumah sepanjang hari itu.
Berbeda dari Donald, Esti Utami mengaku tahu betul definisi people power. Ia justru mempertanyakan tujuan people power yang digembar-gemborkan Amien.
"Yang saya pahami people power itu akan muncul ketika lebih dari separuh masyarakat bangsa ini merasakan pemerintahan yang ada itu otoriter, KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) merajalela, ekonomi mandeg, kemiskinan meningkat drastis dan kemerdekaan rakyat terbelenggu," jelas perempuan yang melakoni profesi sebagai pengajar dan pegiat sosial ini. Photo: Esti Utami. (Supplied)
"Nah sekarang, kita jadi rakyat bebas merdeka, bisa melakukan apa saja yang kita mau, ekonomi bertumbuh dengan baik, pembangunan tetap jalan, pelayanan masyarakat meningkat, keamanan terjaga. Terus mau ikutan people power? Apa tujuannya?," tanyanya.
Menurutnya, wacana people power versi Amien lebih kepada pemuasan hasrat politik dari sekelompok orang yang tidak mau menerima kekalahan. Ia sendiri tak mengkhawatirkan keamanan Jakarta walau tetap berhati-hati.
"Saya sih yakin TNI dan Polri akan selalu menjadi barikade terdepan penjaga keamanan dan ketertiban bangsa ini. Mereka sudah siap siaga selama ini.
"Dan... pada akhirnya yang katanya mau datang ke Jakarta buat demo ujung-ujungnya paling hanya ratusan orang," tebak Esti,
Gaby Ongso memiliki pandangan serupa dengan Esti. Warga Jakarta Barat ini juga tidak khawatir akan wacana people power yang beredar luas di media sosial. Ia yakin keamanan akan tetap terjaga.
"Kalau bercermin dari Pemilu sebelumnya, jujur enggak terlalu khawatir. Saya percaya pada pemerintahan yang sekarang, mereka tidak akan tinggal diam," tuturnya kepada ABC.
"Keadaan di Jakarta aman dan saya akan tetap kerja di hari demo itu."
Di sisi lain, ada warga ibu kota yang menganggap serius ancaman tersebut. Fitriah Artakusuma mengaku ia sempat khawatir ketika isu itu didengarnya.
"Awalnya iya (khawatir). Tapi belakangan sudah tidak lagi. Kenapa? bisa jadi ini wacana menakut-nakuti saja.
"Tapi kalau sampai terjadi, ya menyayangkan saja sih."
Ia menilai wacana people power muncul hanya karena ada pihak yang tidak bisa menerima hasil Pemilu 2019.
Selain Fitriah, Elfrida Akmal juga mengaku khawatir. Kepada ABC, pegawai swasta di Jakarta ini menunjukkan pesan berantai yang ia terima di aplikasi Whatsapp.
Pesan itu berisi kutipan dari media lokal yang memberitakan tentang penyelundupan senjata dalam aksi 22 Mei dan meminta pembaca untuk berhati-hati dan menjauhi pusat kota.
Istana Kepresidenan menyebut adanya upaya penyelundupan senjata dalam aksi massa 22 Mei nanti, bertepatan dengan pengumuman hasil pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kepala Staf Presiden Moeldoko menyebutkan, temuan ini tercium oleh intelejen dan aparat keamanan telah menyita temuan senjata yang dimaksud.
"Bukan ngawur, bukan ngarang, bukan tipuan. Enggak. Ada buktinya. Kami ingin, buktinya polisi sudah menangkap beberapa teroris. Kedua, intelijen kita sudah menangkap adanya upaya menyelundupkan senjata dalam rangka itu," jelas Moeldoko, Senin (20/5).
"Saya berharap dan berdoa hal ini tidak terjadi," kata Elfrida, seraya menambahkan bahwa ia akan tetap bekerja di hari demonstrasi yang diklaim sebagai people power itu. Photo: Fitriah Artakusuma. (Supplied)
Bukan aksi spontan
Polri telah memberlakukan status siaga 1 di wilayah ibu kota Jakarta sejak tanggal 21 hingga 25 Mei 2019.
Status ini diputuskan karena polisi menemukan indikasi tindakan anarkis dalam unjuk rasa 22 Mei.
"Jadi begini, hasil pengamatan kami, massa yang datang diduga memiliki rencana untuk melakukan perbuatan anarkis. Jadi bukan sekadar unras (unjuk rasa) damai," jelas Kepala Divisi Humas Polri, M.Iqbal (21/5/2019).
Jenderal bintang dua ini mengatakan, dari kelompok pengunjuk rasa yang berangkat ke Jakarta, diduga mereka sudah mempersiapkan diri dengan peralatan berbahaya.
"Contohnya pok yang ditangkap di Jatim, yang ada memiliki bom molotov. Ada pula beberapa indikasi massa membawa bambu dan bendera di mana ujung bambu diruncingkan, termasuk alat-alat tajam lainnya dan ketapel."
"Ini menunjukan ada sejumlah oknum yang mempersiapkan aksi anarkis," papar M.Iqbal dalam keterangan pers-nya.
Ia juga menyebut bahwa aksi 22 Mei bukanlah aksi spontan, melainkan aksi yang dimobilisasi dan diorganisir secara sistematis.
"Ada yang ingin melakukan aksi secara damai, namun juga ada yang mempersiapkan aksi-aksi yang melanggar hukum." Alasan yang dinilai absurd
Pengamat politik dari The Habibie Center, Bawono Kumoro, mengatakan, dalam perjalanan sejarah politik sejumlah negara, ada beberapa contoh kasus people power seperti yang terjadi di Filipina pada tahun 1980-an ketika kekuasaan Presiden Marcos ditentang.
Ada pula people power dalam mendesak pengundiran diri Presiden Soeharto tahun 1998.
Bawono menekankan, istilah people power dalam politik ketatanegaraan biasa digunakan untuk meruntuhkan rezim yang berkuasa terlalu lama dan berwatak diktator atau sewenang-wenang.
Aksi itu terjadi karena jalan-jalan normal konstitusional untuk melakukan perubahan terhalang oleh kekuatan rezim diktator terutama melalui penggunaan kekuatan militer
"Merujuk hal di atas seruan people power dari sejumlah pihak pasca Pemilu 2019 ini dapat dikatakan sangat absurd karena alasan-alasan untuk melatarbelakangi people power seperti terjadi dalam kasus Marcos dan Soeharto tidak ada," jelasnya.
"Tentu terdapat kekurangan dari pemerintahan Jokowi selama menjalankan pemerintahan lima tahun ini tetapi belum tampak tendensi Ia menjalankan kekuasaan secara diktator dan sewenang-wenang sebagaimana dilakukan oleh Marcos dan Soeharto."
Karena itu, menurut peneliti senior ini, seruan people power terkait Pemilu 2019 tidak akan memperoleh dukungan luas publik dan tidak lebih dari sekedar manuver elit politik.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.
Simak Video Pilihan Redaksi :
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Menang Pilpres, Gedung KPU di Jakarta Dijaga Ketat